Dua hari sudah berlalu semenjak Mutia kembali memasuki dunia novel. Mutia masih belum bertemu Arda. Dia juga masih belum ingat apa yang terakhir kali dilakukannya di dunia novel. Seperti ada sebuah penghalang dalam memorinya.
Mutia tidak pernah melatih otaknya untuk berpikir. Satu-satunya hal yang Mutia pikirkan selain orang-orang tersayangnya adalah plot ceritanya. Karena itu, otak Mutia yang kurang terasah itu jadi malas berpikir.
"Apa gue tanya ke Arda aja ya? Kayaknya terakhir kali, gue lagi sama dia deh," gumam Mutia.
Dia sedang berada di fase dilema. Dia butuh informasi tentang kegiatan terakhirnya untuk memutuskan apa yang akan dilakukannya. Namun, Mutia pasti akan terlihat aneh jika bertanya kepada Arda.
"Ah, bodo amat deh dianggep aneh. Lagian ini Arda." Mutia dengan segera menghubungi kekasihnya.
Dengan segera Mutia mengambil ponsel pintarnya. Kemudian mengirim pesan pada kontak bernamakan Arda🖤.
Arda🖤
Sayang|
Ketemu yuk?|
Aku kangen:(lSayangnya, terhitung dua jam setelah pesan itu terkirim, tak kunjung ada jawaban. Mutia merasa kesal. Dia merasa Arda mengabaikannya.
"Duh, kemana sih dia? Apa gue telpon aja kali ya?" gerutu Mutia.
Mutia hendak menekan ikon telepon di ponselnya, tapi gadis itu mengurungkan niatnya. Tiba-tiba saja dia teringat petuah Raisha untuk tidak mengekang Arda. Hatinya tiba-tiba saja ragu, takut mengganggu kesibukan kekasihnya.
"Tapi 'kan dia libur. Kenapa masih sibuk?" gerutunya sekali lagi.
Mutia menggulingkan badannya ke kanan dan kiri. Saat ini sudah pukul sepuluh siang, dan Mutia belum bangun dari tempat tidurnya.
"Gue bosen banget, anjir. Orang-orang ini kenapa pada sibuk semua?"
Di saat seperti ini, Mutia jadi mulai memikirkan tujuan karirnya. Di saat orang lain sibuk bekerja, dia justru bersantai di rumah. Selayaknya pengangguran yang tidak memiliki tujuan hidup.
"Orang-orang kok seneng ya nganggur? Gue bosen banget seharian ngendep di rumah." Sekali lagi Mutia mengeluh.
Sebenarnya, Mutia merasa ada yang aneh pada dirinya. Sebelum mengenal Arda, kesendirian adalah hal yang paling dia sukai. Sebagai seorang introvert, tentu saja waktu untuk sendiri itu sangat dibutuhkan guna mengisi energi. Namun setelah mengenal Arda, Mutia merasa tidak lagi begitu nyaman sendiri dalam waktu lama.
"Kayaknya jiwa introvert gue udah ilang, Arda efek emang nggak perlu diragukan lagi dalam hidup gue." Sekali lagi, Mutia menggulingkan badannya ke sisi lain.
"Mending gue ke rumah Bunda nggak sih? Bunda kayaknya nggak sibuk. Bosen banget di rumah. Siapa tau juga nanti ketemu sama ayang."
Mutia dengan semangat bangun dari posisi tidurnya. Gadis itu menyempatkan diri untuk mengabari Tania bahwa ia akan berkunjung. Kemudian berlari menuju kamar mandi untuk berganti baju.
Pesan dari Mutia disambut baik oleh Tania. Wanita itu berkata bahwa dia sedang menganggur di rumah dan memang sedang bosan. Riu sedang melakukan perjalanan ke luar kota.
Sesampainya di kediaman Handoko, Mutia langsung nyelonong masuk ke dapur. Tadi sang calon ibu mertua mengatakan jika wanita itu tengah membuat kue dan mempersilakan Mutia langsung masuk.
Namun, belum sampai di dapur, Mutia justru berpapasan dengan Arda yang tengah menuruni tangga. Mutia tentu saja menyambut sang kekasih dengan senyum hangat. Sementara Arda justru menatap gadisnya heran.
"Kenapa di sini?" tanya Arda singkat.
Senyuman yang diberikan Mutia perlahan luntur. Apakah Arda tidak menyukai kehadirannya? Mengapa lelaki itu tak sama sekali menunjukkan senyumannya?
"Gue tanya sama lo, Mutia. Ngapain lo ke sini?" Hawa dingin menyebar di sekitar keduanya.
Buliran bening mulai menumpuk di mata Mutia. Selama empat tahun ke belakang, tak ada lagi panggilan lo-gue yang terlontar. Dan kini Arda melontarkannya dengan begitu mudah.
Menghela napas, Arda sedikit merasa bersalah. "Tia, aku lagi butuh waktu buat sendiri. Tolong kamu pulang aja ya? Lagian kita harusnya emang nggak ketemu, kan? Kita lagi dipingit."
"Aku buat salah apa sama kamu?" tanya Mutia sedikit terbata-bata.
"Nggak ada, Mutia. Aku cuma-argh." Arda mengacak rambutnya kesal.
"Aku minta maaf kalau aku ada salah. Kamu tenang aja, aku ke sini bukan mau gangguin kamu kok. Aku ke sini mau ketemu bunda-hiks." Mutia tak lagi dapat lagi menahan isakannya di akhir dialog.
Arda dengan panik segera menuruni tangga. Kemudian segera menarik kekasihnya dalam dekapan saat sudah berhadapan. Tangannya sedikit gemetar.
Rasa bersalah meliputi hati Arda. Dia tadi merasa stres dan bersalah karena menjadi beban agensi dengan banyak mengambil cuti. Karena itu perasaannya menjadi begitu sensitif. Arda sama sekali tidak berniat untuk berbuat seperti itu kepada Mutia.
"Maaf, Sayang. Kamu nggak salah apa-apa. Aku yang salah." Arda mengecupi rambut Mutia.
"Mutia, kok kamu nggak langsung ke dapur, Sayang." Tania tiba-tiba saja muncul.
Mutia melepas pelukan keduanya. "Bunda, aku mau ngobrol sebentar sama Arda boleh?"
"Tapi-"
"Cuma sebentar, aku janji nggak bakal ganggu kamu setelahnya. Bahkan kalau kamu nyuruh aku pulang, aku bakal pulang," sela Mutia.
Menurut Mutia, Arda harus mengetahui semuanya. Sedari awal Mutia memberitahukan apa yang terjadi pada kekasihnya itu. Jadi dia harus melanjutkannya sampai akhir.
"Yaudah, ayo ke kamar."
Atas izin Tania, kini Arda dan Mutia tengah berada di kamar sang lelaki. Mutia masih mencoba menetralkan napas dan isakannya. Kebetulan, Mutia adalah orang yang mudah menghentikan tangisan, tapi tidak dengan isakan.
"Kamu inget 'kan kalau aku bukan jiwa asli dari dunia ini?" Perkataan Mutia itu membuat Arda yang tadinya tidak tertarik mendengarkan tiba-tiba saja menjadi tertarik.
"Ingat."
"Beberapa waktu ini aku balik ke dunia nyata. Mamaku-yang di dunia nyata maksudnya, nyuruh aku buat ke psikiater."
Perasaan Arda mulai tidak enak. Dalam hati dia memohon untuk tidak lagi diberikan masalah. Sudah cukup masalah pekerjaan saja.
"Aku mengidap delusi," final Mutia.
Pernyataan itu seakan menjadi pukulan telak bagi Arda. Dia bingung harus merespon bagaimana. Rasanya aneh menyadari bahwa hidupnya selama lebih dari dua puluh tahun ini adalah khayalan dari orang lain.
"Aku bingung harus respon gimana. Rasanya aneh, hidupku ternyata khayalan orang lain," kata Arda jujur.
"Enggak, Arda. Dunia ini nyata, bagi kamu. Tapi bagi aku, ini semua khayalan. Aku harus balik lagi ke duniaku sendiri dan nggak bisa lagi balik ke sini." Mutia menjelaskan.
"Kalau kamu balik ke duniamu, terus ragamu yang di sini gimana?"
Mutia menggeleng. "Aku nggak tau, kemungkinan jiwa asli raga ini yang bakal ambil alih lagi. Yang jelas kamu harus inget, baik aku atau dia adalah orang yang sama. Dia justru adalah Mutia yang selama ini nemenin kamu. Jadi kalau suatu saat jiwaku ini pergi, kamu harus bertingkah seakan nggak terjadi apapun. Karena Mutia-mu selalu ada di sampingmu."
***
To Be ContinuedMaaf ya, telat satu hari. Btw, bentar lagi cerita ini bakal tamat. Mungkin sekitar 7-10 chapter lagi.
Karena itu, thanks to NovitaSukma874 yang udah jadi pembaca setia🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance in Another Universe
RomanceKefrustasian Mutia atas meninggalnya sang kekasih membuatnya melampiaskan melalui karya. Mutia menerbitkan novel yang menceritakan kisah hidupnya bersama sang kekasih. Perbedaannya adalah dalam novel itu, Mutia dan sang kekasih akan hidup bahagia be...