Raisha bukanlah tipikal ibu yang mengungkapkan kasih sayangnya secara gamblang. Wanita itu lebih suka membuktikannya dengan perilaku. Kalau kata anak jaman sekarang, love language-nya Act of service.
Seperti hari ini, Raisha memberikan buku hard cover berwarna kuning untuk putrinya. Mutia adalah anak yang sulit untuk terbuka kepada orang tuanya, tak peduli bahwa hubungan mereka sedekat apapun. Oleh karena itu, Raisha memberikannya buku diary. Lagipula anaknya itu seorang penulis, pasti akan lebih lega jika melampiaskan semuanya melalui tulisan.
"Ini apa?" tanya Mutia heran. Gadis itu membolak-balik bukunya. Mencoba melihat dari berbagai sisi. Buku ini ... terlalu polos, jadi sedikit kurang enak kalau dilihat.
"Buku diary, Sayang. Covernya sengaja mama pilih yang polos. Nanti kamu bisa hias sendiri." Raisha mendudukkan dirinya di ranjang anaknya. Kedua tangannya lantas memegang bahu anaknya dari belakang.
Mutia hanya tertawa kecil. Gadis itu membuka buku kuning pemberian ibunya. Melihat-lihat berbagai fitur yang ada. Mulai dari tali pembatas hingga tempat meletakkan alat tulis di bagian depan buku. Oh, ada bagian untuk menyelipkan kertas-kertas kecil juga di bagian belakang.
"Haha, kayak anak SD aja aku masih nulis buku diary." Walaupun berkata seperti itu, Mutia sebenarnya sangat senang dengan hadiah yang diberikan ibunya. Raisha memang selalu mengerti tentangnya walaupun Mutia tak pernah mengatakan apapun.
"Eits, jangan salah! Banyak loh orang dewasa yang masih nulis kayak begini. Bahasa kerennya tuh journaling. Mama udah beliin hiasan sama alat tulisnya juga, tapi masih di kamar mama. Nanti kamu ambil sendiri ke sana ya?"
Mutia mengangguk dan memeluk tubuh ibunya. "Boleh aku ambil sekarang? Aku mau nyoba nulis sekarang."
Setelah mendapat izin, Mutia segera berlari ke kamar ibunya. Sedangkan Raisha mengikuti dari belakang. Pikirnya, Mutia pasti kebingungan karena tidak tahu di mana ia meletakkan alat-alat tulis itu.
Dan benar saja, saat ini Mutia sedang berkacak pinggang di tengah kamar Raisha. Matanya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Sayangnya gadis itu tidak menemukan tanda-tanda adanya alat tulisnya di sini.
"Kamu itu, asal lari aja. Belom tau tempatnya juga," omel Raisha sembari berjalan menuju lemari bajunya.
Raisha lantas membuka laci yang berada dalam lemari itu, kemudian mengeluarkan sebuah keresek hitam dari sana. Sepertinya itu alat-alat journaling yang ibunya bicarakan tadi.
"Yaudah, kalau gitu aku ke kamar dulu ya! Makasih, Ma, love you!" Mutia menyempatkan diri untuk mengecup pipi ibunya kemudian berlari menuju kamar. Entah mengapa, gadis itu merasa benar-benar bersemangat.
Pertama-tama, apa yang Mutia lakukan? Menghias cover bukunya? Tentu tidak. Mutia tidak terlalu suka menghias sesuatu kecuali sedang dalam keadaan bosan. Jadi dia bisa menyimpan kegiatan itu untuk membunuh bosannya. Saat ini, Mutia memilih untuk memulai halaman pertama dalam bukunya.
________________________________________
Rabu, 27 November 2024
Hai,
Ini pertama kalinya gue nulis jurnal ataupun diary. Dari kecil, gue cuma ngelampiasin perasaan lewat cerita fiksi yang gue buat. Jadi sekarang agak bingung untuk ngungkapin secara tersurat.
Tapi gapapa, gue bakal nganggep kalau gue lagi ngomong sama orang. Yah, walaupun lebih kayak ngomong sama batu karena nggak ada respon. Ah, gatau deh, yang penting gue bakal nulis di sini berasa ngobrol aja.
Yaudah segitu dulu. Goodbye my first page.
Lovely Bunny,
Mutia_______________________________________
Mutia tersenyum senang setelah menyelesaikan halaman pertamanya. Untuk jurnal ini, Mutia memutuskan untuk tidak menggunakan bahasa baku. Begitu juga dengan tata bahasa yang mungkin akan sedikit gadis itu lupakan.
Semuanya Mutia lakukan agar gadis itu lebih fokus terhadap isi tulisan, bukan tata bahasa. Selama ini, sudah cukup Mutia dibuat stres karena harus berhati-hati saat menulis cerita, belum lagi proses revisi untuk meminimalisir kesalahan tata bahasa. Jangan sampai Mutia yang berniat menghilangkan beban dengan menulis jurnal, malah harus dipusingkan dengan segala macam peraturan menulis. Lagipula tulisannya yang ini tidak dipublikasi.
Setelah menyelesaikan halaman pertama, apa lagi yang harus Mutia lakukan? Rasanya membosankan sekali kalau buku ini hanya diisi dengan tulisan mengenai keseharian Mutia. Dia ingin mengisinya dengan sesuatu.
Tiba-tiba saja, Mutia teringat dengan buku coklat milik Arda. Kenapa Mutia tidak membuat seperti itu saja? Bedanya, goals yang akan Mutia tulis adalah apa yang akan gadis itu capai, dengan atau tidak bersama Arda.
Pertama-tama, Mutia membuka halaman paling belakang buku. Lantas menuliskan sesuatu di sana.
What will I achieve in the next 5 years :
1. Mencapai 10k penjualan buku dalam satu bulan
2. Buku diadaptasi jadi film
3. Masuk nominasi penulis terbaik
4. Ambil S2 Sastra Indonesia
5. Hidup bahagia sama ArdaMutia tersenyum kala sudah menyelesaikan tulisannya. Gadis itu memilih meletakkan buku barunya di meja. Nanti sajalah menghias sampulnya. Untuk saat ini, Mutia masih tidak memiliki mood untuk mengeluarkan ide kreatifnya. Mungkin menonton film akan mengembalikan moodnya.
🌷🌷🌷
"Hah? Yang bener aja, Ma? Masa dipingit sih!" seru Mutia tidak percaya.
"Ini tuh udah tradisi keluarga, Mutia. Turutin aja deh! Nggak lama kok." Raisha mencoba meyakinkan putrinya. Walau tanpa persetujuan gadis itu pun, kedua mempelai akan tetap dipingit.
"Nggak lama?" tanya Mutia tidak menyangka, "dua minggu, Ma. Nggak lama dari mananya?"
"Ya ampun, kamu gitu aja ngeluh! Mama dulu sama papa kamu malah nggak ketemu sampai sebulan waktu dipingit. Jangankan dipingit, pacaran aja kita jarang soalnya rumahnya jauh dan harus jalan kaki. Mama dulu harus naik gunung dulu—"
"Duh, Ma! Mendaki gunung lewati lembah, udah kayak film kartun aja. Jaman udah beda kali. Kalau mama bisa sebulan tanpa papa, aku mah nggak bisa. Orang mama dua puluh tahun ditinggal papa aja kuat, apalagi cuma sebulan," potong Mutia.
Sedetik kemudian, keadaan hening seketika. Raisha tidak pernah menyangka jika kata-kata itu akan keluar dari mulut Mutia. Padahal gadis itu adalah saksi, siapa yang paling terpuruk atas kepergian sang kepala keluarga.
Mutia pun tersadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Tadinya, Mutia hanya berniat untuk bercanda. Dia tidak menyangka bahwa respon Raisha tidak sebagus perkiraannya.
"Kamu istirahat aja, mama mau ke kamar dulu." Raisha berbalik, meninggalkan kamar Mutia.
Tanpa pikir panjang, Mutia berlari mengejar ibunya. Gadis itu berniat ikut masuk ke kamar orang tuanya, tapi Raisha menguncinya dari dalam. Jadi Mutia hanya mampu mengetuk pintu kamar itu.
"Mama, Mutia minta maaf. Mutia cuma bercanda aja. Maaaa," rengek Mutia.
"Mama gapapa. Kamu istirahat aja."
Dan hari itu Mutia habiskan untuk merengek kepada ibunya.
***
To Be ContinuedMaaf ya, aku lagi sibuk makanya gabisa update. Padahal votenya udah lewat.
Kalau votenya sampai 4 aku update, kalau enggak ya aku update nya Minggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance in Another Universe
RomanceKefrustasian Mutia atas meninggalnya sang kekasih membuatnya melampiaskan melalui karya. Mutia menerbitkan novel yang menceritakan kisah hidupnya bersama sang kekasih. Perbedaannya adalah dalam novel itu, Mutia dan sang kekasih akan hidup bahagia be...