Salah satu surga dunia bagi Mutia adalah perpustakaan. Gadis itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca buku. Suasana hening di sana membuatnya dapat melakukan recharge energy walaupun berada di tempat umum.
Karena itu, Mutia sudah tidak asing lagi dengan perpustakaan kota. Sejak memasuki Sekolah Menengah Atas dan diperbolehkan keluar tanpa pengawasan ibunya, Mutia membuat kartu anggota perpustakaan. Berhubung saat itu dia belum memiliki KTP, maka KTA sangat membantu.
Faizal, penjaga perpustakaan sejak sepuluh tahun yang lalu sudah hafal betul dengan Mutia. Si gadis ramah yang rajin membaca dan meminjam buku. Mutia datang secara rutin setelah Faizal bekerja selama satu tahun. Kekerapan gadis itu datang lah yang membawanya mengenal Faizal.
Karena itu, ketika pagi ini Mutia kembali datang setelah sekian lama, Faizal menyapanya.
"Ya ampun, Mutia. Lama nggak ketemu. Kangen banget ngobrol sama kamu. Kenapa lama banget nggak ke sini? Udah ada setahun lebih deh kayaknya."
Keduanya sudah seperti teman lama. Tentu saja, karena Faizal adalah seseorang yang pertama kali 'menerima' Mutia. Jauh sebelum Salsa datang, Mutia sebenarnya bukan orang yang tertutup.
Mutia adalah seorang gadis ceria yang selalu dikucilkan oleh lingkungannya. Alasannya pun tak masuk akal. Hanya karena dia tak punya ayah dan tak unggul dalam apapun. Padahal, ayah Mutia meninggal dan itu terjadi di luar kuasanya, lantas mengapa mereka menghakiminya? Mutia bahkan bukan anak di luar pernikahan.
Mutia bukanlah seorang gadis dengan wajah seindah purnama. Dia juga bukan si jenius pemegang peringkat lima besar. Karena itu tak ada yang mencoba melindungi Mutia.
Bagi mereka, ada atau tidaknya Mutia sama sekali tidak berarti.
Lama kelamaan, Mutia yang sudah lelah berharap, mulai menutup diri. Tidak ada lagi Mutia yang ceria. Gadis itu berubah menjadi dingin kepada siapapun selain ibunya.
Dinginnya Mutia lantas dianggap kemenangan para pembully. Mereka justru terlihat senang karena sudah menghancurkan mental seseorang. Seorang gadis yang hanya berharap memiliki teman bermain.
Pembully-an semakin marak dilakukan pada Mutia. Namun, pada saat itu Mutia sudah tidak peduli. Baginya, yang penting Raisha masih sangat menyayanginya. Itu sudah lebih dari cukup.
Hingga suatu saat gadis itu bertemu dengan seorang penjaga perpustakaan. Saat itu, perpustakaan sedang sepi dan sang penjaga pun memiliki waktu luang. Mutia awalnya tidak berpikir untuk mengenalnya. Dalam benaknya, semua orang itu selain ibunya itu sama saja. Sama-sama membencinya tanpa alasan yang jelas.
"Kamu kayaknya sering banget ngabisin waktu di perpustakaan. Nggak main sama teman?" buka sang penjaga perpustakaan.
Mutia terkejut, cukup aneh melihat seseorang mengajaknya bicara. "Nggak punya teman."
"Wah, sayang banget. Orang-orang rugi kalau nggak mau temenan sama kamu," kata sang penjaga perpustakaan.
Mutia sedikit bingung. Selama ini orang-orang selalu memandang rendah kepada dirinya. Kenapa orang di hadapannya ini berbeda?
"Kenapa?"
"Karena kamu suka membaca buku, sudah pasti pengetahuannya luas. Teman itu menentukan kualitas diri, jadi kalau orang lain nggak mau berteman sama kamu, mereka rugi karena nggak bisa nambah pengetahuan secara nggak langsung."
"Tapi aku nggak pinter," bantah Mutia.
"Apa yang membuat kamu merasa nggak pinter?"
"Aku nggak pernah masuk sepuluh besar di kelas. Aku nggak pernah ikut olimpiade apapun. Aku juga nggak menonjol di pelajaran apapun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance in Another Universe
RomanceKefrustasian Mutia atas meninggalnya sang kekasih membuatnya melampiaskan melalui karya. Mutia menerbitkan novel yang menceritakan kisah hidupnya bersama sang kekasih. Perbedaannya adalah dalam novel itu, Mutia dan sang kekasih akan hidup bahagia be...