58. Langkah Terakhir

9 2 0
                                    

Tania memberikan izin untuk Mutia kembali membuat cerita tentang Arda. Dengan syarat, ini adalah terakhir kalinya. Begitu pun Riu yang mendukung penuh.

Untuk meminimalisir ujaran kebencian kepada novel yang digarapnya, Mutia menyarankan pihak redaksi untuk membuat voting. Voting itu nantinya adalah pertanyaan apakah para pembaca menginginkan sekuel dari cerita Mutia yang lalu. Jika banyak yang menjawab iya, maka Mutia akan menggarap novelnya. Dan jika tidak, maka dengan berat hati Mutia harus melupakan keinginannya itu.

Untungnya, publik menyambut baik. Mulai dari penggemar Mutia, penggemar Arda, hingga kaum shipper Arda-Mutia, semua mendukung penuh penggarapan novel itu. Apalagi setelah kesuksesan cerita Mutia yang lalu, semua orang berharap novel kali ini juga sama bagusnya.

Setelah mendapat persetujuan agensi, Mutia mulai membuat outline ceritanya. Kemudian merapatkannya dengan Cindy selaku editornya. Tak lupa menandatangani kontrak kerja sebelum benar-benar mengerjakan naskah.

Mutia mengerjakan novelnya dengan semangat seperti biasa. Apalagi saat ini novel yang ia kerjakan adalah tentang Arda. Mutia bisa bernostalgia ketika mengerjakannya.

Kesibukan Mutia yang begitu memenuhi otaknya membuatnya tak sempat memikirkan hal lain. Bahkan untuk konsultasi dengan Dwi pun tidak. Terakhir kali Mutia melakukannya sepertinya sekitar tiga bulan yang lalu. Tepat di hari dia kembali bekerja.

Di hari-hari sibuknya, Mutia lebih banyak menghabiskan waktu di agensi. Gadis itu bahkan kerap kali pulang saat malam sudah larut. Raisha pun khawatir dibuatnya.

Namun, Mutia selalu meyakinkan kalau dirinya baik-baik saja. Dia bahkan rela meminum suplemen herbal yang diberikan Raisha agar ibunya itu tidak khawatir. Padahal, Mutia anti meminum obat yang tidak jelas dan belum terbukti khasiatnya seperti itu.

"Jadi gimana? Lo udah nentuin ending novelnya?" tanya Cindy.

Mutia terkesiap. Sontak saja dia teringat jika sudah tiga bulan ini dia belum kembali ke dunia novel.

"Belum. Gue udah tau novel itu bakal berakhir kayak gimana, tapi masih belum kebayang detail kejadiannya kayak gimana," jawabnya.

Bagi Cindy, itu bukan masalah. Mutia kerap kali seperti ini. Kebingungan mengenai detail cerita yang akan dibuatnya. Dan yang gadis itu butuhkan adalah hari tenang. Beberapa hari tanpa mengerjakan naskah agar pikirannya dapat kembali jernih.

"Yaudah kalau gitu ambil hari tenang aja," saran Cindy.

Mutia menggeleng. "Jangan sekarang. Gue udah punya gambaran untuk beberapa bab ke depan. Yang ada kalau berhenti sekarang, gambaran itu ilang semua."

"Yaudah kalau begitu, sekarang makan siang dulu aja. Jangan sampai telat makan," pinta Cindy sebelum meninggalkan ruangan.

Mutia memijat kepalanya yang sedikit pusing. Menatap layar laptop selama berjam-jam membuat matanya lelah. Sepertinya Mutia memang butuh istirahat.

Mutia mematikan laptopnya setelah menyimpan dokumen. Kemudian menutup dan menyingkirkan laptop itu ke pinggiran meja.

Mutia keluar dari ruangannya. Bergegas menuju lift. Kemudian menekan tombol nomor satu.

Namun, baru dua lantai lift turun, lift itu berhenti. Pintunya terbuka, menampilkan sosok lelaki muda dengan penampilan yang memukau. Sayang sekali, selera Mutia itu soft boy dan lelaki di depannya tidak memenuhi kriteria itu.

Sesaat, terjadi kecanggungan. Dua orang berbeda kelamin dalam satu ruangan sempit. Begitu tidak nyaman hingga membuat Mutia ingin segera sampai di lantai dasar.

"Lo nggak inget gue?" Mutia menoleh bingung. Apakah laki-laki itu berbicara padanya?

"Kayaknya lo nggak inget gue, ya? Padahal gue udah nabrak lo dua kali." Lelaki itu meringis tidak enak.

"Maaf, anda bicara kepada saya?" tanya Mutia. Dia sama sekali tidak merasa pernah bertemu orang di depannya ini.

Sang lelaki mengulurkan tangan. "Gue Rayhan Herdiansyah, salah satu pemusik dari agensi ini. Panggil aja Ray."

Mutia tersenyum canggung, tapi dia tetap menerima uluran tangan itu. "Mutia, penulis."

Mendengar jawaban singkat itu, Ray jadi tertarik. Selama ini, dia terbiasa mendapat atensi dari seluruh perempuan yang ditemuinya. Jika pun mereka tidak memiliki rasa cinta kepadanya, belum pernah ada yang bersikap secuek Mutia saat Ray mengajak mereka berbicara.

Sayangnya, saat Ray hendak kembali memulai pembicaraan, lift terbuka. Tanpa pamit Mutia segera keluar dari lift. Langkahnya bahkan terkesan buru-buru.

Ray tersenyum. "Gue bakal dapetin lo."

🌷🌷🌷

Setelah mengingat jadwal terapinya yang terus menerus dilewatkannya, Mutia dengan segera menjadwalkan ulang terapinya. Mutia benar-benar ingin semuanya selesai. Dia tidak ingin menyakiti diri sendiri dengan terus berharap bisa hidup bersama Arda. Dia juga tak ingin lagi menyakiti orang-orang terdekatnya.

Niat baik Mutia disambut baik pula oleh Dwi. Wanita itu bahkan rela meluangkan waktu di luar jam kerja untuk Mutia.

Karena itulah, Mutia berada di rumah Dwi saat ini.

Mutia baru saja menyelesaikan sesi terapi yang menurutnya lebih seperti sesi curhat. Ada kemajuan pesat dalam dirinya. Seperti jika sebelumnya emosinya terkuras setelah sesi terapi, kali ini Mutia lebih lega. Hanya ada sedikit perasaan mengganjal yang menggumpal dalam hatinya.

"Gimana perasaan kamu setelah terapi?" Dwi menyerahkan segelas es jeruk kepada Mutia.

"Kali ini lebih baik dari sebelumnya. Nggak ada keinginan buat nangis," jawab Mutia jujur.

"Bagus, itu perkembangan. Kalau kamu udah bener-bener bisa ngelewatin sesi terapi tanpa ada beban, kamu nggak perlu terapi lagi."

Mutia tersenyum tipis. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Namun jika Mutia mengutarakan, dia takut jika upayanya untuk sembuh dianggap tak serius.

"Ada sesuatu yang ganjel lagi?" tanya Dwi peka.

"Aku nggak tau ini salah atau enggak, tapi aku pengen balik ke dunia novel sekali lagi. Aku pengen pamit ke Arda. Aku pengen ketemu sama dia buat yang terakhir kalinya."

🌷🌷🌷

Mutia tidak tahu apakah dia bisa kembali ke dunia novel. Jika pun bisa, itu mungkin terakhir kalinya dia datang. Jadi Mutia harus membiasakan diri untuk melepas rindu pada Arda dengan baik.

Mengunjungi makam Arda.

Ini adalah pertama kalinya Mutia berziarah setelah satu tahun lebih Arda meninggal. Banyak hal yang perlu dia lewati untuk datang ke makam ini. Tempat terakhir kali Mutia dapat melihat raga Arda di dunia nyata.

Mutia membawa sekantong bunga juga sebotol air. Pertama-tama, gadis itu membersihkan makam Arda dari daun-daun yang berjatuhan. Kemudian Mutia menyiramkan air yang dibawanya, setelahnya menaburkan bunga yang dibawanya.

"Hai, Arda. Maaf ya aku baru datang. Aku harus nguatin diri sebelum ketemu kamu, dan sekarang aku udah bisa ke sini tanpa harus nangis lagi." Mutia mengelus nisan yang bertuliskan nama mendiang kekasihnya.

"Ini 'kan yang kamu mau? Aku bakal lanjutin hidupku dengan bahagia walaupun tanpa kamu. Sedikit lagi, aku pasti berhasil."

Mutia berdiri dari duduknya. "Aku nggak janji tentang perasaanku ke kamu. Mungkin beberapa tahun ke depan, aku bakal nemu laki-laki baik yang cocok untuk jadi suamiku. Kamu nggak akan marah 'kan, Arda?"

***
To Be Continued

Aku up lebih cepet nih, tapi gatau hari Minggu bisa up atau enggak. Soalnya lagi sibuk banget.

See you!

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang