17. Mutia vs Dini

45 5 0
                                    

Pagi yang indah, sepasang kekasih sedang memadu cinta di alun-alun kota. Keduanya kini bergandengan tangan. Keduanya duduk lesehan di hamparan rumput yang begitu hijau.

Mutia menyenderkan kepalanya ke bahu Arda. Membuat lelaki itu mengelus kepalanya dengan tangan yang lain. Mereka sangat lengket seperti pengantin baru.

"Arda, pengen kayak gini tiap hari." Arda terkekeh mendengar penuturan Mutia. Seingatnya, mereka sudah lengket setiap hari. Lantas mengapa tunangannya itu berkata seakan-akan mereka tidak pernah bermesraan.

Walaupun begitu, Arda tetap mengangguk. Dia tidak ingin memprotes Mutia atas hal tidak penting seperti itu. Sangat merusak suasana.

"Mungkin setelah ini aku bakal ambil cuti dulu. Mau nikmatin waktu sama kamu," ucap Arda memberitahu.

Setelah tersandung skandal, mental Arda sedikit terguncang. Ia tidak pernah mengalami hal semacam ini. Difitnah secara keji dan tidak ada yang mempercayainya ketika mencoba menjelaskan kebenaran. Jika bukan karena Mutia dan Dani, mungkin keadaannya akan mengenaskan.

Sementara itu, Mutia mendongak semangat mendengar informasi dari Arda. Gadis itu memeluk tunangannya erat. Menikmati aroma tubuh lelakinya yang sangat candu.

"Kita liburan bareng aja!" usul Mutia.

Tidak masalah sebenarnya. Arda tidak keberatan jika Mutia mengajaknya keliling dunia sekalipun. Dirinya tidak kekurangan uang untuk hal itu. Hanya saja, apakah yang akan mereka lakukan itu benar?

Arda adalah seorang lelaki dewasa. Bersamaan dengan Mutia secara terus menerus bisa jadi akan membuat pertahanannya runtuh perlahan. Apalagi mereka hanya akan pergi berdua.

Sebagai orang yang terlahir di negeri timur, keduanya menganut prinsip sex after married. Karena itu Arda sangat mengapresiasi tindakan Mutia yang sangat menjaga diri. Bahkan selama mereka berpacaran, belum sekalipun keduanya berciuman. Padahal di jaman modern ini, kontak fisik sampai mengarah ke hal yang lebih dari ciuman sudah biasa dilakukan.

"Kok diem? Kamu nggak mau liburan bareng aku?" Mutia berujar sendu.

Arda menggeleng pelan, menyangkal pernyataan Mutia barusan. Sayangnya, gelengan itu disalah artikan oleh Mutia. Gadis itu menganggap gelengan Arda mengatakan bahwa lelakinya tak ingin liburan bersamanya.

"Okay, fine." Mutia beringsut menjauh dari Arda. Gadis itu memunggungi tunangannya dengan tangan bersedekap di dada.

Arda seketika panik. Mutia pasti salah paham. Ah, harusnya ia menggunakan mulutnya saja tadi.

"Sayang, maksud aku tuh pernyataan kamu nggak bener, makanya aku geleng," jujur Arda. Tapi hal itu justru menyulut amarah Mutia.

"Jadi aku yang salah?" jawab Mutia ngegas.

"Enggak, Sayang. Siapa yang bilang kamu salah? Yang salah aku karena jawab pake bahasa tubuh. Harusnya langsung ngomong aja."

Biasanya, Mutia akan langsung luluh. Namun, hari ini gadis itu berbeda. Mutia tetap melanjutkan acara merajuknya. Entahlah, rasanya Mutia begitu kesal dengan Arda.

"Hai," sapa seseorang.

Mutia menoleh. Kemudian mendapati sosok gadis yang sempat ia temui beberapa hari yang lalu. Gadis yang sanggup menyulut api amarahnya.

"Ngapain lo ke sini?!" Mutia tidak bisa lagi menahan diri. Gadis itu menaikkan nada bicaranya.

Saat Mutia memilih untuk berdiri, Arda mengikutinya. Lelaki itu merangkul pinggang kekasihnya. Berharap bisa sedikit meredakan amarah Mutia.

Melihat kemesraan dua insan di hadapannya membuat Dini semakin muak. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya kesal. Padahal tadi dia ingin bicara baik-baik.

"Awalnya gue mau ngomong baik-baik. Tapi orang kayak kalian nggak bisa diajak ngomong baik-baik. Dua orang yang cuma mentingin diri." Dini berucap sinis.

Melihat kelakuan Dini yang semakin menjadi-jadi, Mutia merasa harus memberinya pelajaran. Hanya saja ia tak akan membiarkan harga dirinya turun dengan berbicara keras dan kasar di tempat umum. Dia harus menggunakan cara yang lebih elegan.

"Apa salahnya mengungkap kebenaran? Bukannya yang lebih buruk itu memfitnah orang lain ya?" tukas Mutia.

"Gue nggak ada urusan sama lo. Urusan gue sama Arda!"

"Semua yang berkaitan sama Arda itu berarti urusan gue juga. Apalagi ini tentang skandal perselingkuhan yang faktanya cuma karena kelakuan nggak jelas lo."  Mutia maju selangkah mendekati Dini.

"Kejujuran Arda itu nggak diperlukan tau, nggak! Omongan dia bisa ngerusak reputasi gue dan agensi. Harusnya dia mikir, tanpa agensi dia nggak akan sebesar ini," bentak gadis berkacamata itu. Mutia harus mengapresiasinya karena berani mengambil tindakan. Gadis itu bahkan tanpa segan menunjuk-nunjuk ke arah Arda.

"Oh ya? Terus apa yang harus dia lakuin? Ngebiarin karirnya rusak cuma karena berita hoax? Bahkan hubungan gue sama dia bisa aja kandas kalau itu terjadi. Dari sini terbukti 'kan siapa yang egois? Agensi bahkan mendukung klarifikasi cowok gue, mereka meminta maaf di hadapan publik karena sadar kalau salah."

Dini terdiam. Dia tidak tahu lagi harus berkata apa. Pada kenyataannya, kedatangannya ke sini memang hanya untuk membela dirinya sendiri.

"Lo diem berarti lo udah nyadar di mana kesalahan lo. Jangan denial, akuin aja kalau lo salah. Menyadari kesalahan dan meminta maaf akan mengakhiri masalah dengan cepat. Kalau lo terus denial dan merasa bener, bukan nggak mungkin suatu saat lo bakal jadi public enemy." Mutia berbalik. Kembali melangkah menuju kekasihnya.

"Ah, satu lagi yang harus gue kasih tau, Dini. Arda itu cuma punya gue." Kemudian Mutia menarik tengkuk Arda. Menyatukan kedua bibir yang sama sekali belum pernah bersentuhan dengan bibir lain.

Arda membelalakkan matanya. Ini ... mimpi bukan? Tidak, ini pasti mimpi! Mutia menciumnya? Mustahil!

"Kok nggak malu ya? Padahal si cowok udah tunangan. Dia malah nyebar berita hoax. Udah gitu sekarang marah-marah."

"Nggak kaget, orang kayak gitu 'kan emang nggak punya malu. Di depan media aja berani bohong, padahal disaksikan banyak orang. Apalagi di belakang media yang cuma disaksikan lebih sedikit orang."

"Jadi artis kok bisanya cuma cari sensasi doang."

"Bentar lagi juga redup tuh karir. Kemampuan biasa aja, gaya setinggi langit."

"Cantik, tapi murahan."

Semua cacian itu tertuju pada satu orang yang kini masih berdiri di hadapan Arda dan Mutia. Seseorang yang baru menyadari jika tindakannya sangat fatal. Image yang ia bangun sudah rusak saat Mutia menentang pernyataannya, lalu ditambah lagi dengan kesaksian Arda atas sikapnya di pesta tahun baru. Jika sampai berita mengenai dirinya mengamuk di lingkup umum tersebar, maka hancurlah karirnya.

"Lo kalah, Dino." Mutia menyeringai sinis. Rencananya berhasil. Tak perlu banyak tenaga untuk menghancurkan manusia egois seperti gadis di hadapannya.

Cukup lukai saja egonya, maka dia akan kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

"Ah, tapi kayaknya nama lo pantes Dini aja deh. Kalau Dino terlalu lucu. Sedangkan nama Dini cocok banget, nanti panggilannya Mbak Dini," pungkas Mutia yang diakhiri candaan.

"Burn in hell, Din."

***
To Be Continued

Buat yang nggak tau Mbak Dini, dia itu semacam panggilan dari anak ke seorang kuntilanak gitu yg sempet viral di tiktok.

Btw, maaf ya lama nggak muncul. Hari ini aku double update.

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang