33. Sadar

23 4 0
                                    

"Gue 'kan dateng dari kursi itu. Kalau gue duduk di situ lagi kira-kira ngaruh nggak ya? Siapa tau bakalan ke-reverse gitu 'kan?"

Tak ingin menerka-nerka, Mutia segera kembali duduk ke kursi itu. Gadis itu memejamkan matanya erat. Sebelum tekanan di sekitarnya semakin terasa berat.

"Mutia, Nak. Bangun, yuk! Mama kangen. Mama lebih suka kamu yang manja, kamu yang cerewet, kamu yang kalau disuruh marah-marah dulu daripada kamu jadi pendiem kayak gini. Jangan tinggalin mama, Nak. Mama sudah sendirian di sini. Siapa yang bakal nemenin mama kalau kamu juga pergi?"

Eh? Bukannya itu suara Raisha? Ibunya? Mengapa terdengar sangat menyedihkan?

"Mama tau seberapa pentingnya Arda untuk hidup kamu, tapi kamu nggak bisa kayak gini cuma karena laki-laki, Nak. Kamu harus kuat."

Kenapa sih? Bukannya ia hanya tidur? Kenapa Raisha bertingkah seakan-akan dia akan mati?

"Tolong bangun ya, Nak? Nggak ada yang lebih menyakitkan untuk orang tua dibanding harus melihat anaknya yang ia besarkan dengan susah payah dikubur sebelum dirinya sendiri."

Kenapa ... Mutia merasa melupakan sesuatu? Ia merasa ada sesuatu yang ia lupakan. Tapi apa? Ah, Mutia membenci perasaan mengganjal seperti ini!

Suara Raisha kini telah hilang. Meninggalkan Mutia kembali berdua dengan kesunyian. Benar-benar sunyi sampai Mutia mulai merasa merinding.

Bangun, yuk! Mama kangen.

Dia baru tidur sebentar, kan? Kenapa ibunya rindu? Toh mereka bertemu setiap hari.

Jangan tinggalin mama.

Ke mana? Memangnya ia akan pergi ke mana? Dia tidak akan pergi ke manapun. Juga tidak akan meninggalkan siapapun.

Tapi kamu nggak bisa kayak gini cuma karena laki-laki, Nak.

Apa yang dimaksud dari 'kayak gini' itu? Seperti apa? Apa yang terjadi?

Kamu harus kuat.

Kuat dari apa? Apa yang sebenarnya terjadi setelah ia tidur? Apakah Arda pergi?

Nggak ada yang lebih menyakitkan untuk orang tua dibanding harus melihat anaknya yang ia besarkan dengan susah payah dikubur sebelum dirinya sendiri.

Ibunya itu baru saja mengharapkan kematiannya? Atau memang dia sebenarnya sudah hampir mati? Sebab itulah Raisha memohon untuk tidak pergi.

Entahlah, Mutia sama sekali tidak menemukan titik terang. Pada akhirnya, gadis itu memilih untuk kembali membuka matanya. Ruangan putih tadi berubah menjadi sangat gelap. Mungkin efek matanya yang terlalu lama memejam.

Tapi ... kenapa warnanya tak berubah setelah beberapa saat?

Warna putih menghilang, digantikan dengan warna hitam. Membuat Mutia semakin tercekik dengan ketidaknyamanan. Dia benci warna gelap, karena baginya itu sangat menakutkan. Dan kini Mutia harus duduk di tengah-tengah ruangan penuh warna hitam. Tanpa ada siapapun di dekatnya.

Keringat dingin mulai melingkupi gadis itu. Perlahan tapi pasti, sekujur tubuhnya bergetar. Mutia ketakutan. Dia tidak bisa melihat apapun di sini.

Bagaimana kalau ada orang jahat di sini?

Bagaimana kalau ada hantu?

Semua pemikirannya itu membuat getaran tubuhnya semakin hebat. Bahkan kini getaran itu terlihat seperti orang yang kejang-kejang.

Di sisi lain, di sebuah rumah sakit ada dua orang wanita yang berada dalam ruangan ICU. Satu wanita duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya. Sedangkan yang satu lagi tengah terbaring di atas brankar.

Wanita yang tadinya duduk di sofa mematikan laptopnya. Berjalan menuju kursi samping brankar. Langkahnya kian laju saat tak sengaja menatap gerakan pada jari putrinya.

Wanita itu tidak bisa membendung kebahagiaannya. Setelah sekian lama tidak merespon, akhirnya salah satu anggota tubuh anaknya bergerak. Sayangnya, kebahagiaan itu harus ditunda karena tak lama kemudian tubuh itu bergetar hebat.

Dengan panik dia menekan tombol merah di dekat brankar. Pikirannya kalut. Merasa takut untuk kembali ditinggalkan.

Tak sampai lima menit, tenaga kesehatan mulai berdatangan. Wanita itu dengan tahu diri segera keluar. Dia bukan tipikal manusia yang seenaknya mengganggu tugas tenaga medis. Baginya, hal-hal seperti itu hanya cocok dilakukan dalam sebuah film.

Jadi wanita itu memilih menunggu di luar. Walaupun hatinya begitu resah dengan hasil yang akan dibawakan kepadanya.

Dua puluh menit berlalu, dokter akhirnya keluar dari ruang ICU. Tampak peluh membasahi sekitaran wajahnya, tapi tak bisa dipungkiri bahwa kebahagiaan terpatri di sana. Bolehkah ia berharap jika kabar baik akan menghampirinya?

"Selamat, putri anda berhasil melalui masa komanya. Saat ini pasien sudah sadar dan hanya perlu melewati proses pemulihan. Namun, saya sarankan untuk menjaga kestabilan mentalnya. Karena dari penglihatan saya, dia sepertinya syok. Untuk hal ini bisa didiskusikan lebih lanjut dengan spesialis kejiwaan yang lebih paham," ucap dokter itu.

Wanita itu masih diliputi kebahagiaan, sehingga dia hanya menjawab, "Terima kasih, Dok."

Wanita yang bernama Raisha itu segera memasuki ruang ICU. Setelah ini mungkin ia dipinta untuk mengurus administrasi kepindahan anaknya ke ruang rawat inap. Hal yang sudah ia tunggu sejak lama.

Raisha tersenyum menatap Mutia yang menatap kosong ke atas. Gadis itu masih dalam posisi berbaring. Mungkin tubuhnya begitu kaku untuk berpindah posisi.

Raisha duduk di samping brankar. Untuk saat ini, dia tak akan membuka pembicaraan dengan putrinya terlebih dahulu. Biarkan gadis itu menenangkan diri. Biar saja Mutia sendiri yang membuka pembicaraan nanti.

Di saat Raisha sedang diliputi kebahagiaan, Mutia justru kebingungan. Ruangan serba putih dan serba hitam tadi menghilang. Digantikan dengan pemandangan atap rumah sakit.

Dia bingung, sungguh. Seingatnya tadi ia hanya tertidur di mobil. Kenapa bisa sampai ke rumah sakit?

Mutia menolehkan kepala ke samping. Menatap ibunya yang duduk di samping brankar. Raisha tampak begitu berbeda dari terakhir kali mereka bertemu.

Terakhir kali? Kenapa itu terdengar seperti waktu yang lama? Padahal dia baru bertemu dengan mamanya itu kemarin pagi.

Pagi itu, Raisha terlihat seperti biasa. Wanita itu tetap sehat dan bugar walaupun usianya tak lagi muda. Katanya sih, raga boleh tua tapi jiwa harus tetap muda.

Lantas mengapa penampilannya saat ini berubah drastis? Apa yang sudah terjadi? Apa yang terjadi selama ia terjebak di ruangan putih itu? Kenapa rasanya ia melupakan sesuatu?

Kantong mata memang sudah lama dimiliki ibunya, tapi kenapa berubah hitam? Setahunya Raisha tidak suka begadang. Entah itu untuk bekerja atau hanya sebatas menonton film.

Wajah ibunya yang biasanya berseri-seri juga berubah kusut. Rambut pirang kebanggaannya kini juga terlihat lepek. Apa ibunya ini tidak merawat diri?

Argh, semua semakin memusingkan.

Sebenarnya berapa lama ia tidur sampai ketinggalan begitu banyak berita?

Tidak ada cara lain. Untuk mengetahui apa yang terjadi, hanya ada satu cara. Bertanya kepada seseorang yang masih 'sadar' selama ia tertidur. Dan Mutia yakin bahwa orang itu adalah ibunya.

"Ma ... kenapa Mutia ada di rumah sakit?"

***
To Be Continued

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang