37. Berdua Bersamamu

23 5 0
                                    

Arda adalah tempat pulang terbaik bagi Mutia. Tidak pernah ada kata ragu dalam mencurahkan semua yang ada dalam pikiran Mutia. Gadis itu merasakan kenyamanan yang lebih dari perasaan bersama siapapun.

Mungkin ... ini pertanda kalau Arda adalah jodohnya.

Seperti ucapannya tadi, Arda langsung bergegas menuju rumah Mutia. Lelaki itu langsung mematikan telepon setelah mengucapkan kalimat itu. Membuat Mutia tak memiliki pilihan lain selain pasrah dan membiarkan Arda berkunjung.

Awalnya, Mutia berencana untuk mengatakan bahwa ia baru saja mengalami mimpi buruk. Niatnya sih tidak ingin menceritakan semuanya kepada Arda. Takut Arda akan kembali marah seperti waktu itu. Sudah cukup satu kali, Mutia tidak ingin didiami lagi.

Namun, wacana tetaplah wacana. Kalau sudah bersama Arda, mulut Mutia itu sudah seperti knalpot bocor. Semua hal diceritakan.

Buktinya kini Mutia tengah menangis di pelukan Arda. Pintu sudah dikunci rapat. Memastikan bahwa tidak ada yang akan mendengar percakapan mereka.

"Udah-udah. Kan kamu udah di sini sekarang. Jangan takut, ada aku di sini," hibur Arda.

Arda berubah posisi mereka. Kali ini dia bersandar di kepala kasur dengan Mutia di pangkuannya. Mutia menenggelamkan kepalanya dalam dada kekasihnya. Terus menangis di sana.

"Gimana bisa tenang. Aku-aku-huaaaa."

Kalau boleh jujur, telinga Arda kini terasa pengang karena terus mendengar tangisan kekasihnya. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain menenangkan Mutia. Dia tidak suka gadisnya bersedih.

Begitulah namanya bucin. Tak peduli bahwa dirinya sendiri sakit dan kesusahan. Yang penting ayang senang.

"Mutia, hey dengerin aku! Aku di sini. Aku ada sama kamu. Aku nggak akan ninggalin kamu kecuali memang Tuhan yang memisahkan kita." Arda berkata sungguh-sungguh, lihat saja bola matanya yang penuh tekad.

"Tapi, kan pilihannya ada dua. Kamu bisa aja dibikin mati lagi sama Tuhan di sini, atau aku yang dibalikin ke dunia sana. Ih, Arda-nggak tau ah kesel!"

"..." Arda terdiam dengan wajah yang seolah mengatakan 'iya juga ya'.

Untunglah kecanggungan itu segera diakhiri oleh gedoran pintu yang cukup kuat dari luar. Ketukan keras itu terus berlangsung hingga Mutia merasa risih. Gadis itu dengan segera berlari dan membuka pintunya.

Wajah Raisha muncul setelah pintu dibuka. Terlihat satu tangannya yang telah memerah sedang berada di posisi hendak mengetuk pintu. Lantas yang satu lagi, wanita itu simpan di pinggang.

"Bagus kamu, ya! Mama gedor-gedor sampai tangan mama merah baru kamu bukain. Lagi ngapain sih, di dalem? Kalian itu masih calon suami istri, belum suami istri sah beneran. Nggak boleh berduaan di kamar sambil pintunya di kunci gitu," petuah Raisha.

Mendengar perkataan calon mertuanya, Arda mendadak merasa tidak enak. Selama ini, Mutia selalu menjaga diri dengan memberi batasan. Mereka tidak pernah berbuat lebih dari bergandeng tangan dan pelukan tidak lain karena Mutia yang selalu menolak.

Namun, kini Mutia lebih sering berpasrah diri. Mungkin ini juga karena Arda seringkali menyiasati agar Mutia tidak menolak perbuatannya. Arda jadi merasa bersalah karena sudah 'merusak' putri semata wayang dari Raisha itu.

"Malah bengong, mama 'kan tadi nyuruh kamu mandi terus kerja. Bukan malah bertigaan di kamar!" tegur Raisha lagi saat putrinya tak kunjung menjawab.

"Kok bertigaan? Kan aku cuma berdua sama Arda?" Mutia bertanya bingung.

"Kamu nggak tau kalau berduaan sama cowok itu yang ketiga setan? Udah ah sana buruan mandi." Raisha mendorong Mutia sampai masuk ke dalam kamar mandi.

Setelahnya, Raisha berbalik menghadap Arda. Wanita itu berkacak pinggang dengan muka galak. Arda ketar-ketir dibuatnya.

"Kamu juga, Arda. Kemarin aja kalian sampai pulang malem karena kamu masih sibuk sama kerjaan. Kenapa sekarang ke sini pagi-pagi kayak pengangguran? Udah sana berangkat kerja?" perintah Raisha tegas.

Bukan maksud Raisha ingin mengusir Arda. Hanya saja, dua orang itu memang suka lupa waktu jika sedang berdua. Jadi sebagai orang tua yang baik, Raisha harus menegur mereka. Walaupun dengan cara yang terkesan agak kasar.

"Ih, mama nggak mauuuuu. Mau sama Arda hari ini." Tiba-tiba saja Mutia keluar dari kamar mandi.

"Kamu, ya! Dibilangin suruh mandi malah keluar lagi. Nggak malu kamu ketemu sama Arda belum mandi?"

"Ngapain malu? Orang nanti pas udah nikah malah ketemunya bisa jadi dalam kondisi lebih parah."

"Mandi!"

"Enggak!"

"Mandi!"

"Enggak!"

"Mandi!"

"Enggak!"

"Mandi, Mutia Suci Anugrah!" teriak Raisha yang membuat Mutia dengan segera berlari memasuki kamar mandi. Jika ibunya sudah berteriak sembari memanggil nama lengkapnya, itu berarti dia berada dalam bahaya.

"Tapi aku tetep mau ikut Arda. Pokoknya tungguin aku sampai selesai mandi!" Mutia kembali berteriak dari dalam kamar mandi.

Raisha menghela napasnya lelah. Sulit sekali menghadapi anaknya yang sangat keras kepala itu.

Arda yang juga mendengar perkataan Mutia segera menenangkan Raisha. "Tenang aja, Ma. Nanti juga Mutia bosen sendiri di sana."

Dan ucapan Arda itu kemudian menjadi kenyataan. Buktinya setelah beberapa jam berada di kantor agensi Arda, gadis itu kini tengah merengek.

"Arda, ih kok kamu cuekin aku terus sih? Aku bosen~"

"Salah sendiri, suruh siapa ikut aku?"

🌷🌷🌷

Tak terasa jam berlalu begitu cepat. Saat ini, Mutia dan Arda sedang dalam perjalanan menuju apartemen. Siapa yang mengajak ke sana? Tentu saja Mutia.

Katanya, Mutia membutuhkan asupan kasih sayang dari Arda. Jadi mereka butuh waktu untuk berduaan. Padahal kalau dipikir-pikir, dari pagi juga mereka sudah berduaan.

Kenapa harus di apartemen? Karena kalau di rumah Mutia, nanti Raisha akan mereog lagi seperti tadi pagi. Sedangkan kalau di rumah Arda, Mutia masih canggung jika harus bermesraan di depan Riu.

"Aku tuh heran deh sama kamu. Dari dulu kenapa canggung terus sama papa sih? Padahal kita udah pacaran empat tahun. Tunangan juga hampir setahun. Habis ini aja kita mau nikah. Tapi kamu kayak masih nganggep papa orang asing," seloroh Arda.

Selama ini, Arda memang terus diam melihat hubungan Mutia dan papanya yang begitu canggung. Tapi dia tidak bisa membiarkan kecanggungan ini terus berlangsung. Sebentar lagi, Mutia akan menjadi istrinya. Itu berarti papanya juga akan menjadi orang tua Mutia.

"Yah, kamu tau sendiri 'kan? Papaku udah meninggal sejak aku kecil. Setelah itu, mama nggak pernah deket sama lelaki mana pun. Jadi aku nggak pernah ngerasain figur ayah dari aku masih anak-anak sampai sedewasa ini. Terbiasa hidup tanpa ayah bikin aku merasa asing sama papa kamu. Kadang, ada kok perasaan pengen nganggep papa kamu sebagai papa aku sendiri, kayak aku nganggep bunda sama kayak mama. Tapi nggak tau kenapa rasanya susah."

"Apalagi papa kamu tuh dingin, aku jadi nggak tau harus mendekatkan diri kayak gimana. Beda banget sama bunda yang waktu aku dateng aja langsung jadi cerewet."

Ah, Arda paham sekarang. Mutia bukan tidak mau mengakrabkan diri. Hanya saja dia bingung bagaimana caranya.

"Okay, kalau gitu mulai sekarang aku bakal bantuin kamu buat deket sama papa."

Setelahnya, Arda dan Mutia sampai di apartemen. Arda membukakan pintu untuk Mutia. Lantas mereka berjalan bersama memasuki apartemen.

Apa yang terjadi selanjutnya? Tentu saja kedua insan itu bermesraan, bercumbu ria tanpa gangguan siapapun.

Kalau kata Arda, yang penting nggak kebablasan.

***
To Be Continued

Kalau hari ini dapet 2 vote, aku double update.

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang