Untungnya, luka yang dialami Mutia tidak parah. Mobil dari arah kiri tadi tidak berkendara dengan kecepatan tinggi, pun mobilnya sendiri tak sedang melaju pesat. Mutia hanya mengalami pergeseran sendi pergelangan kaki kirinya. Sedangkan sang pengendara mobil satu lagi tidak mengalami cidera apapun.
Awalnya, sang penabrak ingin membayar seluruh biaya rumah sakit Mutia, tapi gadis itu tolak karena ini adalah kesalahannya. Mutia justru merasa bersalah karena bagian depan mobil lelaki itu rusak walaupun tidak terlalu parah. Berakhir dengan keduanya saling memaafkan satu sama lain dan tidak ada acara ganti rugi.
Ngomong-ngomong, lelaki yang 'menabrak' Mutia itu masih muda. Sepertinya seumuran dengan gadis itu. Wajahnya rupawan, cocok untuk menjadi seorang artis.
Namun, bukan itu yang menjadi fokus Mutia. Entah mengapa, dia merasa pernah bertemu dengan lelaki itu. Tapi siapa? Kenapa Mutia tidak bisa mengenalinya?
Biasanya, Mutia abai pada hal-hal kecil seperti ini. Tapi lelaki itu justru mampu menarik atensinya. Sebenarnya ... siapa dia?
"Mutia, kamu tuh kenapa sih diem aja?" tegur Raisha yang baru saja memasuki kamar Mutia.
Kenapa Mutia bisa di kamarnya? Tentu saja karena lukanya tidak parah. Jadi dokter memperbolehkannya untuk langsung pulang.
"Ya namanya juga masih syok, Ma." Mutia menjawab lirih. Badannya terasa sangat lemas.
"Ya makanya kalau nyetir mobil tuh yang bener. Dua kali loh, Tia. Kamu hampir mati gara-gara kasus yang sama."
"Ya maaf, Ma. Aku juga nggak mau kecelakaan dua kali."
"Kamu tuh mikirin apa sih? Bisa sampai kecelakaan kayak gini? Mama tau kamu ceroboh, tapi nggak kayak gini juga kali. Mama sampai ninggalin sanggar loh pas dapet kabar kamu kecelakaan."
"Iya, Ma. Maaf."
"Jangan maaf-maaf aja, ngerti nggak?"
"Udah deh, mama jangan ngomel terus. Lagian siapa sih yang nggak kaget kalau tiba-tiba pindah ke mobil?!"
Dengan kondisi yang masih syok, Mutia belum sepenuhnya sadar. Gadis itu dengan asal mengeluarkan apapun yang berada di otaknya. Bahkan setelah beberapa detik berlalu, tak ada perkataan yang diralat.
"Pindah? Apa maksud kamu pindah?" tanya Raisha bingung.
"Ya pindah dunia lah. Dari dunia novel ke dunia asli. Aku tuh lagi ngantuk, mau tidur sama Salsa eh tiba-tiba pindah ke mobil," jawab Mutia lancar.
Raisha semakin heran. "Dunia novel apa sih, Mutia? Kamu lagi halu ya?"
"Ish, ya novel aku lah, Ma. Aku masuk ke novel itu habis kecelakaan. Sebenernya pas aku koma, aku itu ada di dunia lain. Aku tunangan sama Arda, mau nikah malah. Terus nggak tau kenapa pas lagi nyiapin pernikahan kita, aku sadar dari koma. Semenjak itu aku jadi sering pindah-pindah dunia," jelas Mutia panjang lebar.
"Pindah dunia? Kamu ini kenapa sih? Arda itu udah nggak ada, Mutia. Kamu ngomong apa sih?"
"Arda itu masih ada, Ma! Aku udah tunangan sama dia. Mama inget 'kan waktu itu aku nyari cincin? Aku nyari cincin tunangan aku. Terus Arda ngelamar aku di panggung. Kita udah nyiapin pernikahan. Bunda yang bikinin gaun khusus buat aku. Terus sekarang aku lagi dipingit dan nggak boleh ketemu sama Arda. Karena bosen, aku ngadain acara sama Salsa."
Raisha terdiam dengan napas yang tersengal-sengal. Kali ini, wanita itu benar-benar tidak bisa menahan kekecewaannya. Mutia benar-benar mengecewakan.
"Kamu bisa nggak sih, jangan terus-terusan mikirin Arda? Arda itu sudah meninggal, Mutia. Kasihan dia jadi nggak tenang kalau kamu terus kayak begini. Kamu nggak kasihan sama dia? Arda udah nahan sakit bertahun-tahun, dan sekarang dia sudah sembuh. Tolong ikhlasin dia," mohon Raisha.
Sebenarnya, bukan hanya Mutia yang Raisha khawatirkan. Wanita itu khawatir tentang banyak hal. Seperti bagaimana perasaan orang tua Arda jika tahu Mutia masih terpuruk, bagaimana nasib editor gadis itu yang sudah dipercaya untuk mengemban projeknya? Dan banyak hal lain yang lama kelamaan semakin menggerogoti kejiwaannya.
Di tengah perseteruan itu, bel pintu terdengar. Raisha dengan segera memilih pergi dan menghadap sang tamu. Urusan Mutia bisa dipikirkan nanti.
"Eh, Tania." Raisha tersenyum canggung saat melihat Tania lah orang yang berkunjung ke rumahnya.
Tania dipersilakan masuk walaupun dengan berat hati. Raisha sedikit kesal karena Tania datang di saat-saat seperti ini. Bagaimana jika wanita itu bertemu Mutia dan mengetahui segalanya?
"Tadi aku denger ada suara orang ribut, kenapa, Ra?" tanya Tania. Seperti biasa, perempuan cenderung tak jauh dari rasa ingin tahunya.
"Gapapa. Cuma cek-cok dikit aja sama Mutia." Raisha beralibi.
"Kamu tuh jangan keras-keras sama Mutia, kasihan dia baru pulih mentalnya."
Raisha sebenarnya menunggu Tania untuk duduk di ruang tamu, tapi mungkin karena setiap berkunjung selalu dibawa ke kamar Mutia, wanita itu tidak berhenti di ruang tamu. Apalagi Raisha tidak menegurnya sama sekali. Sangat tidak peka, pikir Raisha.
"Halo, Mutia!" sapa Tania sembari memasuki kamar dengan nuansa warna kuning itu.
Mutia yang melihat Tania gelagapan. Kondisi tubuhnya sangat tidak baik untuk bertemu dengan seseorang. Dia hanya akan membuat bundanya khawatir.
"Eh, Bunda. Apa kabar?" Mutia cengengesan, berusaha menampilkan ekspresi sebaik mungkin.
"Jangan ketawa-ketawa gitu, bunda tau kalau kamu kecelakaan lagi. Mana yang sakit?" Tania memutar-mutar tubuh Mutia. Mencoba mencari di mana letak luka yang didapat gadis itu.
Gerakan yang terlalu banyak itu membuat kaki Mutia tanpa sengaja terantuk kaki ranjang. Gadis itu meringis kuat. Sedikit gerakan saja rasanya ngilu, apalagi ini sampai terbentur.
"Eh, kenapa sayang? Kepegang ya bagian sakitnya?" tanya Tania panik.
Raisha yang peka memilih membantu anaknya kembali duduk di pinggiran kasur. Wanita itu mengangkat kaki kiri Mutia dengan perlahan. Tania yang melihat gips di kaki Mutia pun peka.
"Aduh, maaf ya, Sayang. Bunda nggak tau kalau kaki kamu cedera."
Kemudian percakapan berlalu seperti biasanya. Mutia kembali menjadi ceria. Raisha pun sepertinya sudah melupakan masalah yang tadi.
Namun, atmosfer itu tak bertahan lama. Mutia melontarkan pertanyaan yang tidak seharusnya diutarakan. Membuat suasana yang tadinya hangat mendadak jadi sunyi.
"Bunda, kalau aku bilang aku masuk dunia novel dan ketemu Arda di sana, apa bunda percaya?"
Raisha naik pitam. Dengan susah payah ia menyembunyikan pembicaraan tadi dari Tania. Namun anaknya ini dengan enteng membukanya.
"Mutia, udah dibilangin itu cuma halusinasi kamu! Arda itu udah meninggal, jangan digelayutin terus dong. Kasihan dia di sana nggak tenang. Apa kamu nggak mikir ngomongin Arda di depan bunda kamu? Kamu pikir gampang mengikhlaskan seorang anak untuk pergi selamanya?"
"Udahlah, pokoknya kamu harus ke psikiater. Supaya nggak makin parah itu halusinasinya."
***
To Be ContinuedHalooo, maaf baru balik. Selamat hari lebaran, mohon maaf lahir dan batin untuk yang merayakan. Maaf telat seminggu, hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance in Another Universe
RomanceKefrustasian Mutia atas meninggalnya sang kekasih membuatnya melampiaskan melalui karya. Mutia menerbitkan novel yang menceritakan kisah hidupnya bersama sang kekasih. Perbedaannya adalah dalam novel itu, Mutia dan sang kekasih akan hidup bahagia be...