32. Trapped

22 5 0
                                    

Kenyataan tak seburuk yang Arda pikir. Agensi memberinya keringanan dengan memundurkan deadline lagu hingga setelah pernikahannya. Dengan syarat, dia tidak boleh melaksanakan bulan madu sebelum albumnya selesai.

Saat itu, Arda tidak langsung menerima. Lelaki itu mendiskusikan penawaran agensi dengan Mutia. Bagaimanapun, keputusan tentang bulan madu jelas menyangkut dia orang.

Untungnya, Mutia bisa bersikap dewasa. Gadis itu tidak menuntut Arda untuk apapun. Katanya, bulan madu bisa dilakukan kapan saja.

Setelahnya, mereka kembali pada kesibukan masing-masing. Mutia masih lebih dominan dalam mengurus persiapan pernikahan keduanya. Namun, kali ini tidak ada protes darinya sebab Arda selalu menyempatkan diri menemaninya.

Seperti hari ini, Mutia baru bisa merebahkan dirinya di kursi mobil milik Arda saat jarum jam hampir sampai di angka sebelas. Tadi, Arda mendadak harus menghadiri pertemuan dengan produser untuk membahas lagu yang baru diajukannya kemarin. Berakhir keduanya terpaksa memundurkan jadwal temu dengan wedding organizer.

Bagi orang lain, mungkin Arda masih sama seperti dulu. Tidak meluangkan waktunya sedikit pun. Namun, Mutia bisa memakluminya. Arda bahkan sudah berinisiatif untuk memundurkan jadwal temu dengan WO agar bisa mengikuti pertemuan itu. Lantas mengapa harus marah?

Walaupun begitu, tak bisa dipungkiri jika dirinya lelah. Karena itu Mutia memilih untuk bersantai. Dia tidak bisa seaktif biasanya. Baterainya sudah habis.

"Sayang, aku mau tidur. Kalau udah sampai bangunin ya!" pinta Mutia pada akhirnya. Dia sudah tidak kuat untuk menahan rasa kantuk yang menderanya.

"Iya, Sayang," jawab Arda lembut. Tangannya mengambil tangan Mutia. Dibawanya ke pangkuan dan ia elus lembut.

"Aku nggak tau lagi kalau bukan kamu yang jadi pasanganku. Aku bersyukur banget punya kamu, dan aku harap kamu juga bersyukur punya aku. Aku nggak tau apakah kita bakalan langgeng sampai tua, yang pasti-yang pasti aku bakalan berusaha untuk bahagiain kamu," gumam Arda sendu.

Entahlah, Arda merasa bahwa hubungannya dengan Mutia tidak bisa bertahan lama. Ada sesuatu yang menanti mereka di depan sana. Sesuatu yang mungkin akan menjadi halangan besar untuk hubungan mereka.

Dua puluh menit berlalu. Rumah Mutia sudah di depan mata, tapi gadis itu tak kunjung membuka mata. Memang sih, tadi dia menyuruh Arda untuk membangunkannya, tapi Arda mana tega mengganggu gadisnya yang tengah tidur. Apalagi kekasihnya itu tampak kelelahan sampai tertidur begitu pulas. Dia 'kan jadi merasa bersalah.

Berakhir Arda mengambil keputusan untuk menggendong Mutia sampai ke kamarnya. Dia sama sekali tidak keberatan. Toh badan gadis itu cukup ringan untuk seukuran gadis sebayanya.

Arda cukup sering pergi ke gym untuk berolahraga. Bukankah cukup memalukan jika untuk menggendong kekasihnya saja ia tak sanggup?

Meskipun begitu, Arda sedikit kesulitan untuk memencet bel. Walaupun dia sudah mengenal Mutia—bahkan menjadi calon suaminya, bukankah tidak sopan jika masuk tanpa mengetuk pintu? Untunglah tak lama kemudian, Raisha dengan pekanya keluar tanpa perlu mendengar bel.

"Kan~ Mama udah feeling kalau kamu dateng. Mama denger mobil kamu tadi. Yuk, masuk! Kasihan gendong si princess."

Arda tersenyum mendengar penuturan calon mertuanya. Raisha itu sebenarnya kerap kali memuji putrinya. Hanya saja wanita itu tidak mau melakukannya di depan Mutia. Katanya sih, takut anaknya besar kepala.

Arda dengan segera membawa Mutia ke kamarnya. Menidurkan gadis itu di ranjang empuknya. Lantas mengecup keningnya sebelum pamit pulang.

🌷🌷🌷

Di saat orang lain berpikir bahwa ia sedang tidur, sebenarnya Mutia terjebak. Dia berada dalam suatu ruangan putih yang entah apa. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana ia bisa berada di sini.

"Perasaan tadi lagi tidur di mobilnya Arda deh. Kenapa jadi di sini?" Mutia menggaruk kepalanya yang sebetulnya sama sekali tidak gatal.

Sekali lagi Mutia berdiri dari duduknya. Mencoba berkeliling dan mencari jalan keluar. Sayangnya, semua yang berada di sini tampak sama. Jika tidak ada kursi kayu di tengah ruangan putih ini, maka Mutia tidak akan sadar dengan posisinya sekarang. Mungkin gadis itu hanya akan berputar-putar di tempat yang sama.

Tadi saat tertidur, tiba-tiba saja Mutia terbangun di ruangan ini. Dia terbangun di kursi kayu tepat di ruangan ini. Ruangan yang dipenuhi warna putih.

Jika ada warna selain putih di sini, itu hanya kursi kayu dan semua yang melekat di tubuhnya.

Ah, ngomong-ngomong soal baju, Mutia baru menyadari satu hal. Baju yang dikenakannya saat ini adalah baju yang dikenakannya saat kecelakaan di dunia aslinya. Dia tidak mungkin melupakan pakaian terakhirnya itu.

Kenapa belakangan ia sering bermimpi tentang dunia aslinya ya? Apakah ini sebuah pertanda? Jika iya, maka pertanda apa?

Mutia memilih untuk kembali duduk di ... lantai? Entah disebut apa dasar ruangan ini. Yang jelas Mutia sekarang sedang lesehan. Kedua lututnya ia tekuk hingga mencapai dada. Lantas dagunya ia sandarkan ke tekukan lutut itu.

"Kenapa ya hidup gue ada aja masalahnya? Gue udah nggak punya papa dari kecil. Waktu TK gue nggak punya temen karena pendiam. Waktu SD dan SMP gue dibully karena nggak punya papa. SMA juga dibully, bedanya kali ini karena gue suka ngehalu nggak jelas. Padahal waktu itu gue lagi ngarang novel. Kayaknya cuma waktu kuliah gue tenang-tenang aja. Malah bisa dibilang hoki karena bisa deket sama Arda," keluh Mutia.

"Eh, enggak juga sih. Gue dulu juga sempet dikata-katain waktu deket sama Arda. Katanya gue nggak pantes buat Arda yang terlalu sempurna. Gila kali, ya? Orang Arda aja milih gue, kenapa mereka yang sewot?"

"Yah, tapi gue bersyukur karena di masa itu, Arda selalu ada di samping gue. Dia selalu ngelindungin gue dari fans fanatiknya. Walaupun setelah itu dia bikin kecewa karena penyakitnya sih. Tapi itu bukan masalah besar, gue seneng karena dia tetep ada. Eh nggak lama malah ditinggal mati. Gimana ya ekspresi si fans fanatiknya dulu kalau tau pangeran gue udah nggak ada? Apa mereka bakal sedih karena idolanya meninggal? Atau malah seneng dan ngeledek gue?"

"Haha, bahkan setelah Arda meninggal pun hidup gue nggak bisa tenang. Dibully cuma karena angkat cerita tentang dia. Kayaknya seumur hidup gue sering banget dibully deh."

Mutia mencoba mengalihkan perhatiannya. Menggerutu tak akan bisa menyelesaikan masalah. Jadi lebih baik otaknya ia gunakan untuk berpikir.

"Gue 'kan dateng dari kursi itu. Kalau gue duduk di situ lagi kira-kira ngaruh nggak ya? Siapa tau bakalan ke-reverse gitu 'kan?"

Tak ingin menerka-nerka, Mutia segera kembali duduk ke kursi itu. Gadis itu memejamkan matanya erat. Sebelum tekanan di sekitarnya semakin terasa berat.

***
To Be Continued

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang