Matahari hampir sampai di ujung barat. Arda memberhentikan mobilnya di salah satu taman. Lelaki itu tak langsung turun, matanya menyusuri hamparan hijau di sekitarnya.
"Kenapa kamu ngajak aku ke sini?" Arda menatap hamparan rumput di sekelilingnya.
"Karena aku suka tempat ini. Dulu, papa sering ngajak aku main ke sini," kata Mutia. Gadis itu tidak menatap lawan bicaranya. Netranya sibuk menikmati keindahan danau di depan sana.
"Kalau aku lagi capek atau lagi kangen papa, biasanya aku bakal ke sini. Rasanya menyenangkan, nggak tau kenapa. Aku ngerasa papa ada di deket aku setiap aku di sini." Kali ini Mutia berbalik. Menatap Arda dengan senyuman manisnya.
"Karena itu aku ngajak kamu ke sini. Aku pengen ngenalin kamu ke papa. Ngasih tau kalau aku udah punya cowok yang sempurna buat jadi pasangan hidupku."
Lamunan Arda buyar saat ketukan kaca di sampingnya terdengar. Dengan segera laki-laki itu keluar setelah melihat bahwa Mutia lah yang baru saja datang. Keduanya memilih duduk di bawah Pohon Asam Jawa.
Tidak ada percakapan. Rasanya canggung sekali untuk kembali bicara setelah beberapa hari tidak berinteraksi. Padahal, mereka sudah bersama lebih dari empat tahun.
"Apa kabar?"
Akhirnya pertanyaan bodoh itulah yang keluar dari mulut seorang Ardandi. Dalam hati, lelaki itu merutuki mulut dan otaknya yang tak bisa diajak bekerja sama. Mengapa begitu susah menemukan topik bicara dengan seseorang yang bahkan ia anggap begitu penting dalam hidupnya?
"Baik," jawab Mutia tenang.
Jangan salah, Mutia diam bukan karena masih marah dengan kekasihnya. Hanya saja dia berusaha menahan diri untuk tidak memeluk lelakinya yang semakin menggemaskan. Apalagi saat melontarkan pertanyaan aneh tadi.
"Murahan banget sih hati gue! Baru ngeliat mukanya aja udah luluh," batin gadis itu kesal.
"Sebelumnya ... aku mau minta maaf sama kamu." Arda menunduk. Mungkin satu-satunya cara untuk menghindari rasa canggung adalah to the point.
"Beberapa hari ini aku berusaha merenungi kesalahanku. Aku dengerin sudut pandang dari beberapa orang, sampai akhirnya aku ngerti titik kesalahanku." Arda menoleh menatap Mutia.
"Aku minta maaf karena nggak percaya sama kamu. Maaf juga karena nggak melibatkan kamu dalam mengambil keputusan," lanjutnya.
Arda masih terus menatap gadis di sampingnya. Namun, tak ada perubahan dari Mutia. Gadis itu tetap diam dengan ekspresi tenangnya.
"Aku tau kamu bukan tipikal cewek otoriter dan egois yang selalu pengen diturutin omongannya. Aku yakin kamu pasti bakal ngerti kalau aku jelasin, tapi sayangnya aku memilih buat nggak peduli tentang kamu. Kamu pasti marah karena ngerasa nggak dianggep, kan?" Kali ini pernyataan Arda mampu membuat kekasihnya menoleh.
Namun, Mutia tak memberikan respon apapun. Gadis itu tetap diam membalas netra legam Arda yang dari tadi menatapnya. Karena itu, Arda memilih melanjutkan ucapannya.
"Kamu tau sendiri 'kan gimana usaha aku untuk bisa sampai di titik ini? Dulu banyak banget yang ngeremehin aku karena aku penyakitan, apalagi pas akhirnya aku hampir divonis gagal jantung waktu itu. Jujur, aku sakit hati. Aku selalu marah sama diriku sendiri karena nggak sekuat orang lain."
Arda menarik napasnya yang mulai memberat. Selalu seperti ini setiap membahas masa lalu. Apa mungkin ada trauma yang menghinggapinya tanpa sadar?
"Karena itu begitu aku ada di titik ini, aku mau buktiin ke mereka kalau aku mampu. Tapi ternyata mereka bener. Aku cuma laki-laki lemah yang penyakitan. Nggak seharusnya aku memaksakan diri cuma buat dapat validasi dari mereka yang bahkan nggak peduli sama aku," sesal kekasih Mutia itu.
Kali ini ada perubahan pada raut wajah Mutia. Mata legam gadis itu berkaca-kaca. Siap meluncurkan buliran bening yang sudah berlomba-lomba untuk keluar.
"That's not your fault," lirih Mutia.
"Punya penyakit itu bukan keinginan kamu, Arda. Jangan menyalahkan diri kamu sendiri karena itu. Yang perlu kamu lakuin cuma bersyukur karena masih punya waktu untuk hidup."
Kali ini Mutia benar-benar tak bisa menahan perasaannya. Kedua tangannya berusaha menghapus aliran air dari matanya. Sayangnya, itu susah sekali dilakukan. Tangisannya kian mengeras hingga isakan pun terdengar memilukan.
"Maaf, Tia. Jangan nangis! Aku sakit liat kamu nangis gini. Aku kemarin cuma nggak mau dianggap nggak profesional karena batalin konser tiba-tiba. Maaf." Arda membawa Mutia ke dalam dekapannya.
"Aku nggak marah sama kamu karena mutusin buat lanjutin konser itu, Arda. Aku cuma kecewa karena kamu memilih pergi tanpa aku. Aku merasa nggak berguna buat kamu, aku ngerasa jadi penghalang sampai-sampai kamu harus ninggalin aku gitu aja," keluh sang wanita.
"Kamu udah tau kebenarannya 'kan, Arda? Aku bener-bener hampir gila waktu kehilangan kamu. Jadi aku nggak mau hal itu terulang lagi. Waktu aku bangun dan kamu nggak ada di samping aku, aku ngerasa dejavu. Aku inget pernah bangun dengan ingatan kalau kamu masih hidup, tapi kenyataannya kamu udah pergi. Aku jadi kalut, Arda. Aku takut kalau semuanya cuma mimpi. Aku nggak siap buat kehilangan kamu sekali lagi."
Kali ini bukan hanya Mutia yang menangis, tapi Arda juga. Lelaki itu tak bisa menahan kesedihan begitu mengingat kisah pilu yang dinyatakan oleh kekasihnya. Bagaimana jika terjadi lagi? Bagaimana jika takdir mereka bukanlah persatuan? Bagaimana jika nasib mereka sebenarnya adalah berpisah sebelum menikah?
"Maaf, maafin aku. Aku janji nggak bakal ngulangin lagi. Aku nggak bakal ambil keputusan sepihak lagi. Aku nggak bakal mengambil keputusan yang bisa merugikan diri aku sendiri dan orang di sekitarku. Dan yang paling penting ... aku nggak akan lagi ngemis validasi dari mereka lagi." Arda mengeratkan pelukannya.
"Good, then. Kalau begitu berarti kita udah saling maaf?" tanya Mutia. Gadis itu merenggangkan pelukannya. Dagunya dia sandarkan di dada kekasihnya.
"Iya dong. Kamu nggak tau apa aku kangen banget sama kamu?" Arda menggendong Mutia dan meletakkannya di pangkuan. Sedangkan yang diperlakukan seperti itu hanya tertawa kecil.
"Aku juga kangen, Sayang."
Keduanya berpelukan di antara sepoi angin yang menerjang di sore hari. Menikmati euforia penuh cinta yang hadir di antara keduanya. Tak peduli dengan apa yang sudah atau pun akan terjadi. Yang perlu mereka lakukan saat ini adalah menikmati saat-saat bersama.
Jika pun nantinya mereka tidak ditakdirkan untuk bersatu, maka tidak ada penyesalan dalam perpisahan yang akan terjadi nanti. Mereka akan menerima semua takdir yang diciptakan oleh Tuhan. Hanya saja untuk saat ini, tolong biarkan keduanya menikmati hari penuh cinta dan memadu kasih.
Tanpa memikirkan kemungkinan terburuk yang terjadi di masa depan.
***
To Be ContinuedGuys, besok aku mau crazy up. Lebih dari 5 kayaknya. Doain sempet ya.
Kalau nggak sempet ya nyicil up nya ntar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance in Another Universe
RomanceKefrustasian Mutia atas meninggalnya sang kekasih membuatnya melampiaskan melalui karya. Mutia menerbitkan novel yang menceritakan kisah hidupnya bersama sang kekasih. Perbedaannya adalah dalam novel itu, Mutia dan sang kekasih akan hidup bahagia be...