53. Mutia dan Dwi

10 2 0
                                    

Apakah setelah berobat dengan baik, semuanya berjalan dengan mulus? Tentu saja, tidak.

Mutia kerap kali ditemukan merenung di pojok kamar. Meratapi nasibnya yang tak bisa lagi bertemu dengan kekasih. Dia juga sering terpergok memandangi foto Arda.

Raisha paham betapa susahnya Mutia untuk mengikhlaskan kepergian Arda. Bagaimanapun, Mutia sudah kehilangan figur ayah sejak kecil. Lalu ketika seseorang bisa mengisi kekosongan itu, Mutia tak akan bisa dengan mudah melepaskannya.

Selain itu, selama hampir dua puluh lima tahun hidup, hanya Arda lah satu-satunya laki-laki yang bersedia menerima Mutia apa adanya. Menerima segala kekurangan dan kelebihannya. Dengan setulus jiwa dan raga.

Karena itu, Raisha tak pernah melarang Mutia untuk bersedih. Baginya kesedihan Mutia memang perlu dikeluarkan. Tugas Raisha hanyalah mengingatkan putrinya itu bahwa hidup terus berjalan, dan Mutia tidak bisa selamanya terjebak dalam kubangan masa lalu.

"Mutia, kamu udah makan, Sayang?" tanya Raisha dari balik pintu.

Dua hari ke belakang, Raisha tak bisa pulang karena menemani muridnya mewakili sanggar dalam lomba tari tingkat provinsi. Sehingga dia tak bisa mengontrol Mutia dua hari ini. Gadis itu pun menolak saat hendak dititipkan ke Tania. Katanya, Mutia sudah besar dan bisa mengurus dirinya sendiri.

Tak ada jawaban dari Mutia, tapi pintu di depan Raisha itu terbuka. Menampilkan sosok perempuan muda yang sepertinya baru saja bangun dari tidurnya. Terbukti dari rambut yang berantakan dan masih mengenakan piyama.

Tanpa basa-basi Mutia memeluk ibunya itu. Seperti biasa, Mutia tidak bisa jauh dari Raisha. Dia gampang rindu dengan ibunya.

"Kangen," rengeknya.

Jika sudah seperti ini, maka bisa dipastikan jika Mutia tak akan membiarkan Raisha bebas seharian. Tapi kali ini Raisha tidak bisa membiarkannya. Sore ini ada acara yang harus Raisha hadiri.

Setelah beberapa saat berpikir, Raisha akhirnya mendapat ide untuk membujuk Mutia.

"Mutia kangen Kak Dwi, nggak? Mau Mama buatin janji buat konsultasi sama Kak Dwi?" tanya Raisha.

Mutia menolehkan kepalanya. Dia hanya diam tanpa menjawab, tapi kemudian melepas pelukannya dan kembali masuk ke dalam kamar. Tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Raisha paham apa yang dimaksud Mutia. Gadis itu mau dan akan segera bersiap. Jadi dengan segera Raisha menelepon Dwi, berharap perempuan yang lebih dewasa dari anaknya itu memiliki waktu luang.

"Halo. Kenapa, Tante?" Dwi menyapa ramah. Sebulan ini menjadi psikiater Mutia, Dwi juga dekat dengan Raisha. Dan mereka sudah sepakat dengan panggilan tante agar lebih nyaman dibandingkan nyonya.

"Kamu lagi banyak pasien, nggak? Ini Mutia pengen ketemu kamu."

"Waduh, hari ini aku libur, Tante." Dwi menyayangkan.

"Yah, terus gimana dong? Tante udah terlanjur bilang mau ketemu kamu. Habisnya itu anak sedih terus," bingung Raisha.

"Ke rumahku aja, Tan. Aku lagi kosong kok."

"Nggak ngerepotin kamu? Libur 'kan waktunya kamu istirahat."

"Tante ini kayak sama siapa aja. Aku udah anggep Mutia kayak adikku sendiri. Jadi aku seneng kalau dia ke sini. Anggep aja lagi main."

Setelah itu, Raisha mengakhiri telepon sebab Mutia telah selesai bersiap.

Berbekal lokasi yang dibagikan oleh Dwi, Raisha mengendarai mobil menuju rumah sang psikiater. Untungnya, Raisha memiliki kemampuan navigasi yang baik. Sehingga wanita itu tak kesusahan melihat arah di ponselnya.

"Kamu tuh belajar baca map, masa bisa nyetir mobil tapi nggak bisa baca map?" nasehat Raisha yang tak ditanggapi.

Mutia sejujurnya sedikit heran saat mobil yang ditumpanginya tak melaju ke jalan menuju rumah sakit. Namun, gadis itu tetap bungkam. Dia terlalu lelah untuk membuka suara.

Sampai di sebuah rumah, tiba-tiba saja Mutia merasa dejavu. Dia pernah mendatangi rumah ini di kehidupan lain. Bersama Arda.

Mengingat Arda, lagi-lagi Mutia dibuat tidak bisa bernapas. Sesuatu seakan menghantam dadanya. Membuat paru-parunya tak sanggup menampung oksigen.

Kalau diingat, Mutia jadi lebih sering sesak napas. Padahal dia tak memiliki riwayat penyakit asma sama sekali. Baik dari dirinya sendiri, ataupun keturunan.

"Tia, kamu gapapa?" tanya Raisha sesak.

Belakangan, Raisha menjadi lebih waspada saat Mutia kesusahan bernapas. Sebab beberapa waktu yang lalu, Mutia sempat hampir celaka karena menahan napasnya, wajahnya sudah membiru kala itu. Semuanya Mutia lakukan hanya karena tidak mau menangis.

"Kalau kamu mau nangis, keluarin aja. Nangis itu wajar, Sayang." Raisha memeluk Mutia. Dia jadi tidak tenang meninggalkan Mutia dalam kondisi seperti ini.

Mutia mencengkram bagian pinggang baju Raisha. Sekuat apapun Mutia mencoba, perasaannya begitu sulit untuk dibohongi. Jadi menangislah gadis itu di pelukan ibunya.

"Aku cuma nggak pengen mama khawatir, makanya aku nggak mau nangis," isak Mutia.

Acara mellow anak dan ibu itu berakhir saat suara pagar yang dibuka terdengar. Dwi di sana, dengan senyuman manis di wajahnya.

"Mutia, ayo sini!" ajaknya.

Sejenak, Raisha turun untuk berbincang-bincang dengan Dwi. Mengatakan jika dia hari ini dia harus menghadiri sebuah acara. Jadi kemungkinan besar Mutia akan berada di rumah Dwi cukup lama. Raisha tidak tenang jika harus meninggalkan Mutia sendiri.

"Tenang aja, Tante. Aku bakal jagain Mutia sebisaku."

Setelah itu, Raisha pamit pulang. Sementara Mutia dan Dwi memasuki rumah yang sangat asri.

"Mutia pengen cerita atau dengerin cerita?" tanya Dwi.

"Denger," jawab Mutia dengan suara yang begitu serak.

"Kakak udah pernah bilang 'kan kalau kasus yang kamu alami ini, bukan cuma satu-satunya? Mau denger cerita mereka?" Mendengar itu, Mutia sontak mengangguk. Dia penasaran apa yang terjadi dengan mereka. Apakah mereka akan meratap seumur hidup?

"Walaupun banyak, kakak cuma menangani beberapa. Dan dari beberapa itu cuma ada dua orang yang kisahnya membekas, Nadia dan Najla.

Kenapa membekas? Karena masalah mereka sama, dan muncul di waktu bersamaan. Nadia sedih karena waktu itu lagi berantem sama pacarnya, tiba-tiba pacarnya kecelakaan dan meninggal. Kalau Najla, dia maksa pacarnya untuk beliin makanan di seberang jalan, tapi malah berakhir kecelakaan dan meninggal.

Yang bikin kasus mereka makin unik, ada beberapa barang bukti yang menunjukkan kalau apa yang terjadi sama mereka itu nyata. Karena itu, kakak percaya bahwa dunia lain itu ada. Mungkin kamu masuk ke dunia lain itu.

Kakak cuma mau bilang, kamu gapapa percaya bahwa kehidupan di mana kamu dan Arda berakhir bahagia itu benar-benar ada. Yang nggak boleh kamu lakukan adalah berharap bisa hidup di sana. Tuhan udah menakdirkan kamu di sini."

Mutia mengernyit. "Tapi kata Kak Dwi, kalau aku sembuh setelah minum obat itu berarti semuanya cuma halusinasi."

"Nggak segampang itu, Tia. Bisa jadi karena belum saatnya kamu kembali aja. Kalau setelah ini kamu balik lagi, kakak yakin kalau semua itu nyata," jelas Dwi.

"Terus kalau aku balik ke sini seutuhnya, gimana kabar Arda, Kak?" Mata Mutia mulai berkaca-kaca.

"Ada jiwa Mutia yang lain di sana. Kamu baru masuk ke sana setelah dewasa, itu berarti sebelumnya ada yang menjalankan tubuh kamu 'kan? Secara nggak langsung, kamu udah merebut tubuh 'Mutia' di dunia lain. Dan aku yakin kalau kamu lanjut, bakal ada hal buruk yang terjadi."

"Tapi aku nggak tau gimana caranya untuk berhenti," kata Mutia.

"Dari beberapa kasus yang aku tangani, aku bisa narik satu kesimpulan. Semuanya terjadi karena rasa bersalah. Jadi tolong, maafkan dirimu sendiri. Bukan salahmu kalau Arda meninggal. Bukan salahmu juga baru tau kalau Arda sakit setelah bertahun-tahun."

***
To Be Continued

Maaf banget ya baru update sekarang:(

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang