42. Kemarahan Raisha

14 5 0
                                    

Tebak apa yang baru saja terjadi pada Mutia!

Kalau ada yang menjawab Mutia kembali berpindah dunia, maka kalian benar. Mutia lagi-lagi menangis setelah menulis to do list. Setelah itu semuanya terjadi seperti biasa. Mutia ketiduran dan kembali ke dunia nyata.

Namun, kali ini ada yang berbeda. Mutia tidak bangun di kamarnya, melainkan sebuah ruangan yang gadis itu rasa cukup asing. Dia bahkan harus menyusuri ruangan itu hingga akhirnya melihat foto Salsa yang terpajang di sebuah meja. Sepertinya ini kamar sahabatnya.

Mutia mendudukkan dirinya di pinggir kasur. Sedikit menyesal karena tak bisa menjaga kesadarannya. Salsa pasti kesusahan harus mengangkatnya dari ruang tamu ke kamar.

Sekarang, apa yang harus Mutia lakukan? Menelepon Salsa untuk berterima kasih? Tidak, gadis itu sedang bekerja dan Mutia tidak ingin mengganggunya. Mungkin nanti Mutia hanya akan mengirim pesan kepada sahabatnya itu.

Kruyukkk~

Suara itu membuat Mutia mengelus perutnya. Gadis itu memilih keluar dari kamar. Berniat membeli makan di warung depan gedung apartemen.

Namun, Mutia mengurungkan niatnya kala mencium bau sedap dari dapur. Di sana, sudah ada nasi goreng dengan toping telur di atasnya. Juga sebuah kertas yang tergeletak di samping piring.

Mutia mengambil piring itu dan membawanya ke ruang makan. Tak lupa dengan kertas di sampingnya. Sepertinya itu dari Salsa.

Sorry, gue harus berangkat kerja jadi ninggalin lo sendirian di apart. Habisnya lo tidur lama banget sih. Bisa-bisanya dari kemarin siang sampai sekarang nggak bangun-bangun. Lo tidur apa simulasi mati? Udah deh, ntar kalau bangun makan aja nasi goreng di pantry. Semoga lo bangunnya nggak terlalu siang biar nasi gorengnya nggak dingin-dingin banget. Btw, kalau mau mandi dan ganti baju pakai baju gue aja. Ada di lemari, lo tau 'kan tempatnya?

Salsa

Mutia tersenyum usai membaca pesan dari Salsa. Gadis itu tetap cerewet baik berbicara langsung maupun melalui surat seperti ini. Dan kecerewetannya itulah yang mungkin membuatnya cocok dengan Mutia.

Setelah itu, Mutia memilih untuk langsung memakan nasi goreng yang sudah disiapkan. Dari rasanya, sudah pasti ini adalah buatan Salsa sendiri. Gadis itu memang sudah pandai memasak dan mengurus diri pada usia belasan tahun. Sangat berbeda dengan Mutia yang masih bermanja ria pada ibunya setelah usianya menginjak dua puluh lima tahun.

Setelah memuaskan rasa lapar, hal kedua yang Mutia lakukan tentu saja mandi. Untungnya, Mutia punya sahabat yang royal dan pengertian seperti Salsa. Gadis itu benar-benar mengerti jika Mutia tak bisa bertahan lama dengan badan yang lengket.

Masih memakai kimononya, Mutia memilih memeriksa ponselnya yang tadi sedang diisi daya. Siapa tahu ada pesan penting yang gadis itu lewatkan. Dan benar saja, puluhan panggilan tak terjawab membuat mata Mutia hampir keluar dari tempatnya.

43 missed call from Mama🖤

Mutia berusaha untuk menelpon mamanya balik, tapi tidak dijawab. Gadis itu benar-benar panik. Dia lupa mengabari ibunya, apalagi Salsa juga tidak memiliki kontak ibunya, begitu pula sebaliknya.

Hingga telepon ke-sepuluh, Raisha baru mengangkatnya.

"Halo, mama?"

"..."

Tidak ada jawaban dari ibunya membuat Mutia semakin ketar-ketir. Ibunya itu tipe manusia cerewet. Kalau sudah diam begini, itu berarti dia sudah sangat marah.

Tapi, kan Mutia tidak sengaja!

"Kamu di mana?"

"Di apartemen Salsa, Ma. Bentar lagi aku pulang kok."

"Pulang sekarang."

Kemudian panggilan itu terputus. Membuat Mutia tergopoh-gopoh untuk segera berganti pakaian. Mutia mengambil asal baju yang ada di lemari Salsa. Sudah tidak ada waktu lagi untuk memikirkan mix and match outfit. Yang terpenting sekarang adalah cepat sampai ke rumah dan menemui Raisha.

Dan apa yang Mutia bayangkan menjadi kenyataan. Sesampainya Mutia di rumah, gadis itu disambut dengan pemandangan Raisha yang sedang termenung di ruang tamu. Matanya tampak bengkak dan menghitam.

Dari keadaan fisiknya, sepertinya ibunya tidak tidur semalam. Kenapa? Apakah ibunya mengkhawatirkannya? Jika iya, maka Mutia merasa pantas untuk dikutuk menjadi batu.

"Seenggak penting itu mama buat kamu, Tia?" Raisha membuka suara dingin.

"Ma, bukan gi—"

"Diam, Mama lagi ngomong."

Mutia memilih menurut. Gadis itu lantas duduk di hadapan Raisha yang bersedekap. Rambut pirangnya tampak kusut dan wajahnya kusam. Ibunya ini belum mandi ya?

"Kemarin mama cuma tau kamu pergi ke agensi. Jadi waktu kamu belum pulang sampai jam sembilan, mama kira kamu lembur. Tapi sampai jam sebelas malam, kamu belum pulang juga. Mama jadi khawatir, apalagi kamu nggak bisa dihubungi. Mama coba hubungi manajer kamu, bahkan rekan kerja kamu, tapi mereka bilang kamu udah pulang dari kemarin sore. Kamu tau apa yang terjadi setelahnya, Mutia? Mama panik! Mama nyesel karena nggak ngehubungin kamu lebih awal."

"Mama panik sampai neleponin semua kenalan kamu. Mama bahkan telepon Tania malam-malam cuma buat tanya apa kamu ada di sana. Mama juga telepon penjaga makam Arda karena mungkin kamu ada di sana. Tapi nggak ada hasilnya. Kamu nggak ada di mana-mana. Mama akhirnya lapor polisi, tapi ditolak karena kamu hilang belum sampai dua puluh empat jam. Mama hampir gila rasanya, Mutia. Mama nggak tau kamu di mana, apa kamu baik-baik aja? Mama takut kamu diculik, apalagi sekarang marak kasus pembunuhan dan pemerkosaan."

Mutia benar-benar tak bisa menahan rasa bersalahnya. Kedua tangannya yang sedari tadi disimpan di atas pangkuan mulai meremat satu sama lain. Matanya tak dapat lagi menahan cairan bening untuk turun. Hingga tak lama kemudian suara isakan terdengar.

"Maaf, Ma," rengek Mutia.

"Aku memang nggak ada rencana buat nginep, makanya aku nggak bilang mama dulu. Niatnya kemarin aku langsung pulang habis dari apartemennya Salsa. Eh ternyata aku ketiduran sampai pagi. Maaf, aku nggak bermaksud bikin mama khawatir. Nanti aku kasih nomernya Salsa biar kalau aku lupa ngabarin, mama bisa telepon dia. Soalnya dia satu-satunya temen yang paling deket sama aku," lanjutnya.

Mutia berlari memeluk ibunya. Kedua bahunya bergetar hebat. Dia benar-benar tidak bisa menahan rasa bersalahnya.

Jika hanya ditinggal semalaman ke rumah Salsa saja Raisha sudah seperti ini, bagaimana jika nanti Mutia benar-benar pergi? Bagaimana jika waktu Mutia hidup justru lebih singkat dari ibunya? Mutia bahkan tidak bisa membayangkan sefrustrasi apa ibunya nanti.

Sejujurnya, Mutia mulai bingung dengan akhir yang akan dijalaninya. Dia punya dua raga, hanya jiwanya yang terus berpindah selama ini. Terbukti dari tubuhnya di dunia novel yang bebas dari luka.

Kalau memang begitu, ke mana jiwa seorang Mutia dalam novel?

Tak bisakah jiwa itu kembali dan hidup bahagia bersama Arda? Setidaknya, dengan begitu Mutia asli bisa meninggalkan dunia novel dengan tenang.

***
To Be Continued

6 vote, aku update lagi.

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang