Mutia menyerah pada kenyataan.
Arda sudah meninggal, dan itulah yang harus ia terima. Benar apa yang Raisha katakan. Mutia tidak bisa terus menerus bersikap seolah Arda masih hidup, dia harus berhenti menyakiti orang lain.
Mutia bukan satu-satunya insan yang menderita setelah kematian Arda. Riu dan Tania tentunya adalah orang yang paling kehilangan. Namun, dengan hati yang seluas samudera, mereka mengikhlaskannya.
"Tuhan sayang sama Arda, karena itu Tuhan ambil dia. Tuhan nggak mau Arda hidup sakit-sakitan lagi."
Alasan itu yang selalu Tania katakan ketika Mutia bertanya.
Dulu, Mutia bingung kenapa Riu dan Tania masih bisa hidup dengan normal setelah kehilangan putra semata wayang mereka. Tapi kini dia mengerti. Kedua orang tua Arda itu tidak benar-benar mengikhlaskan anaknya begitu saja. Mereka hanya mencoba berbesar hati dan menerima takdir yang diberikan oleh Tuhan.
Dan mungkin, itulah yang bisa Mutia lakukan saat ini.
Namun, tentu saja itu tidaklah mudah. Bagi seseorang yang baru saja mengalami quarter life crisis di usia pertengahan dua puluh, Mutia butuh dukungan di belakangnya. Sayangnya, Raisha saja tidak cukup. Sebab terkadang, wanita itu terlalu sensitif untuk diajak berbicara.
Jadi, Mutia memilih seseorang untuk dia jadikan tempat singgah. Orang yang dia percaya untuk mendengarkan segala keluh kesahnya. Siapa lagi kalau bukan sahabat terdekatnya, Salsa.
Hari ini, Salsa mendapat izin cuti setelah sekian lama melobi atasannya. Sebenarnya gadis itu ingin menggunakan waktu liburnya ini untuk mengurusi pernikahan, tapi wacana itu segera ia batalkan saat Mutia menelepon dengan suara parau. Dia bisa mengurusi pernikahannya nanti, tapi Mutia yang sudah seperti saudaranya sendiri tak mungkin ia abaikan.
Kemudian di tempat inilah kedua orang sahabat itu akhirnya bertemu, Apartemen Salsa. Curahan hati dari Mutia terlalu privasi untuk dibicarakan di tempat umum. Dan tempat paling nyaman bagi mereka adalah apartemen milik Salsa.
"Ini serius gapapa? Lo sama Kak Dani 'kan lagi persiapan pernikahan. Kalian pasti sibuk," ungkap Mutia.
Percayalah, walaupun Mutia terkadang semena-mena dan terkesan tidak tahu diri, dia masih memiliki batasan. Mutia tahu betapa sibuknya persiapan menuju pernikahan, mulai dari berkas hingga pernak-pernik acara. Tentu saja karena Mutia juga pernah merasakannya, walau kemungkinan besar kejadian itu tidak nyata dan hanya halusinasinya.
"Yaelah kayak sama siapa aja. Lo tau 'kan gue di sini sendirian? Selama ini cuma lo yang siap bantuin gue kalau susah. Cuma lo yang waktu itu mau minjemin gue duit padahal utang yang lalu aja belom sempet gue bayar. Dan sekarang, giliran gue buat bales kebaikan lo. Dengan waktu tentunya, soalnya kalau pakai duit, lo udah punya banyak." Salsa bercanda di akhir.
Mutia hanya tersenyum tipis. Beban di hatinya seakan menahan ujung bibirnya untuk melengkung ke atas. Kekasih dari Arda itu kemudian menarik napas pelan.
"Gue mau serius berobat. Gimana menurut lo?" Mutia berkata cepat.
Hening.
Kesunyian itu sepertinya membuat Mutia kesulitan mengambil napas. Dadanya kini seakan dibebani oleh sebuah batu besar. Membuatnya sesak, hingga lupa caranya bernapas.
Tapi suasana itu tak bertahan lama. Sesaat kemudian, Mutia memilih mendongak guna melihat ekspresi dari sang pendengar. Dan saat itu pula hatinya mulai tenang.
Tak ada raut wajah terkejut. Hanya ada senyuman lembut yang Salsa berikan. Seakan sahabat dari Mutia itu sudah mengetahui hal ini akan terjadi.
"Tia, gue dukung semua keputusan lo. Lo yang paling tau apa yang lebih baik buat diri lo sendiri. Kalau lo ngerasa berobat dengan benar adalah jalan terbaik, lakuin. Gue akan tetep di sini, kalau lo butuh bantuan atau saran." Salsa memecah keheningan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance in Another Universe
RomanceKefrustasian Mutia atas meninggalnya sang kekasih membuatnya melampiaskan melalui karya. Mutia menerbitkan novel yang menceritakan kisah hidupnya bersama sang kekasih. Perbedaannya adalah dalam novel itu, Mutia dan sang kekasih akan hidup bahagia be...