Seperti yang Mutia duga sebelumnya, dia tidak akan lama menghabiskan waktu di dunia novel. Hanya dua hari, kemudian dia kembali ke dunia nyata. Tapi bagi Mutia itu sudah cukup. Setidaknya dia bisa melepas rasa rindunya pada Arda.
Hal pertama yang Mutia lakukan setelah bangun dari tempat tidur adalah mandi. Karena jika tidak, bisa-bisa Mutia akan bermalas-malasan sepanjang hari.
Selesai mandi, Mutia mengambil ponselnya yang tergeletak di meja. Dia hendak menghubungi Dwi untuk membuat janji. Mutia masih perlu saran dari wanita itu untuk mengambil keputusan. Sebab menurut Mutia, Dwi adalah perempuan paling bijak dalam hidupnya.
Kak Dwi
Kak, kosong kapan?|
|Kenapa? Mau konsultasi?
Iya, ada yang perlu aku omongin.|
|Jam 2 aku kosong. Mau ketemu di mana? Yang jelas jangan di rumah sakit, nanti aku disuruh kerja lagi wkwk
Di rumah Kak Dwi aja boleh? Rindang| banget
|Bolehhh. Kalau gitu aku lanjut kerja dulu. See you
Mutia tersenyum kala membaca pesan dari Dwi. Wanita itu benar-benar seperti seorang kakak perempuan baginya. Cukup menyenangkan bagi Mutia yang merupakan seorang anak tunggal.
Jika janji temu dengan Dwi adalah pukul dua siang, maka masih ada sekitar enam jam untuk Mutia bersantai. Dia akan bersiap-siap satu jam sebelum berangkat.
Setelah menggunakan pakaian rumahan, Mutia menuruni tangga dan menuju ruang makan. Suasana rumah tampak sepi. Sepertinya Raisha sudah berangkat kerja.
Di ruang makan, tampak seporsi nasi goreng. Serta beberapa buah sosis dan bakso goreng sebagai lauk. Di bawah piring, terdapat sebuah kertas. Mutia lantas mengambil kertas itu dan membacanya.
Dimakan ya, Sayang! Mama nggak sempat bangunin kamu karena mama tadi kesiangan.
Mutia tersenyum membacanya. Bahkan di saat wanita itu dalam kondisi terlambat, Raisha masih memikirkan Mutia. Menyempatkan diri hanya untuk membuat seporsi nasi goreng. Yang padahal Mutia pun bisa memasaknya sendiri.
"Nyokap gue emang mama paling baik sedunia," gumam Mutia.
🌷🌷🌷
Tepat pukul dua siang, Mutia berdiri di depan gerbang rumah Dwi. Dia berangkat menggunakan kendaraan umum. Raisha sedang tidak bisa mengantarnya, sedangkan Mutia belum diizinkan mengendarai mobil.
Mutia menekan bel di samping pagar. Tak butuh waktu lama, Dwi terlihat keluar dari rumah. Membukakan pintu untuk Mutia.
"Hai, Kak. Gue kangen banget deh," ujar Mutia.
Dwi tertawa. "Beneran kangen atau lagi pengen curhat nih?"
"Hehe, dua-duanya sih." Mutia jujur.
Dwi membawa Mutia ke tempat mereka berbicara beberapa hari yang lalu. Tempat yang begitu sejuk dan rindang. Hingga Mutia ketagihan dengan suasananya.
"Pokoknya nanti kalau aku udah punya rumah sendiri, aku mau punya halaman yang rindang begini," tekad Mutia.
Dwi tertawa sekali lagi. Melihat Mutia seperti melihat dirinya di masa lalu. Pribadi yang penuh tekad.
"Kamu mau cerita apa?" Dwi mengembalikan mereka ke topik yang seharusnya mereka bicarakan.
"Oh iya. Aku mau ngasih tau kalau aku balik ke dunia novel."
"Terus, apa yang kamu lakuin di sana?"
"Aku ngasih tau Arda kalau semuanya cuma halusinasiku," jawab Mutia enteng.
"Mutia ... serius? Kalau setelah ini dunia 'novel' itu nggak rusak, berarti kamu beruntung. Karena setauku, nggak boleh ada yang tau tentang itu."
"Aku bilang ke Arda kalau dunia itu tetep nyata buat dia. Duh, gimana ya jelasinnya? Yang jelas bagiku, dunia itu cuma halu yang nggak bakal bisa bikin aku menetap. Kalau buat Arda, dunia itu tetep nyata, karena ya dia jiwa asli dari dunia itu. Sedangkan aku 'kan bukan jiwa asli sana, gitu."
"Terus reaksi Arda gimana?"
"As i expected. Dia kaget banget sampai nggak tau mau ngomong apa. Tapi aku yakinin dia kalau ada atau enggaknya jiwaku sama sekali nggak berpengaruh di dunia novel. Jiwa Mutia novel bakal balik ke raganya."
Dwi mengangguk paham. Baguslah, itu berarti tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Eh, tunggu, kenapa Mutia bisa berpikir jika jiwa 'Mutia novel' akan kembali?
"Kenapa kamu mikir kalau Mutia novel bakal balik? I mean, kan kamu juga nggak tau apa yang akan terjadi setelah kamu pergi dari sana."
"Spekulasi. Karena waktu aku balik ke dunia nyata untuk sementara, Mutia yang di dunia novel tetap beraktivitas seperti biasa. Begitu juga waktu aku di dunia novel, tubuhku yang di sini tetep beraktivitas."
Hening sejenak melanda. Kedua orang itu sama sekali tidak memiliki sesuatu lagi untuk dibicarakan.
"Kayaknya kamu harus mulai kerja lagi, Tia. Ngelupain Arda itu nggak gampang. Aku yakin kamu pasti butuh pelarian. Dan sesuai dengan pengalaman kamu, kerja adalah pelarian terbaik," saran Dwi.
Mutia mengangguk. Walaupun masih ada kemungkinan untuk kembali ke dunia novel, Mutia harus menghilangkan perasaannya sedikit demi sedikit. Jika pun perasaannya pada Arda tak hilang, dia harus bisa mengikhlaskan perpisahan mereka.
"Kayaknya gue mau ngelanjutin projek novel deh, Kak. Lagian udah kelamaan libur juga. Nggak enak sama agensi."
🌷🌷🌷
Seperti apa yang Mutia katakan pada Dwi, dia akan melanjutkan projeknya. Tahap pertama yang harus Mutia lakukan adalah menemui Cindy, editornya. Mereka harus membahas ide dasar novel yang akan Mutia kerjakan.
Kala itu, Mutia sempat mengajukan ide mengenai transmigrasi jiwa yang tentu saja terinspirasi dari kehidupan nyatanya. Entah diterima atau tidak. Harapan Mutia sih diterima, toh novel dengan ide seperti itu sedang laris di pasaran.
Saat ini Mutia sudah berada di ruangannya. Sementara Cindy masih belum datang karena tengah menjalani rapat.
Dua puluh menit berlalu, seseorang mengetuk pintu ruangan Mutia. Kemudian terdengarlah suara pintu terbuka. Cindy memasuki ruangan.
"Okay. First of all, kenapa lo tiba-tiba pengen kerja? Bukannya waktu itu lo bilang bakal hiatus lama banget?" Baru datang saja Cindy sudah mengomel.
"Gue lagi butuh pengalihan isu, Kak." Mutia menjawab lesu.
"Pengalihan isu? Lo kerja cuma buat pengalihan isu? Yang serius dong, Tia. Gue nggak mau ya di tengah pekerjaan lo malah galau nggak jelas."
Kan.
Jika Cindy mengomel saat pertama kali memasuki ruangan, sudah bisa dipastikan percakapan selanjutnya akan dipenuhi omelan.
"Tenang aja, Kak. Gue bakal profesional kok. Buktinya novel sebelumnya 'kan hasil pengalihan isu dari meninggalnya cowok gue," ujar Mutia persuasif.
Cindy berpikir sejenak. Mengingat rekam jejak Mutia dalam mengerjakan novel sebelumnya. Seingatnya, Mutia memang tidak pernah mangkrak dalam projek. Kecuali saat gadis itu harus memulihkan diri di hari-hari pertama setelah kekasihnya meninggal.
Dengan keprofesionalan Mutia itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan 'kan?
"Okay, ayo kita bahas ide dasarnya. Tapi inget ya, Tia. Kalau lo sampai mangkrak, gue nggak ikut campur kalau agensi yang ambil tindakan."
***
To Be ContinuedSeneng nggak nih, aku upload lebih cepet?
Kalau bisa 2 vote hari ini, aku up lagi besok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance in Another Universe
RomanceKefrustasian Mutia atas meninggalnya sang kekasih membuatnya melampiaskan melalui karya. Mutia menerbitkan novel yang menceritakan kisah hidupnya bersama sang kekasih. Perbedaannya adalah dalam novel itu, Mutia dan sang kekasih akan hidup bahagia be...