11. Malam Pertunangan

74 9 0
                                    

Malam telah tiba. Saat yang begitu Mutia tunggu-tunggu.

"Mutia, kamu udah siap?" tanya Raisha memastikan.

Saat ini Mutia tengah berada di salah satu ruang dalam sebuah gedung besar tempat pertunangannya. Ruangan itu adalah ruang rias yang sudah dua jam dihuni oleh seorang gadis manis dan penata riasnya.

Mutia tak menjawab pertanyaan mamanya. Dia hanya berbalik dan mengangguk. Kedua tangannya meremas gaun yang dipakainya.

Raisha tersenyum lembut, sadar kalau putri semata wayangnya sedang gugup. Wanita yang sudah memasuki kepala empat itu merentangkan tangannya. Membawa anaknya masuk ke dalam dekapannya yang menenangkan.

"Mama masih nggak nyangka. Anak yang udah mama kandung, lahirkan, dan rawat dengan susah payah ini sekarang sudah besar. Sebentar lagi kamu akan punya keluarga sendiri." Raisha mengeratkan pelukannya.

"Masih lama, Ma. Mutia baru mau tunangan, bukan nikah," jawab Mutia.

Raisha terkekeh. "Yakin masih lama? Katanya waktu itu kamu nggak mau jarak pertunangan dan pernikahan terlalu jauh."

Iya sih. Mutia yang begitu bucin pastinya ingin segera menikah dengan kekasihnya. Tapi, kan ia belum menentukan tanggal pernikahan di dunia ini. Arda pasti akan maklum kalau ia meminta waktu lebih lama untuk dihabiskan bersama mamanya.

Raisha melerai pelukan. Kedua tangannya ia tangkupkan di sisi wajah Mutia. Kemudian salah satunya pergi menyusuri wajah anaknya itu.

"Mama bangga sama kamu, Mutia. Mama selalu bangga. Kamu anak yang hebat dan kuat. Kamu nggak pernah mengeluh walaupun nggak punya ayah dari kecil. Bahkan di saat-saat penting seperti hari pertunangan kamu, kamu bisa dengan tenang meminta izin sama Papa dengan mendatangi makam, nggak sekali pun kamu terlihat sedih walaupun papa nggak bisa datang."

Mutia tersenyum. Gadis itu memeluk pinggang ibunya erat. Matanya menatap lembut wanita yang sudah berjuang keras merawatnya selama dua puluh tiga tahun ini.

"Ma, Mutia emang nggak punya ayah. Itu wajar, soalnya Mutia punyanya Papa." Mutia terkekeh sejenak. Mencoba mencairkan suasana sebelum melanjutkan.

"Dari kecil, Mama selalu mati-matian banting tulang buat ngehidupin Mutia. Mama juga nggak pernah ngeluh atas itu, jadi udah sewajarnya kalau Tia juga jadi anak yang nggak gampang ngeluh, karena itu yang Mama ajarin. Kalau Mama tanya kenapa Tia nggak pernah ngerasa sedih karena kehilangan Papa, itu karena Tia tau kalau Papa selalu ada sama Tia. Papa selalu ada di hati Tia, sejauh apapun Papa pergi. Karena itu juga Tia nggak pernah ngeluh, Tia justru bersyukur punya orang tua sebaik kalian," lanjutnya.

Raisha berkaca-kaca, merasa terharu dengan ucapan anaknya. Tapi wanita itu mencoba menahan tangisannya. Ia tak ingin merusak make up yang sudah terpatri di wajahnya. Apalagi acara akan dimulai.

"Yaudah, yuk kita keluar. Kayaknya acaranya udah mau dimulai."

Pasangan ibu dan anak itu keluar dari ruang rias. Mereka berjalan menuju tempat dilaksanakannya acara. Kemudian duduk di barisan paling depan yang berisi keluarga besar kedua belah pihak.

Lima menit kemudian, pembawa acara memulai acaranya. Diawali dengan beberapa sambutan dari Riu, satu-satunya laki-laki dewasa yang tersisa dari keluarga inti kedua keluarga. Beberapa sesi acara dilewati, hingga sampailah pada sesi yang paling ditunggu, tukar cincin.

"Untuk kedua pihak yang akan bertunangan, Ardandi Martias Handoko dan Mutia Suci Anugrah dipersilakan untuk naik ke atas panggung."

Mutia mengembuskan napasnya. Mencoba menenangkan diri. Tadi ia sama sekali tidak merasakan apa-apa, kenapa waktu mau naik panggung malah gugup sih.

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang