6. Abadi dalam Karya

59 6 0
                                    

Satu bulan telah berlalu semenjak Mutia mengirimkan karyanya untuk mengikuti lomba. Saat ini, gadis itu tengah berada di kamarnya. Menatap layar laptop yang menampilkan akun Instagram seseorang.

Tombol refresh gadis itu tekan beberapa kali. Merasa tak sabar dengan pengumuman juara yang tak kunjung muncul. Ini sudah ke-lima kalinya, dan masih belum-nah itu dia!

Dengan segera Mutia menekan postingan itu. Meneliti siapa yang menjadi juaranya.

Juara I

Petikan Gitar yang Merindu - karya Muhan

Mutia menjerit senang. Gadis itu segera berdiri dan berjoget ria. Kebiasaan yang sudah ia lakukan saat kecil, berjoget ketika merasa senang.

Pernah sekali Arda menasehatinya untuk menahan kebiasaannya itu di depan umum. Sebagai pacar, Arda tentu kesal saat ada pria lain melihat kekasihnya melenggak-lenggokkan pinggul. Semenjak hari itu, Mutia tak pernah lagi melakukan kebiasaannya di depan umum. Dia akan menunggu hingga sampai ke rumah, barulah berjoget di rumahnya.

Selesai dengan kebiasaannya, Mutia memilih kembali ke tempat semula. Membaca lagi pengumuman tadi. Siapa tahu ada yang harus ia lakukan setelah ini. Dan benar saja, Mutia harus melakukan konfirmasi melalui nomor yang tertera.

Nabila dengan segera melakukan konfirmasi. Dia tidak suka menunda-nunda pekerjaan. Ingatlah, Mutia itu pelupa.

Mutia menatap lama pengumuman tadi. Lantas tersenyum kala mengingat dari mana nama penanya ia dapat.

Muhan adalah singkatan dari Mutia Handoko. Dulu saat Mutia bingung memilih nama pena, Arda datang dan menyatakan perasaannya. Setelah Mutia menerimanya, lelaki itu justru memberi nama belakangnya pada Mutia. Katanya sih latihan sebelum benar-benar menjadi nyonya Handoko setelah menikah.

"Yaudah karena sekarang kamu jadi pacarku, berarti nama kamu jadi Mutia Handoko."

"Kok gitu?"

"Iya, itung-itung latihan buat jadi Nyonya Handoko setelah kita nikah nanti."

Mutia tersenyum sekilas. Merasa sangat bahagia hanya dengan memikirkan kekasihnya itu. Atau kini bisa dibilang mantan?

"Sayang banget ya, Ar. Kita belum kesampaian nikah eh kamunya udah pergi. Tapi gapapa. Aku mau terus pakai nama pena ini. Kalau bukan sebagai pacar kamu, aku bisa pakai nama itu sebagai anak dari bunda."

Dentingan ponsel membuyarkan lamunan Mutia. Gadis itu mengambil ponselnya yang sengaja ia letakkan di nakas semalam. Belum ia sentuh sedikit pun hari ini.

Editor Cindy
Gue tau ya lo abis ikut lomba dan menang. Pokoknya gue gamau tau, lo harus lanjutin projek kita secepatnya.

Mutia tersenyum menatap pesan yang ia baca dari pop-up notifikasi itu. Beberapa Minggu sebelum kematian Arda, dia memang menerima kontrak dari salah satu penerbit mayor. Dan projeknya itu mangkrak karena Dika yang menghampiri.

Huft, kalau saja Mbak Cindy tahu bahwa Mutia bahkan belum memiliki ide, pasti dia akan mengamuk. Mengomeli Mutia sepanjang hari untuk segera mencari ide. Mutia sudah hafal betul kelakuan editor yang sering menangani naskahnya itu. Meski begitu, Mutia tetap lebih suka naskahnya ditangani oleh Mbak Cindy daripada yang lain.

Tanpa mau menjawab, Mutia meletakkan kembali ponselnya. Matanya mengelilingi kamar. Mencoba mencari hal apa yang bisa ia gunakan untuk membangun ide cerita.

Namun, tak ada hasil. Tujuh puluh persen kamar Mutia hanya berisi tentang Arda. Mengingat seberapa bucin gadis itu.

Mulai frustrasi, Mutia berbaring di kasurnya. Barulah saat itu gadis kesayangan Arda ini teringat dengan buku coklat pemberian Tania. Mutia bergegas mengambilnya. Siapa tahu isinya bisa dijadikan ide cerita.

Mutia kembali membuka buku milik Arda. Kali ini, gadis itu membuka halaman kedua. Hanya ada sebuah tabel yang berisi tanggal-tanggal serta keterangannya. Namun, salah satu-nya mampu menarik perhatian Mutia.

26 Desember 2022 - Bertunangan

Mutia tidak bodoh untuk menyadari siapa yang dimaksud oleh Arda akan bertunangan di tanggal itu. Buku ini adalah tentangnya dan Arda, maka itu berarti lelaki itu memang sudah merencanakan untuk bertunangan dengannya sejak lama.

Kali ini, Mutia tidak merasa sedih karena Arda tak dapat melaksanakan keinginannya. Gadis itu hanya merasa amat kecewa pada takdir yang sebegitu kejamnya dengan orang sebaik Arda. Bagaimana bisa Tuhan menakdirkan kematian Arda berada di tanggal yang sama dengan rencana pertunangan itu.

Apakah ini hanya kebetulan? Atau Arda sudah merasakan jika ada sesuatu yang akan terjadi pada hari itu?

Mutia semakin merasa miris dengan takdir yang Arda miliki. Sakit-sakitan sejak kecil, tidak memiliki teman, bahkan harus menanggung rasa sakit seumur hidupnya. Yah, walaupun umurnya tidak terlalu panjang.

Eh, bagaimana?! Mutia tiba-tiba memikirkan skenario yang Tuhan berikan untuk kekasihnya. Kemudian menemukan satu kemungkinan yang membuatnya sedikit tenang.

Tuhan mengambil Arda lebih cepat karena tak ingin hamba-Nya itu menderita lebih lama. Bukankah itu berarti Tuhan menyayangi Arda? Syukurlah kalau pikirannya benar, dengan begini ia akan semakin mudah mengikhlaskan kepergian orang tersayangnya itu.

Ngomong-ngomong, Mutia jadi melupakan tujuan utamanya membuka buku tadi. Dengan cepat Mutia memutar otaknya. Mencoba berimajinasi dengan informasi yang baru didapatnya.

Arda dan pertunangan? Mutia mengerutkan keningnya. Kali ini otaknya buntu.

"Aku udah bikinin lagi buat kamu. Kamu kapan bikinin sesuatu buat aku?"

"Kan udah aku bikinin puisi."

"Aku pengennya jadi tokoh cerita kamu. Biar semua orang bisa baca dan tau kalau itu buat aku."

Bohlam seakan muncul di atas kepala Mutia. Gadis itu tahu apa yang harus ia lakukan. Mewujudkan keinginan Arda, sekaligus mengabadikan kisah mereka dalam sebuah karya.

Dengan segera Mutia mengambil ponselnya. Berniat menghubungi editornya untuk konsultasi. Dia harus memastikan idenya ini akan diterima.

Editor Cindy

Mbakkkkk!!!!
Gue punya kabar bagus

Apaan? Udah dapet ide buat projek kita?

Iya!

Serius? Coba sini kirim outline-nya

Belom buat hehe^^
Tapi rancangannya udah mateng

Baru kali ini gue dapet penulis modelan kayak lo. Dari kemarin ngapain aja, Neng?
Emang tentang apa sih ceritanya?

Kisah nyata, hubungan gue dan Arda

Tak ada jawaban dari Cindy. Mutia sedikit khawatir dibuatnya. Dia sangat ingin menuliskan kisahnya sendiri. Lagipula jika bukan kisahnya, akan butuh lebih banyak waktu untuk memulai. Mutia harus memutar otak lagi untuk menemukan ide baru, belum lagi proses riset yang memakan waktu.

Dering notifikasi mengembalikan atensi Mutia. Dengan segera gadis itu melihatnya. Siapa tahu itu pesan persetujuan dari editornya.

Editor Cindy
Kalau emang lo bisa, gue nggak akan ngelarang. Lagian, pacar lo itu terkenal. Kalau kita bikin cerita tentang dia, gue yakin karya lo bakal meledak.

Mutia berseru senang. Gadis itu mengambil tempat di depan laptopnya yang lupa belum ia matikan. Melakukan peregangan sejenak dengan jari-jarinya.

Baiklah, sekarang Mutia harus mulai dari mana?

***
To Be Continued

Halooo, maaf baru update karena ada beberapa hal yang harus direvisi.

See You!

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang