9. Mimpi?

53 10 0
                                    

Seorang gadis tengah mencoba membuka kelopak matanya yang begitu terasa lengket. Seperti ada sesuatu yang memaksa matanya untuk terus tertutup. Rasanya sangat ... mengantuk?

Setelah berhasil membuka matanya, gadis itu menatap ke sekeliling. Pemandangan yang sangat normal untuk seseorang yang baru saja bangun tidur. Yaitu kamarnya sendiri dengan ornamen-ornamen kesukaannya.

Masalahnya ... dia bukan seseorang yang baru saja bangun dari tidurnya.

Walaupun dirinya adalah seorang pelupa, gadis itu tak akan melupakan kejadian apa yang dialaminya sebelum kehilangan kesadaran. Bagaimana bisa ia lupa jika semuanya sangat membekas untuknya?

Rasa sakit itu, perasaan yang tak bisa ia artikan itu, semuanya ... sangat membekas.

Mutia bergegas mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. Memandangi seisi kamarnya yang tampak sedikit asing. Seingatnya ... dekorasi kamarnya sudah sedikit ia ubah.

Setelah pulang dari rumah sakit hari itu, Raisha meyakinkan Mutia untuk membersihkan kamarnya. Mengurangi sedikit demi sedikit hal-hal yang berhubungan dengan Arda. Semata-mata agar Mutia tak lagi dibayang-bayangi kematian lelaki itu.

Lantas bagaimana bisa dekorasi ini kembali seperti semula?

Oh, Mutia hampir gila dibuatnya. Apa selama ini dia bermimpi panjang? Jika iya, dimulai dari manakah mimpi itu?

Ah! Atau saat ini ia tengah bermimpi?

Demi membuktikan semuanya, Mutia mencubit lengannya. Berharap tak ada rasa sakit yang ia rasakan. Sayangnya harapannya itu sirna saat—

"Auch!"

—dia merasakan sakit atas cubitannya sendiri.

Itu berarti saat ini dia tidak sedang bermimpi. Kalau begitu, bagaimana dengan kecelakaannya? Apakah itu hanya mimpi buruk?

Jika memang kecelakaan itu hanyalah mimpi buruk, mengapa semuanya tampak begitu nyata? Dia pun tak ingat kapan terakhir ia tidur sebelum pergi ke makam Arda kemarin. Oh, atau mungkin mimpinya dimulai dari saat ia bangun tidur? Mungkin saja dia tidak benar-benar bangun waktu itu.

Ah, sudahlah. Mutia tidak akan mendapat jawaban jika terus berdiam diri di sini. Karena itu Mutia segera keluar dari kamarnya dan menemui seseorang yang mungkin bisa membantunya.

"Ma, Mama!" Kebiasaan Mutia belum berubah, gadis itu masih saja akan berteriak memanggil namanya ketika belum menemukan wanita kesayangannya itu.

"Mama di dapur, Tia!" Raisha balas berteriak.

Mutia berlari ke arah dapur. Menemukan mamanya tengah sibuk meng-oven kue kering yang mungkin dibuatnya saat Mutia masih tidur.

Satu hal yang menarik perhatian Mutia adalah penampilan mamanya. Anting yang digunakan mamanya itu ... Mutia yakin bahwa benda itu seharusnya sudah hilang karena kecerobohan mamanya. Lantas mengapa ... bisa ada di telinga mamanya lagi?

Ah, mungkin mamanya membeli anting dengan model yang sama.

Tapi bagaimana dengan rambut mamanya? Bukankah Minggu lalu Raisha baru memotong rambutnya? Mengapa sekarang sudah sepanjang itu?

Ugh, semuanya semakin rumit.

"Kamu ngapain ngeliatin mama kayak gitu?" ketus Raisha. Dia kesal karena anak gadisnya ini sangat susah untuk bangun pagi. Padahal dia sudah mencoba membangunkannya berulang kali tadi.

"Hehe, gapapa." Mutia memilih duduk di kursi dekat pantry.

"Hihi, gipipi. Kamu itu, mau sampai kapan kayak gini terus? Nggak malu kamu bangun siang terus? Gimana nanti kalau udah nikah, siapa yang bakal ngurusin anak sama suami kamu?  Asisten Rumah Tangga? Emangnya kamu rela ada cewek lain yang satu rumah sama kamu dan suami kamu? Kamu 'kan orangnya cemburuan." Raisha terus mengomel tanpa peduli didengarkan atau tidak.

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang