Hal paling membahagiakan bagi Raisha adalah ketika Mutia menurut padanya. Walaupun kalem, Mutia adalah seorang anak pembangkang. Keras kepalanya benar-benar menurun dari Raisha. Bisa dibayangkan 'kan betapa sulitnya ayah Mutia yang harus menghadapi dua perempuan keras kepala itu?
"Ma, ini aku mau dibawa ke psikolog mana?" tanya Mutia.
Awalnya, Mutia mengira jika ibunya akan membawanya ke rumah seseorang seperti saat Arda membawanya ke psikolog waktu itu. Namun, Raisha justru membawanya ke rumah sakit. Mutia jadi bingung sendiri.
"Kita nggak ke psikolog, Mutia. Kita ke psikiater, makanya kita ke rumah sakit." Raisha menggandeng tangan Mutia untuk memasuki lobi rumah sakit.
"Emang psikolog sama psikiater itu beda? Beda apanya?" Mutia kembali bertanya.
"Beda panggilannya," jawab Raisha singkat.
Mutia hanya mengangguk membalas ucapan ibunya. Namun, anggukannya itu justru mengundang kecurigaan. Mengingat gadis itu cukup lemot, agak aneh melihatnya paham begitu saja.
"Emang kamu ngerti? Kok ngangguk?"
Mutia menggeleng. "Enggak, biar cepet aja."
Detik itu juga Raisha rasanya ingin mengulek Mutia. Menjadikan gadis itu penyetan. Lantas memakannya lahap-lahap.
"Kalau psikolog itu, lulusan jurusan psikologi. Kalau psikiater ini, dia sebenernya masuk jurusan kedokteran, terus dia ambil spesialis kejiwaan," info Raisha tanpa diminta.
"Yang beda cuma lulusannya aja? Terus buat apa ada psikiater kalau udah ada psikolog? Kalau mau jadi psikiater 'kan tinggal jadi psikolog aja lewat jurusan psikologi. Lebih gampang daripada kedokteran, lebih murah juga."
Raisha tidak menjawab. Wanita itu kini berada di bagian pendaftaran rumah sakit. Untungnya, mereka tidak perlu mengantre karena Raisha sudah membuat janji temu.
Raisha mengambil map rekam medis milik Mutia, kemudian membawanya ke ruangan Dokter Dariel. Setelah sadar waktu itu, Mutia langsung dirujuk menuju spesialis jantung. Berhubung Dokter Dariel telah lama menangani Arda, Raisha pun mempercayakan Mutia kepadanya.
Saat Raisha hendak memberikan map rekam medis kepada bagian administrasi, petugas itu menolak. "Silakan langsung masuk, Bu. Sekalian saja dibawa mapnya. Dokter sudah menunggu di dalam."
Mendengar pintu dibuka, Dokter Dariel yang tengah memeriksa berkas pasien lantas mendongak. Kemudian tersenyum saat mendapati Mutia dan ibunya yang datang. Tak lupa mempersilakan mereka untuk duduk.
"Udah lama nggak ketemu ya, Mutia," sapa Dokter Dariel. Dia tak mungkin lupa dengan sosok yang menemani pasiennya selama berbulan-bulan menghadapi penyakitnya.
Sebagai seorang lelaki, Dariel tentu saja mengangumi kesetiaan Mutia. Di jaman yang serba canggih ini, baik perempuan maupun lelaki kerap kali meninggalkan pasangannya di saat susah. Dan Arda adalah salah seorang yang beruntung karena memiliki kekasih seperti Mutia.
"Hehe iya, Dok. Kangen nggak?" canda Mutia.
Tersenyum, Dariel menjawab, "Kangen sih iya. Tapi sebenernya saya nggak pengen ketemu kamu di rumah sakit. Soalnya saya nggak mau lihat kamu sakit."
"Idih, Pak Dokter bisa aja." Lantas keduanya tertawa bersama.
Di rumah, Dariel memiliki seorang putri yang masih berusia enam belas tahun. Karena itu setiap melihat Mutia, dia selalu terbayang wajah putri kecilnya. Dariel berharap putrinya itu akan tumbuh menjadi gadis baik hati seperti Mutia. Lalu dipersatukan dengan laki-laki yang sebaik Arda, dengan nasib yang lebih baik tentunya.
Mutia dipersilakan untuk berbaring di brankar. Gadis itu menjalani serangkaian tes kesehatan, terutama di bagian jantung. Jangan lupakan jika kecelakaan beberapa bulan lalu yang menyebabkan Mutia koma dikarenakan serangan jantung mendadak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance in Another Universe
RomanceKefrustasian Mutia atas meninggalnya sang kekasih membuatnya melampiaskan melalui karya. Mutia menerbitkan novel yang menceritakan kisah hidupnya bersama sang kekasih. Perbedaannya adalah dalam novel itu, Mutia dan sang kekasih akan hidup bahagia be...