38. Blamed

20 5 0
                                    

Di kala semua orang sibuk dengan makan siangnya, Arda dan Mutia justru sibuk memasuki toko perhiasan. Bukan toko emas, Mutia tidak suka memakai perhiasan emas. Jadi keduanya sengaja memilih toko yang menyediakan cincin bagus selain emas. Contohnya Platinum dan Palladium.

Kenapa cincin baru mereka persiapkan setelah semuanya? Simpel, karena bagi mereka, memilih cincin adalah agenda yang paling mudah. Jadi lebih baik mereka menyelesaikan yang sekiranya persiapannya cukup ribet terlebih dahulu.

"Selamat siang, Kak. Ada yang bisa dibantu?" sapa pegawai toko yang Mutia dan Arda masuki.

Mutia tersenyum hangat lantas menjawab, "Mbak ada rekomendasi cincin nikah nggak? Kalau bisa desainnya yang simpel tapi tetep elegan."

Pegawai toko perhiasan itu menggiring mereka menuju deretan cincin di etalase. "Kalau yang ini bahannya dari Palladium, Kak. Banyak orang yang memilih Palladium sebagai bahan cincin nikah mereka karena bersifat anti alergi, juga penampilannya yang elegan. Sesuai dengan yang kakak mau, simpel tapi elegan."

Mutia tidak bisa menahan diri untuk tidak terpukau dengan cincin-cincin yang berada di etalase. Cincin-cincin itu berkilauan memantulkan cahaya dari lampu. Semakin membuatnya tampak 'berkelas'.

"Mbak, kalau yang itu harganya berapa?" tanya Mutia. Tangannya menunjuk ke arah cincin yang paling berkilau. Membuat sang pegawai mengikuti arah jarinya.

"Oh, yang itu harganya lima juta aja, Kak. Tapi dijamin worth it dengan desain yang sebagus ini."

Mutia meneguk ludahnya susah payah. Dalam dua bulan, dia hanya bisa menghasilkan kurang lebih sepuluh juta. Itu berarti jika dia membeli cincin itu, Mutia telah menghabiskan satu bulan gajinya.

Arda yang awalnya menatap cincin yang berjejer, kini mengalihkan netranya menuju sang kekasih. Lelaki itu mengernyit saat Mutia tampak gelisah. Matanya mengikuti ke mana gadis itu menatap, sebuah cincin.

"Kalau mau beli aja," seloroh Arda.

Mutia melotot, satu tangannya ia gunakan untuk mencubit pinggang sang kekasih.

"Yang bener aja?! Itu cincinnya harganya setara satu bulan gaji aku," bisik Mutia.

Arda hanya menoleh heran. "Ya terus emang kenapa? Kan belinya pakai uangku."

Memilih abai, Mutia mencari cincin yang lain. Berdebat dengan Arda soal harga akan membuatnya kesal sendiri. Iya Mutia tahu kalau gaji Arda perbulan bisa sampai sepuluh kali lipat dari gajinya, bahkan bisa lebih dari itu. Tapi membuang uang sebanyak itu untuk cincin rasanya sangat disayangkan.

"Kalau yang itu, harganya berapa, Mbak?" Mutia bertanya kembali setelah mendapat model cincin yang bagus.

"Kalau yang itu Rp750.000, Kak."

Mendengar harga yang begitu murah, Mutia pun tertarik. "Boleh liat dari deket nggak, Mbak?"

Tanpa jawaban, sang pegawai segera memberikan cincin yang diminta. Mutia pun mengamatinya. Dari segi harga memang oke, tapi untuk desainnya, Mutia kurang suka jika dilihat lebih dekat.

Karena itu Mutia memilih cincin yang lain. Membuat Arda menghela napas lelah. Mutia dengan seleranya memang sedikit melelahkan. Arda tidak akan lupa bagaimana wanita itu rela berkeliling mall hanya untuk mencari pakaian yang sesuai selera dengan harga yang murah. Apalagi ini tentang cincin pernikahan yang memang benar-benar penting, Mutia pasti akan menjadi lebih pemilih.

"Kalau yang itu, Mbak? Boleh lihat?"

"Kalau yang ini harganya Rp1.850.000, Kak," jelas sang pegawai sembari memberikan cincin yang diminta oleh Mutia.

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang