23. Larangan dan Bantahan

28 5 0
                                    

Seminggu telah berlalu. Projek In Tour National milik Arda berjalan dengan sangat lancar. Kembalinya lelaki itu ke dunia hiburan benar-benar dinantikan.

Antusiasme Ardangerouspenggemar Arda—sama sekali tak bisa dibendung. Penjualan tiket habis dalam kurun waktu kurang dari satu jam. Padahal panitia sudah menggunakan sistem pembatasan tiket untuk meminimalisir adanya calo.

Konser hanya dilaksanakan tiga hari dengan jeda masing-masing satu hari. Hal ini dilakukan untuk menghemat tenaga Arda yang baru saja pulih. Mengingat riwayat penyakitnya, Arda seharusnya tidak boleh kelelahan.

Nyatanya, waktu istirahat yang diberikan tidak terlalu berdampak pada kesehatan Arda. Contohnya hari ini. Lelaki itu mengeluh kesakitan di dada kirinya. Keringat membasahi sekitaran wajahnya. Belum lagi suhu tubuhnya yang dingin membuat Mutia semakin panik.

Untungnya, ini bukan yang pertama kali untuk Mutia. Dia sering mengalami kejadian seperti ini ketika Arda masih dirawat di rumah sakit. Jadi yang pertama Mutia lakukan adalah menenangkan dirinya sendiri.

Mutia mulai membuka tas berisi obat yang biasa Arda bawa. Lelaki itu sangat disiplin, tidak mungkin melupakan hal sepenting itu. Jadi Mutia dengan mudah menemukan obat yang sudah tidak asing lagi di matanya itu.

Sebelum memberikannya pada Arda, Mutia mengambil segelas air mineral di nakas. Mutia bersyukur dengan kebiasaannya yang suka haus pada dini hari. Dia selalu menyiapkan air putih di nakas samping tempat tidur. Sehingga saat ini ia tak perlu kebingungan mencari air minum.

"Diminum dulu pelan-pelan." Mutia menyerahkan obat dan segelas air yang dibawanya.

Arda hanya menurut. Sakit di dadanya membuatnya tidak bisa melakukan apapun. Bahkan untuk meminum obat saja dirinya kesusahan.

"Jangan dilanjutin ya?" bujuk Mutia.

Arda menoleh bingung. Lelaki itu masih terlalu lemas untuk berbicara. Dan untungnya Mutia paham.

"Projeknya, jangan dilanjutin."

Mutia membiarkan Arda berbaring di lantai dengan pahanya menjadi bantal. Gadis itu mengelus lembut surai kekasihnya yang begitu halus. Berharap prianya mau menurutinya kali ini saja.

"Aku tau kalau kamu cinta banget sama musik. Aku juga tau kalau kamu udah muak karena penyakit kamu selalu jadi penghalang. Tapi kamu harus inget, Arda ... terakhir kali kamu bertindak nekat, semuanya berakhir buruk," jelas tunangan dari Arda itu.

Mutia sama sekali tidak berniat mengekang Arda, sungguh. Ia hanya melakukan tugasnya sebagai kekasih. Mengingatkan lelaki itu jika melakukan kesalahan, juga memperhatikan kondisi lelaki itu.

Masih tidak ada jawaban dari Arda. Mutia memakluminya. Arda mungkin masih menenangkan diri. Emosinya pasti naik karena lagi-lagi penyakitnya menghancurkan segalanya. Mungkin Arda butuh waktu untuk berpikir.

Arda tak pernah memaksa Mutia untuk melakukan sesuatu. Juga tak pernah melarangnya melakukan apapun yang ia suka. Karena itu, Mutia juga melakukan hal yang sama kepada Arda.

Tapi untuk kasus yang satu ini, Mutia memberikan pengecualian.

Kondisi Arda adalah prioritas baginya dan orang-orang terdekat lelaki itu. Para penggemar pasti akan memaklumi tindakan yang Arda ambil. Sebab mereka yang benar-benar mendukung pasti juga mementingkan kesehatan idolanya.

"Ganteng banget sih kalau lagi tidur," gumam Mutia saat menengok ke bawah.

Arda sedang tidur dengan nyenyak. Mungkin kelelahan karena penyakitnya kambuh tadi.

Tak ingin mengganggu, Mutia membiarkan Arda tidur berbantalkan pahanya. Gadis itu sendiri menyandarkan tubuhnya ke tembok. Lantas tidur dengan posisi duduk.

🌷🌷🌷

Saat ini masih pukul empat dini hari. Mutia tentu saja belum bangun. Gadis itu tidak pernah terbiasa bangun pagi walaupun bertahun-tahun menjalin hubungan dengan Arda.

Kebiasaan Mutia itu lagi-lagi dimanfaatkan oleh Arda. Sang musisi terkenal itu mengemasi semua barang-barangnya. Dia harus segera pergi dari hotel ini.

Arda tahu, Mutia melarangnya melanjutkan konser demi kebaikannya. Namun, ia sudah muak dengan semua ini. Tak bisakah membiarkannya bebas? Dari kecil ia sudah dibelenggu oleh rasa sakit itu.

Lagipula terkadang harus memaksakan diri agar bisa lebih baik, kan?

Untungnya, keberuntungan ada di pihak Arda. Lelaki itu dengan cepat mendapatkan tiket pesawat VIP menuju kota ketiga yang akan ia tuju. Jam keberangkatannya pun sangat pagi dan Arda yakin Mutia belum bangun pada waktu itu. Karena itu Arda harus segera pergi jika tidak ingin kekasihnya menghancurkan rencananya.

Sebelum pergi, Arda menyelipkan surat permintaan maaf di bawah gelas air milik Mutia di nakas. Lelaki itu juga memindahkan kekasihnya untuk tidur di ranjang. Terakhir, Arda mengecup kening Mutia dengan sayang sebelum benar-benar keluar dari kamar itu.

Arda keluar dari hotel dengan tenang. Dini hari memang sangat menyenangkan. Dia tidak perlu sembunyi-sembunyi hanya agar tidak ada penggemar fanatik yang mengerubunginya.

Sesampainya di luar, Arda dapat melihat sebuah mobil yang sudah ia hafal. Mobil milik Dani, manajernya. Mereka memang sepakat untuk berangkat berdua saja ke kota selanjutnya.

"Yakin? Nggak mau ngajak Mutia sekalian?" tanya Dani setelah Arda masuk ke dalam mobil. Bukan apa, dia hanya ingin memastikan. Dia tidak ingin acara mereka nanti rusak hanya karena Arda yang galau dan menyesal tidak mengajak gadisnya.

"Yakin. Kasihan Mutia kalau dia ikut terus. Lagian dia 'kan harus ngurusin projeknya sendiri."

Dani hanya mengangguk mendengar perkataan Arda. Meskipun dalam hati ia tidak bisa percaya sepenuhnya. Arda dan Mutia pasti memiliki masalah yang tidak dirinya ketahui.

🌷🌷🌷

Kurang lebih dua jam di udara, akhirnya Arda dapat menapakkan kaki di kota ketiga. Kota kali ini berada di pulau yang berbeda dengan tempat tinggalnya. Yang mana, pulau ini terkenal dengan pantai-pantainya.

Hah, jika saja Mutia tak menghalangi jalannya, mungkin Arda akan sangat senang sekarang. Mungkin keduanya sedang memilih pantai mana yang akan mereka kunjungi terlebih dahulu. Sayangnya, itu tidak terjadi.

Arda sedang menanti kopernya untuk lewat. Rasanya lama sekali. Arda cukup gerah dengan setelannya yang tertutup. Apalagi pulau tempatnya singgah ini memang dikenal cukup terik. Jangan lupakan bahwa pantai identik dengan teriknya matahari.

Pandangan Arda mulai tidak fokus. Debaran jantungnya mulai menguat. Untungnya, saat itu kopernya sudah terlihat.

Arda dengan segera mengambil kopernya. Kemudian menghampiri Dani yang sudah keluar lebih dulu karena koper milik lelaki itu juga keluar duluan. Jadi manajer Arda itu memilih untuk mencari kendaraan yang akan keduanya tumpangi.

Semuanya memang terjadi secara mendadak. Karena itu baik Arda maupun Dani tidak sempat menyiapkan apapun. Contohnya kendaraan selama mereka berada di sini, mereka belum menyewanya.

Arda melambaikan tangan pada Dani yang terlihat sedang berbicara dengan seseorang. Lelaki itu hendak berlari, berharap dia bisa cepat duduk di mobil sebab tubuhnya sudah begitu lemas. Sayangnya sebelum dia sempat berlari, Arda sudah limbung. Membuat beberapa orang di sana memekik.

"Arda, jangan pingsan dulu."

Suara itu adalah yang terakhir Arda dengar sebelum benar-benar kehilangan kesadaran.

***
To Be Continued

3/5. Jangan lupa vote ya, Guys.

Btw, kita masuk konflik lagi nih hehe

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang