21. Sehari Bersama Arda

28 7 0
                                    

Hening.

Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut sang wanita maupun sang lelaki. Keduanya sama-sama terdiam setelah mendengar fakta yang sama sekali tidak masuk akal. Masuk ke dalam novel buatannya sendiri? Apakah ini efek dari berhalusinasi siang dan malam untuk membuat sebuah cerita?

"Kamu pasti capek, sekarang kamu istirahat aja," kata Arda cepat. Lelaki itu berbalik dan meninggalkan Mutia begitu saja tanpa menoleh.

Tak ada usapan lembut di rambut maupun wajahnya. Tak ada senyuman hangat yang terpancar. Mutia benar-benar kehilangan semuanya dalam sekejap.

Mengerjap pelan, Mutia benar-benar tidak bisa menerima apapun yang terjadi. Apa maksudnya dengan meninggalkannya begitu saja? Apakah Arda marah?

Namun, siapa juga yang tidak marah jika kekasihnya mengatakan dirinya sudah meninggal. Seakan-akan Mutia begitu menginginkan kematian Arda. Mungkin karena itu Arda tersinggung.

Mutia jadi menyesali keputusannya. Harusnya ia tak mempercayai siapapun. Fakta yang ia bawa tak mungkin dipercaya, kenyataan ini memang tidak masuk akal.

Sementara Mutia menyesal, Arda terduduk di kamarnya. Langkah kakinya terasa berat sekali. Bahkan ketika sudah mencapai pintu, dia tak mampu lagi berjalan mencapai ranjang yang hanya berjarak beberapa langkah. Berakhir merosot jatuh di balik pintu.

Kenyataan yang Mutia berikan terlalu berat untuk diterima. Dirinya sudah meninggal? Benarkah? Arda memandangi kedua tangannya sendiri. Apa hidupnya selama ini hanyalah sebuah khayalan?

Mengapa Tuhan begitu jahat? Mengapa memisahkan dua insan yang saling mencintai? Mengapa tak mengabulkan doa yang selalu ia panjatkan setiap malam?

Arda membuka kedua kelopak matanya. Mungkin dengan inilah Tuhan mengabulkan permintaannya. Tuhan memberikan kesempatan kedua untuknya di dunia ini.

🌷🌷🌷

"Bentar, Ma. Mutia masih ngantuk." Seorang gadis berdecak kesal saat ibunya terus-terusan mengganggu tidurnya.

"Mama? Siapa yang lo panggil mama hah?" Eh? Kenapa suara mamanya jadi berat?

Mutia membuka matanya. Mengubah posisinya menjadi duduk. Sedetik kemudian, dia baru sadar kalau mamanya tidak pulang ke rumah. Lantas siapa yang membangunkannya?

Mutia menolehkan kepalanya, mendapati seorang lelaki berdiri di samping ranjangnya. Lelaki itu bersedekap. Dengan tatapan yang seakan ingin memakan gadis di hadapannya.

"Sekarang udah jam berapa, hm?" tanya Arda dengan intonasi yang begitu tenang.

Tapi ketenangan itulah yang membuat Mutia ketar-ketir. Gadis itu lebih suka Arda mengomel seharian daripada bersikap tenang seperti itu. Karena tenangnya Arda adalah pertanda kalau lelaki itu sedang benar-benar marah padanya.

Mencoba tenang, Mutia mengambil jam di nakas. Kemudian memekik saat melihat jarum pendeknya sudah mencapai angka delapan. Bagaimana bisa ia tidur selama itu?

Menoleh kembali ke samping ranjang, Mutia memasang wajah cengengesan. Berharap diampuni kesalahannya. Walaupun hal itu pasti sia-sia mengingat Arda adalah seseorang yang sangat disiplin.

"Ngapain senyum-senyum? Udah sadar salahnya di mana?" tegur sang musisi terkenal itu.

"Hehe, maaf ya. Aku nggak bisa tidur semalem. Kamu tau sendiri kan aku nggak suka tidur di tempat asing?" Mutia memasang wajah melas andalannya.

Arda menghela napas. Mungkin tidak ada salahnya memberi Mutia keringanan. Toh ini salahnya sendiri membiarkan Mutia tidur di kamar tamu.

"Okay, kali ini aku maafin. Cepetan sana mandi!" pinta Arda sebelum keluar dari kamar.

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang