8. An Accident

53 7 0
                                    

Seorang gadis duduk di salah satu ruangan privat dalam sebuah kafe. Sesekali matanya melirik jam yang melingkar di tangannya. Kemudian menyesap teh hangat yang kini tersisa setengah.

"Duh, mana sih?! Katanya janjian jam tujuh, sekarang udah jam tujuh lebih lima. Tau gitu gue nggak dateng awal tadi," omel Mutia.

Malam ini, Mutia dan pihak Production House mengadakan pertemuan untuk tanda tangan kontrak. Sayangnya setelah dua puluh menit Mutia menunggu, mereka tak kunjung datang. Walaupun salah gadis itu juga karena datang terlalu awal.

Lima menit berlalu, sudah tak terhitung berapa umpatan juga gerutuan yang telah Mutia lontarkan. Hingga kemudian decitan pintu terdengar. Membuat Mutia dengan segera mengubah ekspresinya.

"Selamat malam, Pak Produser," sapa Mutia. Gadis itu kini menyatukan kedua telapak tangannya di atas lutut.

"Selamat malam, Mutia. Maaf saya terlambat. Tadi jalanannya macet sekali." Sang Produser mengulurkan tangan yang disambut hangat oleh Mutia. Mereka berjabat tangan dan di saat itulah kegugupan tiba-tiba menyerang Mutia.

"Tidak apa-apa, Pak." Mutia tersenyum canggung.

Andika tersenyum tulus melihat kecanggungan Mutia. Di usianya yang sudah masuk kepala tiga, dia banyak menemui orang seperti ini. Dan kegugupan memang hal yang wajar, apalagi bagi yang baru pertama kali mengadaptasikan naskahnya.

"Santai saja, Mutia. Anggap saja kalau kita seumuran," saran Andika. Biasanya orang akan lebih santai dengan sebayanya.

"Saya yakin pihak penerbit sudah memberitahu kamu tentang siapa saya, tapi izinkan saya untuk memperkenalkan diri. Nama saya Andika Firdaus, di samping saya ini adalah Ari selaku sekretaris saya."

Melihat Mutia yang tidak berniat menjawab, Andika segera memulai pertemuan.

"Pertama-tama, saya ucapkan selamat atas suksesnya karya kamu. Awalnya saya sama sekali tidak berminat untuk membacanya, saya pikir karya kamu terkenal hanya karena membawa nama salah satu musisi papan atas," jujur Andika.

Mutia kehilangan senyumannya. Gadis itu berusaha menahan emosinya sekuat tenaga. Lagi-lagi ia bertemu manusia-manusia sok tahu.

Melihat perubahan emosi manusia di depannya, Andika sedikit terkekeh. "Maaf, mungkin ucapan saya menyinggung kamu. Semua spekulasi saya itu ada karena terlampau banyak karya yang aslinya biasa saja, tapi karena membawa nama salah satu artis, penjualannya meningkat pesat."

Andika mengode pria disampingnya untuk memberikan selembar kertas yang menjadi tujuan utama mereka berkumpul malam ini.

"Salah satu staf memberikan saran untuk saya membaca karyamu. Awalnya, saya tak tertarik sampai saya benar-benar membacanya. Saya bisa merasakan perasaan kamu saat membacanya, bagaimana bahagianya kamu saat bertemu Arda, atau bagaimana sakitnya kamu ketika mengetahui kenyataan bahwa kekasihmu sakit. Di saat itu saya sadar, kamu tidak hanya membawa namanya. Kamu membawa perasaan kalian, mencoba membuat orang lain mengerti rasa sakit yang kalian rasakan ketika harus berjuang," jelas Andika.

Andika menyodorkan kertas tadi ke hadapan Mutia. "Saya rasa kamu punya maksud tertentu untuk menerbitkan naskah itu. Jadi, bolehkah kalau saya membantu kamu dalam mencapai tujuan itu?"

Mutia bukan orang bodoh. Dia jelas paham apa yang dikatakan manusia di hadapannya. Tak masalah, dia juga diuntungkan di sini.

"Boleh saya minta sesuatu?" tanya Mutia. Dia ingin meyakinkan diri sebelum menandatangani kontrak.

"Sebutkan," pinta Andika.

"Setiap pemeran dalam film nantinya, adakan casting dan biarkan saya memilih sendiri siapa yang memerankan setiap tokoh utama. Bagaimanapun, saya yang paling mengenal mereka di sini, dan saya tidak ingin bayangan pembaca hancur karena pemeran yang tidak sesuai ekspektasi."

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang