4. Cerita Tentang Arda

59 9 0
                                    

Hari ke-tujuh setelah meninggalnya seorang Ardandi Martias Handoko. Seperti apa yang ditakutkan Raisha, Mutia dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya yang semakin memburuk. Tadi pagi, gadis itu ditemukan tidak sadarkan diri di kamar mandi dalam kamarnya. Beruntung, saat itu pintu kamar Mutia tidak terkunci, sehingga Raisha bisa menemukannya.

Mutia didiagnosa mengalami maag dan dehidrasi. Hal ini dikarenakan kurangnya asupan nutrisi dan mineral ke dalam tubuhnya. Sehingga tubuhnya tidak dapat beroperasi dengan normal.

Saat ini, Raisha lagi-lagi harus meliburkan sanggar demi menjaga putrinya. Raisha tak ingin Mutia nantinya bangun dalam kesendirian. Setidaknya dengan terus berada di samping putrinya, Raisha ingin menegaskan bahwa Mutia tidak sendirian. Gadis itu masih memiliki seorang ibu yang bisa dijadikan sandaran.

Saat ini Raisha tengah menggenggam erat tangan kanan Mutia yang tidak diinfus. Sesekali menciumnya dengan penuh kelembutan. Begitu menanti kapan putrinya akan sadar.

Kegiatan Raisha harus terhenti ketika lenguhan seseorang terdengar. Segera ia menegakkan tubuh dan mendapati Mutia tengah mengerjapkan matanya. Tanpa basa-basi, wanita yang berusia akhir 40-an itu memencet tombol yang berada di dekat brankar.

Raisha memeluk Mutia yang masih setengah sadar. Wanita itu bahkan menangis saking bahagianya. Hatinya sangat lega saat mengetahui bahwa putrinya baik-baik saja.

🌷🌷🌷

Dokter mengatakan bahwa kondisi Mutia sudah membaik. Gadis itu hanya perlu memperbaiki pola makannya. Meski begitu, perlu waktu beberapa hari untuknya agar diperbolehkan pulang.

Saat ini Mutia tengah menyantap makan siangnya dengan disuapi ibunya. Raisha tak berhenti mengoceh sedari tadi. Menceritakan betapa khawatirnya ia saat menemukan anaknya dalam kondisi tak sadarkan diri.

Beberapa kali, Mutia menolak untuk melanjutkan makan. Tapi nyalinya seketika ciut saat mamanya melotot tajam. Mengancam akan menghapus namanya dari keluarga jika dirinya masih tidak mau makan.

Mutia tidak memiliki pilihan lain selain menurut. Lebih baik ia memaksa makanan-makanan itu untuk masuk ke perutnya daripada harus melawan. Sebab Mutia masih sadar diri, dia akan menjadi gelandangan tanpa ibunya.

"Nah, kalau gini 'kan enak. Tau begitu dari kemarin-kemarin aja mama suapin kamu gini. Yang penting makanannya habis," tutur Raisha sembari membereskan piring bekas anaknya makan.

Diam-diam Mutia tersenyum lembut. Dia tidak menyangka jika ibunya akan sesayang ini padanya. Hingga rela kerepotan hanya untuk merawat dirinya.

"Mama, makasih." Mutia memeluk Raisha dari belakang. Membenamkan wajahnya pada punggung ibunya.

Raisha meletakkan piring tadi di nakas. Mengelus kedua tangan anaknya yang kini bertengger di perutnya. Tersenyum lebar karena kembali merasakan aura positif milik putrinya yang telah lama hilang.

"Makasih buat apa?"

"Makasih karena mau repot cuma untuk ngurus aku. Selama beberapa hari ini, mama pasti ngeliburin sanggar, kan? Padahal itu satu-satunya pemasukan mama." Mutia memajukan bibirnya. Dia merasa kesal sekarang, tapi entah kepada siapa.

Raisha berbalik. Menangkup kedua sisi kepala anaknya. Kemudian menatap matanya teduh.

"Mama nggak pernah ngerasa repot selama itu buat kamu. Jangan lupa kalau selama enam belas tahun ini mama ngerawat kamu sendirian. Kalau kamu ngerasa bersalah, itu berarti kamu harus segera bangkit. Kamu nggak mau 'kan kalau nanti sanggarnya mama bangkrut karena keseringan libur?" jawab Raisha yang diakhiri dengan candaan.

Mutia tersenyum. Perasaan meletup-letup timbul dalam dadanya. Seingatnya, perasaan ini sempat ia rasakan dulu, empat tahun yang lalu saat Arda menyatakan perasaannya. Namun, kini ibunya membuatnya merasakan hal ini lagi. Perasaan dicintai dan diharapkan keberadaannya.

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang