"Sebenernya ada yang pengen gue ceritain ke lo, Kak. Dan ini berhubungan sama naskah yang bakal gue kerjain," kata Mutia membuka pembicaraan.
Saat ini Mutia dan Cindy sedang berdiskusi mengenai naskah yang akan Mutia garap. Jika sudah menemukan hasil, Cindy akan mengajukannya pada pihak redaksi. Dengan begitu, Mutia dapat mulai menulis naskahnya.
"Cerita tentang apa?" Cindy penasaran.
"Lo inget 'kan kalau waktu film pertama karya gue, gue malah kecelakaan?" Pertanyaan itu hanya dijawab anggukan.
"Nah, waktu itu gue koma, tapi anehnya gue malah masuk ke dunia lain," lanjut Mutia.
Cindy memutar bola matanya malas. "Kebanyakan baca dan bikin novel, jadi halu terus."
"Kak, gue serius." Mutia memasang wajah datarnya. Berharap Cindy mempercayai bahwa dia sedang serius saat ini.
"Lo ... beneran? Gue pikir transmigrasi jiwa itu kisah fiksi doang." Cindy tercengang.
Mutia mengangguk. Tetap memasang muka serius walaupun dalam hati ingin tertawa. Wajah Cindy saat tercengang begitu lucu.
"Gue juga awalnya nggak percaya, tapi setelah ngalamin semuanya, rasanya aneh kalau masih nggak percaya," ujar Mutia.
"Lo harus ceritain semuanya sama gue. Semuanya." Cindy memberi penekanan.
"Waktu gue kecelakaan, gue pingsan. Bangun-bangun, gue udah di kamar. Awalnya gue bingung, jelas lah orang habis kecelakaan kok tiba-tiba di kamar. Mana badannya nggak kenapa-napa, bersih tanpa luka." Mutia mulai bercerita.
"Habis itu gue lari ke bawah, eh ketemu nyokap. Pas gue tanya tentang film gue, nyokap malah bingung. Karena itu gue cari informasi di internet. Yang bikin kaget, gue nggak nemuin satu berita pun tentang kematian Arda. Yang ada malah berita pertunangan gue sama dia. Di situ gue baru nyadar kalau masuk ke novel."
Mutia terus bercerita. Tak meninggalkan sedetail pun kejadian penting yang gadis itu alami. Hingga tanpa terasa, tiga jam sudah berlalu. Pembicaraan mereka yang beberapa kali diselingi istirahat singkat akhirnya selesai juga. Terlihat dari Cindy yang mengangguk dan mulai kelihatan berpikir.
"Jadi lo mau ngangkat kisah ini jadi novel?" tanya Cindy.
"Iya. Kemungkinan besar waktu nentuin ending novel ini, gue udah nggak balik ke dunia sana lagi. Jadi gue bisa nentuin ending yang tepat." Mutia menjawab.
Cindy tak langsung menjawab. Wanita itu seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu-ragu. Kebimbangan terlihat jelas di wajahnya.
"Kalau begitu, artinya lo bakal bawa nama Arda lagi di buku lo. Bukannya apa ya, Tia. Buku lo yang kemarin itu udah bikin banyak kontroversi karena bawa-bawa nama Arda. Mereka bilang lo pansos. Dan sekarang lo mau bawa Arda lagi? Kalau sekali mungkin orang maklumin, Tia. Tapi kalau buat yang kedua kalinya, pasti lebih banyak orang yang percaya kalau lo emang mau pansos."
Mutia sama sekali tidak berpikir ke arah sana. Selama ini dia tidak pernah memusingkan pikiran orang-orang yang membencinya itu. Baginya, yang terpenting adalah keinginan Arda untuk menjadi tokoh ceritanya.
Karena itu, Mutia tanpa pikir panjang mengabulkan keinginan mendiang kekasihnya itu. Membuat kisah tentang dirinya sendiri dengan Arda. Memberitahukan pada seluruh dunia bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
"Kak, mereka sama sekali nggak punya hak untuk ngehakimin gue. Jadi tokoh di novel gue itu keinginan Arda sendiri, yang artinya dia mengizinkan namanya dipake. Kalau ada yang berhak melarang, itu orang tua Arda." Mutia menarik napas panjang.
"Lagian gue udah kenal kok dibully. Jadi gue sangat amat siap kalau harus dibully untuk yang kedua kalinya," lanjutnya.
Sayangnya, penjelasan Mutia sama sekali tidak membuat Cindy terlihat lebih baik. Sebaliknya, justru wanita itu tampak semakin pusing. Rambutnya bahkan sudah begitu berantakan karena beberapa kali diacaknya frustrasi.
"Masalahnya bukan itu, Mutia. Gue nggak khawatir tentang lo karena gue yakin lo pasti kuat. Tapi gimana sama perusahaan? Agensi bisa diserbu habis-habisan dengan tuduhan eksploitasi nama artisnya. Apalagi lo sama Arda satu agensi. Dampaknya pasti buruk banget buat perusahaan."
"Tolong pikirin lagi, Mutia. Kalau lo emang pengen ngubah pengalaman lo itu jadi novel, pastiin nggak ada dampak buruk buat agensi. Dan yang nggak kalah penting, tanya dulu ke orang tua Arda."
Itu adalah kata-kata terakhir Cindy sebelum mengakhiri pertemuannya dengan Mutia hari ini.
🌷🌷🌷
Seperti apa yang Cindy katakan pada Mutia tadi sore. Mutia pergi ke kediaman keluarga Handoko. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat Mutia tiba di sana.
Sebelumnya, Mutia sudah memberi kabar pada Raisha jika dia akan pulang cukup malam hari ini. Juga kabar untuk Tania bahwa hari ini dia akan berkunjung.
Tania menyambut Mutia dengan baik. Wanita itu tampak begitu ceria. Mungkin karena baginya, mungkin karena Mutia dapat mengisi kekosongan ruang di hati Tania pasca meninggalnya Arda.
"Kamu kok tumben banget ke sini malem-malem? Biasanya kalau bukan karena undangan makan malam, kamu datengnya sore." Tania kembali dari dapur ke ruang tamu. Di tangannya sudah ada sebuah nampan yang berisi seteko teh hangat dan berbagai camilan.
Mutia tidak langsung menjawab. Entah mengapa dia tiba-tiba saja merasa sungkan. Padahal sebelum bertemu Tania, Mutia pikir dia bisa bertingkah seperti biasanya.
Untuk menguatkan diri, Mutia meminum secangkir teh yang sudah disajikan. Kebetulan sekali, teh yang disajikan adalah teh herbal yang mampu menenangkan.
"Sebenernya Tia ke sini mau minta izin, Bunda." Mutia membuka obrolan.
Mengernyitkan keningnya, Tania bertanya, "Izin apa, Sayang? Kok keliatannya serius banget?"
"Duh, Tia bingung harus mulai dari mana. Soalnya ceritanya panjang banget."
Tania tak membuka suara. Dia membiarkan Mutia berpikir. Sembari menduga-duga apa yang akan Mutia ceritakan.
Namun, insting Tania mengatakan jika hal ini akan berhubungan dengan mendiang anaknya.
"Intinya, waktu Mutia kecelakaan beberapa bulan yang lalu, Mutia ngalamin kejadian yang nggak masuk akal. Terus Mutia mau angkat pengalaman Mutia itu jadi sebuah novel," kata Mutia gugup.
Tania semakin bingung. "Terus apa hubungannya sama Bunda?"
"Karena cerita ini bakal bawa nama Arda lagi, Bun. Kejadian nggak masuk akal yang aku maksud itu aku masuk ke dalam novel buatanku sendiri. Terus aku menikah dan hidup bahagia sama Arda di sana," jelas Mutia.
Ekspresi Tania berubah keruh. Mutia paham, benar-benar paham jika Tania jauh lebih terpuruk darinya. Wajar jika wanita itu marah saat ada yang mengungkit kembali tentang almarhum anaknya.
"Mau sampai kapan, Mutia? Kamu nggak capek terus-terusan mengenang Arda? Bunda kira waktu satu tahun udah cukup untuk kamu ngelupain dia. Bunda nggak suka kamu terus terbayang-bayang sama Arda. Arda nggak bakal tenang kalau begini caranya, Mutia!"
Mutia menundukkan kepalanya dalam. Dia sama sekali tidak merasa takut, tapi rasa bersalah memenuhi hatinya. Mutia hanyalah orang luar yang baru mengenal Arda selama empat atau lima tahun, tapi bertingkah seolah dekat dengan Arda lebih dari siapapun.
"Justru karena itu, Bunda. Tia pengen ngelupain Arda dengan benar. Di novel pertama, Tia bikin happy ending. Mungkin dari situ bisa diambil kesimpulan kalau dari hati yang paling dalam, Tia belum bisa ngerelain Arda. Karena itu Tia sampai delusi. Kali ini, Tia janji akan benar-benar menekankan sama diri sendiri kalau Tia sama Arda nggak akan bisa bersatu lagi, di dunia ini."
Menghela napas, Tania bertanya, "Apa judul bukunya?"
"Second Chance in Another Universe."
***
To Be ContinuedSeneng banget, deh jumlah vote nya naik. Pengen janjiin bakal up lagi besok, tapi draft ku belom selesai.
Kalau hari ini vote nya sampai 3, aku langsung up habis draft nya kelar. Tapi kalau enggak, ya tunggu sampai hari Minggu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance in Another Universe
RomanceKefrustasian Mutia atas meninggalnya sang kekasih membuatnya melampiaskan melalui karya. Mutia menerbitkan novel yang menceritakan kisah hidupnya bersama sang kekasih. Perbedaannya adalah dalam novel itu, Mutia dan sang kekasih akan hidup bahagia be...