60. Hari Pernikahan

16 4 0
                                    

Setelah kepergian Arda, Mutia sama sekali tidak pernah memikirkan pernikahan, apalagi menikah dengan Arda. Lagipula, bagaimana caranya dia menikah dengan orang yang sudah meninggal? Untuk melihat raganya secara langsung saja sudah tidak bisa.

Namun, hari ini sesuatu yang tidak pernah Mutia pikirkan itu terjadi.

Menikah dengan Arda.

Semuanya terasa seperti mimpi. Bahkan jika ini mimpi pun, Mutia rasanya tidak ingin bangun. Namun, dia tidak bisa.

Mutia tidak bisa melakukan sesuatu yang berpotensi untuk merusak tatanan alam semesta. Dia hanya bisa berharap, semoga jiwa asli dari raga yang ditempatinya ini bisa bahagia bersama Arda. Sebab jiwa itu tak lain adalah dirinya sendiri. Dirinya dengan takdir yang lebih baik.

Sudahlah, tak baik memikirkan hal yang menyedihkan di hari yang bahagia. Mutia sudah cukup senang kala Tuhan memberikan kesempatan untuknya merasakan hari pernikahan bersama sang kekasih. Berdiri di pelaminan dan menyalami puluhan bahkan ratusan orang yang hadir.

Melelahkan memang, tapi semua rasa lelah itu sirna kala menyadari dirinya sudah benar-benar sah menjadi istri seorang Ardandi Martias Handoko.

"Kamu capek?" tanya Arda.

Mutia menggeleng. Dengan senyuman lebar yang masih terpatri di wajahnya itu Mutia menjawab, "Cuma salaman sama orang, nggak secapek itu kok. Lagian aku udah terbiasa berdiri buat nonton konser kamu."

Arda tertawa kecil dibuatnya. Istrinya ini manis sekali. Jantung Arda tiba-tiba berdetak kencang saat menyadari apa yang baru saja dipikirkannya.

Istrinya.

Astaga ... Mutia kini benar-benar menjadi miliknya.

"Widih, cerah banget nih muka. Seneng banget ya, Bro?" sapa Dani yang datang bersama Salsa.

"Seneng lah, nikah sama cewek yang udah gue cintai selama lima tahun. Berasa mimpi." Arda tertawa kencang.

Tak hanya dua orang pria itu yang asik berbincang. Salsa dan Mutia pun sibuk saling berbisik. Sesekali Mutia akan tersenyum malu-malu.

"Enak banget yang habis ini bisa makin mesra sama suaminya. Habis ini bisa lebih dari kisseu dong ya?" Mutia memukul bahu Salsa pelan. Senyum malu-malu terbit di wajahnya.

"Jangan lupa pakai hadiah gue buat nanti malem ya?" bisik Salsa lagi.

"Buat nanti malem? Maksudnya buat acara private resepsi nanti?"

"Bukan dong, waktu malam pertama sama Arda."

Mutia langsung paham hadiah apa yang diberikan oleh Salsa. Hidup selama kurang lebih dua puluh lima tahun, tentu saja Mutia tidak sepolos itu. Dia pernah membaca buku-buku bertema dewasa.

"Ada-ada aja," respon Mutia.

"Yang, udah yuk? Gantian sama yang lain." Dani berkata pada Salsa.

Diam-diam, Mutia tersenyum senang. Dia merasa tenang karena saat ini ada sosok yang dapat dijadikan sandaran untuk sahabatnya itu. Dan yang paling penting, ada teman yang senasib dengan dirinya jika Arda begitu sibuk dengan konsernya.

🌷🌷🌷

Resepsi privat yang diadakan oleh Arda dan Mutia berjalan dengan lancar. Mengingat keduanya adalah publik figur, maka yang mendatangi acara tadi siang sudah pasti didominasi rekan kerja mereka. Jadi, mereka membuat acara privat yang hanya bisa dihadiri keluarga dan teman terdekat.

Mutia hanya mengundang Salsa dan keluarganya. Sedangkan Arda, lelaki itu mengundang Dani dan teman band nya saat kuliah. Tak lupa, Arda juga mengundang keluarganya.

Arda sengaja mengundang teman band nya untuk datang ke pernikahannya. Walaupun mereka sudah jarang bertukar kabar, menurut Arda mereka tetap wajib diundang. Bagaimanapun, band semasa Arda kuliah itulah yang mempertemukannya dengan Mutia.

Acara itu berlangsung sampai pukul sembilan malam. Untuk tamu, diizinkan menghabiskan waktu lebih lama di taman hotel. Sedangkan kedua mempelai sudah beranjak ke kamar mereka.

Mutia meneguk ludahnya susah payah. Ini adalah kali kedua dia satu kamar dengan Arda di hotel. Dia ingat betul apa yang terjadi kala itu, dan itu mungkin saja terjadi juga kali ini. Bedanya, dulu Arda harus menahan diri, sedangkan kini Arda diperbolehkan menyentuh Mutia sesukanya.

Memikirkannya membuat Mutia merinding. Pipinya mendadak panas, jadi dia menutupinya dengan tangan. Namun, kegiatan itu justru tampak aneh di mata Arda.

"Kamu kenapa, Istri?" tanya Arda.

Bukannya menjadi normal, Mutia justru semakin merona. Gadis yang baru saja duduk di tepi kasur itu bahkan terjungkal ke belakang. Membuat Arda dengan panik membantunya berdiri.

"Hati-hati dong, Istri—"

"Arda, udah. Cukup please! Aku nggak kuat. Stop panggil aku istri," rengek Mutia. Gadis itu bahkan menghentak-hentakkan kakinya.

Arda tertawa. Ternyata istrinya ini salah tingkah. Dia jadi bersemangat untuk semakin menggodanya. Walaupun diam-diam jantung Arda pun berdegup tak kalah kencang.

"Maaf, Istri. Janji bakalan panggil begitu terus."

"Ardaaaaaaa," teriak Mutia kesal. Dia bahkan mengambil salah satu bantal dan memukulkannya ke arah Arda.

"Aduh, Istri. Kita baru nikah kok udah KDRT aja sih?" Arda tertawa semakin kencang. Dia berlari tak tahu arah demi menghindari pukulan Mutia. Begitu juga dengan Mutia yang terus berlarian mengejar Arda dengan bantal di tangannya.

Hingga tak lama kemudian, keduanya merasa lelah. Mereka berdua pun memutuskan untuk tidur di ranjang. Masih dengan sisa-sisa tawa.

Mutia mengubah arah tidurnya menjadi miring ke kanan. Begitu juga Arda yang menghadap Mutia balik. Keduanya tersenyum lebar. Begitu bahagia di hari pernikahan mereka ini.

Sampai akhirnya Mutia menyadari sesuatu, dia harus segera berpamitan.

Senyuman yang sedari tadi berada di wajahnya menghilang, Mutia justru menampilkan raut sedih. Hal itu tentu saja membuat Arda kebingungan. Mengapa suasana hati gadisnya ini cepat sekali berubah?

"Arda, kamu ingat 'kan soal aku yang delusi?"

Arda mengangguk. "Ingat, kenapa?"

"Hari itu, aku kembali ke dunia nyata dan baru kembali pas waktunya siraman."

"Eh, jadi kamu nggak ngebet nemuin aku lagi karena waktu itu yang ngisi raga ini adalah Mutia asli?"

"Iya, mungkin dia nggak terlalu kepengen ketemu kamu karena dia tau kalau dia bisa ngabisin waktu seumur hidup bareng kamu." Mutia mengelus rahang Arda pelan.

"Aku nggak tau apakah aku akan kembali lagi ke sini. Aku harap sih enggak, walaupun aku bener-bener pengen ketemu kamu lagi. Yang aku tau, bolak-balik ke dunia lain itu nggak baik. Untuk diri aku sendiri, ataupun tatanan alam semesta—duh jadi dalem banget ya ngobrolnya."

"Arda, aku janji di duniaku, aku bakal ikhlasin kamu. Dan kamu di sini bisa tetap bahagia dengan jiwa asli raga ini. Oh, kamu tetep bisa malam pertama kok," lanjut Mutia sambil terkekeh.

Mutia memajukan wajahnya. Mempertemukan kedua bibir ranum mereka. Kali ini tidak ada keraguan. Arda dan Mutia sudah sah menjadi sepasang suami istri.

Mutia menutup matanya. Menikmati kelembutan bibir sang kekasih. Hingga tanpa sadar air mata jatuh menuruni pipinya.

***
To Be Continued

Bentar lagi bakal tamat, huhu. But, i have a bad news for you.

Ini update terakhir sebelum aku ambil cuti seminggu buat nulis. Jadi seminggu penuh aku bakal meliburkan diri dari semua bukuku. Keputusan ini aku ambil karena aku mulai kewalahan sampai sakit. So i hope you guys understand.

See You!


Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang