54. Kembali ke Dunia Novel

15 2 0
                                    

Saat hari mulai malam, Raisha menjemput Mutia di rumah Dwi. Berhubung sudah lelah, Mutia pun tertidur di mobil. Tapi dia sama sekali tidak menyangka jika sang ibu akan langsung menggendongnya ke kamar.

Tapi ... sepertinya ada yang aneh.

Mutia langsung terduduk saat menyadari apa yang terjadi. Kamarnya terlihat penuh. Spot-spot yang tadinya kosong karena barang-barang tentang Arda disembunyikan tiba-tiba saja terisi.

Mutia tidak menyangka akan kembali ke dunia novel. Walaupun Dwi sudah mengatakan kemungkinan Mutia bisa kembali, dia tidak berharap banyak. Bagi Mutia, satu bulan adalah waktu yang cukup lama untuk membuktikan bahwa semuanya hanya halusinasi.

Mutia tidak menyangka bahwa kemungkinan yang dikatakan Dwi benar-benar terjadi.

Ah, tapi Mutia lupa apa yang terakhir dia lakukan di dunia novel. Sebulan terakhir, pikirannya dipenuhi banyak hal. Mutia tak sempat memikirkan kelanjutan dari dunia novel.

Ah, sudahlah. Masalah itu bisa diurus nanti. Yang jelas Mutia ingin merasakan pelukan Raisha. Dia masih merindukan ibunya.

Keluar dari kamar, Mutia berteriak, "Maaaa."

"Jangan teriak, Mutia! Mama ada di dapur," balas Raisha.

Tanpa basa-basi Mutia berlari ke dapur. Namun, dia justru terpeleset  di tangga ketiga dari bawah. Membuat suara yang begitu besar bahkan jika terdengar dari dapur.

"Astaga, Mutia. Kamu ngapain?" Raisha histeris.

"Kangen mama," rengek Mutia.

Raisha menggelengkan kepala melihat kelakuan manja anaknya. Padahal mereka bertemu setiap hari. Tapi anaknya seperti sudah tidak bertemu lama dengannya.

"Udah, kamu buruan bangun. Bisa jalan 'kan?" tanya Raisha.

"Enggak bisa, Mama. Mau gendong."

Raisha menggelengkan kepalanya. Dia tidak mungkin menggendong Mutia. Bagaimanapun, Mutia sudah dewasa. Dengan berat badannya itu, juga kekuatan fisik Raisha sekarang, sang ibu bisa menjamin jika mereka berdua akan jatuh jika Raisha memaksa untuk menggendong Mutia.

"Nggak mau, Mama nggak kuat. Mama papah aja ya?" tawar Raisha.

Mutia menggeleng kesal. Matanya kembali menatap Raisha. Memasang tatapan penuh harap. Berharap ibunya itu iba.

"Mutia, kamu itu udah gede. Mama nggak akan kuat gendong kamu. Kamu mau mama sakit pinggang?" omel Raisha. Anaknya ini, susah sekali menurut tanpa diomeli.

Mutia pada akhirnya menurut. Dia tidak ingin ibunya itu sakit walaupun hanya sakit pinggang. Jadi dengan bantuan Raisha, Mutia berjalan ke ruang makan.

Raisha pamit sejenak untuk mematikan kompor. Kemudian mengambil kotak P3K dan kembali pada Mutia. Untung saja Mutia hanya mengalami luka ringan dan tidak perlu dibawa ke rumah sakit.

"Kamu tuh udah gede, Mutia. Kalau ngelakuin sesuatu itu harus hati-hati. Sekarang sih ada Mama yang bisa bantu kamu, tapi gimana nanti kalau Mama udah nggak ada?" nasihat Raisha sembari membersihkan luka Mutia.

Mutia beberapa kali meringis, lukanya terasa perih saat disentuh. Gadis itu kemudian merengut mendengar perkataan sang ibu. Mutia paling tidak suka jika Raisha sudah membicarakan tentang kematian.

"Mama ngapain sih ngomong kayak gitu? Arda udah ninggalin aku, sekarang Mama mau ninggalin aku juga?" katanya.

"Ya enggak, tapi 'kan mama nggak selamanya bakal hidup sama kamu, Mutia. Kalau tiba-tiba Mama dipanggil sama Tuhan, Mama bisa apa?" Raisha yang sudah selesai mengobati Mutia membereskan peralatannya.

"Tapi tadi kamu bilang Arda ninggalin kamu. Kenapa? Kalian lagi ada masalah?" lanjutnya.

Membelalakkan mata, Mutia bergumam, "Mampus gue keceplosan."

"Hehe, enggak. Cuma kemarin Arda sibuk terus, akunya ditinggal mulu," elak Mutia cepat. Gadis itu memanyunkan bibirnya, mendalami peran yang tengah dia mainkan.

Sesekali bohong sama Mama gapapa 'kan ya?

"Kamu jangan terlalu ngekang Arda. Dia sibuk itu 'kan juga kerja. Buat kamu juga nanti. Kalau jadi pacar aja kamu nggak bisa support karir dia, gimana mau jadi istri yang baik?" Raisha mengelus pelan rambut Mutia.

Menjadi orang tua tunggal membuat Raisha kerap kali khawatir. Dia takut kesibukannya membuatnya melupakan sesuatu tentang Mutia. Termasuk mendidik gadis itu. Jadi, Raisha tak segan untuk langsung menegur begitu melihat kesalahan.

Hal lain yang Raisha takutkan adalah Mutia kekurangan kasih sayang. Dia takut pada akhirnya Mutia tumbuh menjadi gadis yang mudah terkena love bombing hanya karena begitu mendamba kasih sayang.

Yah, untungnya ketakutan Raisha sama sekali tidak terjadi. Mutia tumbuh menjadi gadis yang tidak mudah didekati laki-laki. Dan yang lebih beruntungnya lagi, Mutia bertemu dengan lelaki sebaik Arda.

Hanya saja, Mutia begitu manja pada Arda. Hal itu semata-mata Mutia lakukan untuk mengisi kekosongan figur seorang ayah. Dan hal inilah yang menjadi kekhawatiran Raisha sekarang. Bukan tidak mungkin jika Mutia nanti akan semakin manja dan Arda akan merasa terganggu dengan itu.

"Iya, Ma. Aku cuma kangen aja sama dia."

Raisha tersenyum dan berdiri dari duduknya. Wanita itu pergi ke dapur untuk kembali pada kegiatannya. Menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Mutia.

"Ma, aku pengen sama Mama seharian ini boleh, nggak?" tanya Mutia.

Sejujurnya, Mutia benar-benar merindukan eksistensi Raisha. Beberapa waktu belakangan, Raisha sibuk mengurus sanggarnya. Wanita itu harus mendatangi beberapa acara sehingga waktunya bersama Mutia berkurang.

"Ya nggak bisa dong. Mama 'kan harus kerja." Raisha duduk di kursi meja makan, kemudian memulai sesi sarapannya.

"Hari ini aja deh mama nggak usah kerja, ya? Please!" Mutia memaksa.

Raisha menghela napas kasar. "Baru aja mama bilang untuk jangan ngekang Arda, sekarang malah kamu ngelakuin itu ke mama."

Mutia menunduk sedih. "Aku cuma kangen mama. Belakangan Mama sibuk,  aku sendirian."

Mutia sadar jika kesibukan ibunya terjadi di dunia nyata. Hanya saja emosi Raisha begitu mempengaruhi Mutia. Sehingga emosinya yang belum begitu stabil, pecah begitu saja.

"Ayolah, Mutia! Kita ketemu setiap hari loh. Jangan bertingkah seakan mama udah pergi dalam waktu yang cukup lama!" Nada bicara Raisha semakin meninggi.

Mutia semakin menundukkan kepalanya. Rambut panjangnya mulai menutupi pandangannya. Sehingga Raisha tak mengetahui jika kedua mata Mutia kini mulai berkaca-kaca.

"Maaf, Ma," lirihnya.

Raisha sekali lagi menghela napasnya, kali ini lebih lembut. Dia menyadari jika Mutia mungkin saja sedang ingin bermanja dengan dirinya. Apalagi belakangan Mutia lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah bersama Arda.

Sebentar lagi, Mutia akan menikah. Maka gadis itu akan benar-benar jauh dari Raisha. Waktunya untuk berkunjung ke rumah orang tuanya sudah pasti tidak banyak. Mungkin karena itu Mutia ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Raisha.

Merasa iba, pada akhirnya Raisha luluh. "Yaudah, kamu ikut mama ke sanggar aja gimana?"

Penawaran yang bagus. Mutia mendongak dengan bekas air mata di pipinya. Juga ingus yang terus-menerus dihisapnya kembali.

"Mauuuu," jawabnya.

***
To Be Continued

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang