Apa yang Mutia lakukan selepas menerima kenyataan kalau Arda sudah pergi? Tentu saja meratapinya. Gadis itu menangis seharian dalam posisi yang berbeda. Mulai dari di dalam pelukan ibunya, bebaring telungkup, bahkan duduk di kursi dengan menatap pemandangan di luar jendela.
Berbagai pertanyaan terus berputar dalam benaknya. Apakah perjalanan panjang yang selama ini dia lewati bersama Arda itu semu? Kenapa dia harus masuk ke dunia novel jika hanya untuk dipermainkan?
Semuanya terlalu melelahkan. Dulu, dia harus beradaptasi dengan ketidakhadiran Arda dalam hidupnya. Kemudian, dia harus beradaptasi untuk kembali menjalin hubungan-bahkan lebih serius-dengan Arda. Dan kini, apa ia harus beradaptasi lagi?
Sungguh menjengkelkan.
Kondisi ini seperti dia harus mengerjakan soal berlembar-lembar. Kemudian saat akan mengumpulkan, guru mengatakan jika tugas itu tidak perlu dikumpulkan. Dia pun akhirnya lalai dengan tugas itu, lembarannya pun hilang. Namun, beberapa saat kemudian, gurunya dengan labil meminta semua murid mengumpulkan. Jadi Mutia harus mengerjakan semua dari awal.
Bukankah itu sangat menjengkelkan? Apakah Tuhan juga selabil itu? Kenapa harus memberi harapan jika akan hidup selamanya dengan Arda, kalau pada akhirnya mereka kembali dipisahkan?
Sudahlah, semuanya terlalu melelahkan dan memuakkan. Dunia ternyata tidak pernah lepas dari kekejamannya. Dia tak dibiarkan hidup tenang walaupun hanya sebentar.
Mungkin untuk saat ini, lebih baik untuk tidur. Mutia benar-benar sudah kehabisan tenaga. Dia juga harus mengalihkan rasa sakit di hatinya. Dan cara terbaik mungkin adalah tidur.
Kalau ada yang mempertanyakan, kenapa Mutia begitu lemah dan rapuh? Padahal ia harusnya sudah terbiasa sendiri karena dibully sejak kecil. Maka Mutia akan menjawab dengan tenang.
Mentalnya begitu kuat untuk menghadapi bully-an, cemoohan, sarkas, dan lain-lain. Dia juga sudah terbiasa untuk melakukan segala hal sendirian. Dia memang benar-benar terbiasa.
Sayangnya, karena kesendirian itu, membuat Mutia begitu menghargai kebersamaan. Hanya sedikit orang yang mau menerimanya apa adanya. Dan mereka adalah orang-orang spesial bagi Mutia.
Mutia hanya terbiasa untuk dicemooh, bukan kehilangan. Karena itu dia begitu sedih. Kehilangan membuat kebersamaannya kembali menjadi kesendirian.
🌷🌷🌷
"Mutia, hey! Kamu kenapa? Kok nangis?"
Mutia terbangun mendengar seruan mamanya. Gadis itu mengerjapkan matanya yang terasa berat. Mungkin karena seharian menangis.
"Mutia, buka matanya!" pinta Raisha yang tak kunjung dituruti.
Sebenarnya, Mutia juga ingin membuka matanya. Sayangnya, bengkak di matanya membuatnya kesulitan. Belum lagi kotoran yang membuat bulu mata atas dan bawahnya begitu lengket.
Untungnya, Raisha sangatlah pengertian. Wanita itu beranjak mengambil kapas kecantikan milik Mutia. Membasahinya dengan sedikit air, lantas membersihkan mata Mutia dengan lembut.
Yah, setidaknya itu cukup membantu Mutia untuk membuka mata. Walaupun penglihatannya terbatas. Sebab bengkak yang lumayan besar.
"Kamu tuh kenapa sih nangis sampai kejer-kejer gitu. Jadi bengkak gini 'kan matanya. Pusing, nggak kepalanya?" tanya Raisha lembut. Kedua lengannya membawa Mutia menuju dekapannya.
"Gimana aku nggak sedih, Ma. Arda pergi huhuhu," tangis Mutia kembali.
"Ya terus kamu maunya gimana? Arda nginep di sini? Kasihan tau calon suami kamu itu! Udah sibuk, harus nyiapin pernikahan kalian, kamu malah mau nemplokin dia terus."
Mendengar omelan ibunya, Mutia mendadak melepas pelukannya. Niatnya, gadis itu ingin menatap wajah ibunya, tapi malah mendapati kamarnya yang sudah kembali dipenuhi barang-barang tentang Arda. Sontak gadis itu menatap jarinya, dan melihat sebuah cincin melingkar di jari manisnya.
"Kok ..."
"Kenapa? Kok kamu keliatan bingung?"
Niatnya, Raisha hanya bertanya. Tapi wanita itu kebingungan saat Mutia justru memberikan tatapan penuh kekesalan kepadanya. Apa yang terjadi?
"Tuh, kan mama ngerjain aku!"
Pecahlah tangisan Mutia kemudian. Gadis itu benar-benar histeris sampai membuat ibunya kewalahan. Kalau diibaratkan, Mutia seperti balita yang sedang tantrum. Histeris dan tidak bisa ditenangkan.
Raisha bahkan tidak mengerti kenapa Mutia marah padanya?
"Heh, kamu tuh diem dulu. Bangun-bangun malah nangis marah-marah. Kamu tuh kenapa sih, Sayangnya mama?"
"Ya mama ngapain ngerjain aku? Bilang aku kecelakaan, terus Arda meninggal. Jahat banget sih! Mana mukanya serius banget!" seru Mutia kesal.
"Heh, siapa yang ngomong begitu sih? Semalam kamu ketiduran di mobil terus digendong Arda ke kamar. Bangun-bangun malah nangis dan marah nggak jelas. Pakai fitnah mama, lagi!"
Mutia terdiam. Ketiduran di mobil? Bukannya semalam dia masih di rumah sakit? Dia baru saja pulang tadi pagi.
"Ma, bukannya aku semalam masih di rumah sakit?" tanya Mutia.
Raisha pun ikut heran, tatapan matanya berubah khawatir. "Di rumah sakit? Emang kamu kenapa? Kok nggak bilang mama kalau kamu sakit?"
"Lah 'kan mama sendiri yang nemenin aku terapi?" Kali ini Mutia tidak dapat menahan lagi perasaan herannya. Gadis itu mencari bekas luka di kepalanya.
Tidak ada.
Bahkan rambut yang dipotong guna mempermudah operasi, kini tumbuh panjang.
"Udah ah, kamu tuh kebawa mimpi! Mending mandi sana, terus kerja. Kamu udah kayak pengangguran sekarang, nggak pernah kerja."
Raisha meninggalkan Mutia sendirian. Di saat gadis itu sendiri belum mampu mencerna keadaan. Sibuk merenungi apa yang baru saja terjadi.
Mimpi? Semuanya terasa begitu nyata untuk dikatakan mimpi. Dia jelas merasakan kebas di sekujur tubuh saat pertama kali bangun, juga rasa sakit yang ditimbulkan saat terapi. Sedangkan katanya, mimpi itu tidak bisa dirasakan. Jadi menurutnya ini bukan mimpi.
Apakah mungkin ia baru saja kembali ke dunia nyata lantas kembali lagi ke dunia ini? Jika benar, mungkin pertanyaannya terjawab. Dunia begitu labil hingga bingung meletakkannya di dunia mana.
Atau mungkin ... ada sesuatu di balik semua ini?
Entahlah, Mutia saat ini sedang butuh kepastian. Jadi gadis itu memilih menelepon seseorang. Seseorang yang mengetahui tentang kenyataan bahwa dia tidak berasal dari dunia ini.
Siapa lagi kalau bukan calon suaminya, Ardandi Martias Handoko.
Seperti biasa, hanya perlu dua deringan untuk Arda mengangkat teleponnya. Memang lelaki idaman. Selalu mengangkat teleponnya kecuali dalam kondisi tidak bisa diganggu, seperti saat rapat maupun perform.
"Kenapa, Sayang? Kangen?"
Ugh, suara itu. Calon suaminya itu tidak hanya merdu saat menyanyi, tapi juga saat berbicara. Sayangnya, tak banyak orang yang bisa menikmati betapa merdunya suara lelaki itu.
"Iya, kangen~" rengek Mutia. Dia sepertinya butuh asupan kasih sayang dari Arda.
"Yaudah nanti aku ke sana. Sekarang video call dulu gimana?"
Tawaran itu tentu saja disambut baik oleh Mutia. Tanpa menjawab, gadis itu mengubah panggilan menjadi panggilan video. Hingga tak lama kemudian, muncul wajah tampan seorang Ardandi dalam layar ponselnya.
"Kok kamu sembab gitu? Habis nangis ya?"
Tak ada jawaban dari Mutia. Gadis itu sibuk mengulum bibirnya. Tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku ke sana sekarang."
***
To Be ContinuedMaaf, ini harusnya upload kemarin malah baru up sekarang wkwkw.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance in Another Universe
RomanceKefrustasian Mutia atas meninggalnya sang kekasih membuatnya melampiaskan melalui karya. Mutia menerbitkan novel yang menceritakan kisah hidupnya bersama sang kekasih. Perbedaannya adalah dalam novel itu, Mutia dan sang kekasih akan hidup bahagia be...