50. Sial

11 2 0
                                    

Sial.

Kata itu mungkin bisa menggambarkan kehidupan Mutia secara menyeluruh.

Ayahnya meninggal saat ia masih kecil. Mutia dibully dan tidak punya teman. Terlahir tanpa bakat apapun, bahkan hasil tulisannya cenderung biasa saja. Kehilangan kekasihnya yang begitu dicintainya setelah empat tahun berpacaran. Dan lagi, Tuhan masih ingin mempermainkan dunianya dengan segala alur kehidupannya.

Mutia bingung, dia bimbang. Yang mana yang harus dia pilih? Meninggalkan ibunya di sini dan memilih menetap di dunia novel kah?

Sebenarnya, dalam hati Mutia lebih yakin untuk menetap di dunia novel. Di sana juga ada ibunya. Jadi walaupun dengan terpaksa meninggalkan ibunya yang berada di dunia nyata, setidaknya Mutia bisa meminta maaf dengan cara berkelakuan baik pada ibunya di dunia novel.

Hanya saja, entah kenapa dia belum bisa mengikhlaskan segala hal yang berada di dunia nyata. Dia merasa seperti melarikan diri dari masalah. Lantas membuat dunia semu yang bisa dirinya kendalikan. Mutia bertindak selayaknya seorang pengecut.

Karena ambisinya untuk menetap di dunia novel, Mutia merasa stres setelah seminggu tidak kembali. Setelah mendengar apa yang Dwi katakan saat itu, tanpa pikir panjang Mutia mengiyakan tawaran terapi dan pengobatan sebagai pembuktian. Dia benar-benar tidak menyangka jika efeknya bisa timbul secepat ini.

Biasanya Mutia berpindah hampir setiap hari, dan kini terhitung tujuh hari dia tidak kembali ke dunia novel.

Apa yang harus Mutia lakukan?

Layaknya seorang pecandu yang tak dapat kembali mengonsumsi narkotika, Mutia gemetaran. Kedua tangannya sibuk mengusap dia sisi lengannya. Butiran besar keringat dingin semakin membasahi tubuhnya. Napasnya mulai tersengal-sengal, diikuti dengan bibir yang memucat.

Mutia entah mengapa merindukan sensasi setiap bangun tidur seperti biasa. Perasaan campur aduk itu seakan sudah bersatu dengan dirinya hingga saat keduanya dipisahkan, salah satunya akan merasa tersiksa. Seperti apa yang saat ini Mutia alami.

Akibat terlalu pening, Mutia memilih bangkit. Kedua tangannya bertumpu pada meja. Mencoba menahan tubuhnya yang hampir ambruk.

Kedua netra milik Mutia yang berkunang-kunang kini menatap ke arah meja kerjanya. Emosinya tiba-tiba saja kembali tersulut. Spontan, Mutia menyapukan tangannya di meja.

Segala macam pernak-pernik meja berjatuhan. Suara kaca yang pecah mulai memekakkan telinga. Bersatu dengan debuman buku-buku yang sengaja Mutia letakkan di meja kerjanya itu.

Sayangnya, Mutia masih belum puas. Dengan frustrasi gadis itu menjambak surai panjangnya sendiri. Rambut itu tampak kusut karena tak terawat seminggu belakangan. Mutia benar-benar seperti tidak memiliki waktu selain untuk menantikan dirinya berpindah dunia.

Masih merasa belum puas, Mutia beralih ke meja rias. Yang pertama menjadi sasarannya tentu saja bagian yang paling besar, cermin rias. Gadis itu memukul cermin itu dengan asal hingga retakan kecil tercipta di sana.

Dengan tenaga yang cukup kuat, retakan itu terhitung kecil. Hal ini tentu saja karena Mutia tidak mengerti cara memukul dengan benar. Sehingga pukulan itu bukannya merusak, justru hanya menimbulkan rasa sakit di tangannya.

Di sisi lain, seorang wanita berlari tergopoh-gopoh menaiki tangga. Mengingat rumahnya yang tidak terlalu besar, maka suara dari kamar mudah terdengar. Dan saat ini, Raisha dilanda kepanikan saat mendengar pecahan kaca dari kamar Mutia.

Anaknya ... tak mungkin kembali mengalami depresi, kan?

Tuhan, tolong cukupkan semua cobaan untuknya ini. Raisha merasa hidupnya sudah cukup menyedihkan setelah ditinggal sang kekasih. Dia harus membesarkan anaknya sendirian, menguatkan sang peri kecil untuk menerima takdir bahwa ia akan tumbuh tanpa sosok ayah. Lantas kini, haruskah ia kehilangan peri kecilnya?

Demi Tuhan, Raisha tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika putri kesayangannya terluka.

"Mutia!" seru Raisha kepada Mutia yang terus saja melayangkan tinju pada cermin di hadapannya.

Retakan pada cermin mulai meluas. Serpihannya menempel di buku-buku jari Mutia. Sayangnya, gadis itu terlalu kalut sampai tidak bisa merasakan sakit.

"Mutia udah, Nak! Kamu nggak kasihan sama mama? Jangan ngelukain diri kamu sendiri, Sayang," bujuk Raisha sembari menarik tangan lentik putrinya.

"Sakit, Ma." Setelah itu hanya terdengar isakan Mutia. Gadis itu benar-benar tersedu-sedu. Tangisan pilu miliknya pada akhirnya memancing air mata sang ibu.

"Kamu kenapa, Nak? Tolong tenang dulu. Mama nggak bakal ngerti kalau kamu nangis gini. Hati mama sakit ngeliat kamu luka-luka begini," parau Raisha.

Kedua tangan sang wanita paruh baya menangkap tangan kanan anaknya. Membawanya ke pangkuannya. Saat ini, mereka sedang bersimpu di lantai. Tangisannya semakin pilu saat melihat serpihan kecil dari cermin menancap pada jari-jari lentik putrinya.

Dengan telaten, Raisha membersihkan serpihan itu. Tak peduli jika serpihan itu juga akan melukai tangannya. Dan selama proses pembersihan, Mutia tak pernah sekali pun meringis. Baginya sakit yang dirasakan hatinya jauh lebih perih dibandingkan luka di tangannya.

"Coba sekarang kamu jelasin dulu, kamu kenapa? Mama juga nggak bisa bantu kalau nggak tau apa-apa." Raisha membujuk.

Mendengar kata-kata menyejukkan dari mulut ibunya, Mutia mulai tenang. Gadis yang masih berada dalam dekapan sang ibu itu mendongak. Menatap mata ibunya yang menatapnya dengan penuh ketulusan.

"Maaf, Ma. Aku cuma sedih karena nggak bisa ketemu Arda lagi. Rasanya sakit banget, aku pengen ketemu dia lagi tapi aku nggak tau caranya. Dia nggak ada lagi di dunia ini, dan aku sekarang nggak bisa balik ke dunia novel," jelas Mutia sembari sesenggukan.

Seketika, tatapan lembut Raisha menghilang begitu saja. Tangannya tak lagi mendekap anaknya. Kedua matanya juga beralih menatap kosong ke depan.

Mutia yang kehilangan kehangatan sontak kembali menangis. Apakah ibunya marah? Padahal Mutia hanya mengutarakan isi hatinya.

"Mama kenapa? Kenapa lepas? Mama marah?" tanya Mutia cepat.

Tak ada jawaban dari Raisha. Wanita itu tetap menatap kosong ke depan. Hingga beberapa lama kemudian, wanita itu melepaskan pelukan Mutia pada tubuhnya.

"Kalau kamu secinta itu sama Arda, yaudah silakan pergi dari sini. Kamu mau menetap di dunia novel itu? Silakan. Mama udah nggak peduli lagi. Mama udah capek ngelakuin banyak hal, tapi kamu nggak pernah sedikit pun ngelihat usaha mama. Mama yang ngelahirin kamu, ngebesarin kamu sendirian, mati-matian kerja supaya kamu tetap bisa hidup enak. Tapi pas gede ternyata kamu malah lebih sayang sama pacar kamu."

Lantas Raisha pergi meninggalkan Mutia yang kembali terpuruk. Bukan ini yang gadis itu inginkan. Dia hanya ingin hidup bahagia bersama pasangannya dan ibunya. Dan di dalam dunia novel, Mutia dapat mewujudkan keinginannya.

Hanya saja ada satu hal yang Mutia lupakan. Bahwa jika gadis itu memutuskan menetap di dunia novel, jiwanya akan benar-benar menghilang dari dunia asli. Meninggalkan kesedihan mendalam bagi orang-orang terdekatnya.

***
To Be Continued

Maaf telatnya lama bgt:(

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang