3. Menyerah atau Bangkit?

83 10 0
                                    

Hari ketiga tanpa Arda. Pola makan Mutia belum juga teratur. Gadis itu selalu mengurung diri di kamarnya. Hanya mau membuka pintu saat ibunya sudah memohon.

Sebetulnya, Raisha sudah sangat bersyukur saat anaknya mau memakan masakannya walaupun hanya satu atau dua sendok saja. Tapi tetap saja ia khawatir. Mutia bisa kekurangan gizi karena makan terlalu sedikit.

Raisha mendudukkan diri di sofa ruang keluarga. Tempat ini dulunya hangat. Walaupun hanya memiliki satu anak, suasana di rumah ini tak pernah sepi. Mutia selalu membawa kehangatan untuk setiap orang. Sayangnya, kehangatan itu pergi ketika suaminya meninggal dunia.

Saat itu, Raisha benar-benar terpuruk. Tapi yang bisa ia lakukan adalah menjaga peninggalan paling berharga dari mendiang suaminya, Mutia. Anak semata wayangnya yang entah sadar atau tidak berubah sejak kematian ayahnya.

Raisha bangkit menuju kamar anaknya. Mengetuk pintunya perlahan. Kemudian berubah keras saat tak mendapat jawaban.

Mengetuk pintu kamar Mutia sudah menjadi kebiasaan Raisha setiap pagi. Wanita dewasa itu tak peduli tentang jawaban apa yang akan anaknya berikan. Bahkan jika tangannya harus terluka karena mengetuk terlalu keras, Raisha sama sekali tak keberatan.

"Nak, makan dulu yuk." Ketukan pintu kembali berkumandang setelahnya.

Di dalam kamar sana, Mutia masih setengah sadar. Semalam ia tak bisa tidur karena terus teringat kenangannya bersama sang mendiang kekasih. Itu sebabnya pagi ini gadis itu lagi-lagi terlambat bangun.

Mendengar ketukan pintu yang berulang disertai suara ibunya membuat Mutia menghela napas lelah. Dia sebenarnya tak ingin menyusahkan ibunya. Hanya saja tubuhnya tak bisa diajak berkompromi. Dengan wajah pucat, mata membengkak, juga tubuh yang lunglai seperti ini, Mutia jadi ragu untuk menemui ibunya. Gadis itu takut membuat satu-satunya orang yang masih dimilikinya itu khawatir.

Namun, tak ada pilihan lain jika lagi-lagi ibunya memohon. Mutia merasa berdosa, sungguh. Dia sudah membuat wanita yang mengandung sekaligus melahirkannya memohon.

Perasaan bersalah ini lah yang semakin membuat Mutia tercekik. Bertanya-tanya apakah dia masih pantas untuk hidup? Bahkan ketika dia sudah membuat ibunya menderita.

Mengabaikan segala kecaman dalam pikirannya, Mutia memilih membuka pintu. Sayangnya, tidak ada siapa-siapa di sana. Tak seperti biasa, Raisha kini pergi sebelum Mutia membuka pintu.

Mutia tersenyum sambil menutup pintu. Memang seharusnya begitu. Ibunya akan menyerah. Lalu lama kelamaan melupakannya. Itu lebih baik daripada wanita kesayangannya itu harus ikut menderita.

Namun, harapan tinggal harapan. Raisha tak pergi untuk menyerah. Perempuan yang selama enam belas tahun menjadi ibu tunggal itu memutar otak untuk membuat anaknya kembali bangkit.

Mutia duduk di ruang tamu. Menatap beberapa foto yang terpajang di dinding. Di bawah dinding itu, ada sebuah almari kecil yang di atasnya berisi foto-foto Mutia.

Saat menatap salah satu foto, bohlam lampu seakan muncul di atas kepalanya. Raisha segera mengambil ponselnya. Menghubungi seseorang yang kiranya bisa membantunya.

Raisha menggigiti kukunya saat panggilan pertama sampai ketiga tak juga diterima. Yah, hal yang wajar sebenarnya. Orang yang dihubunginya juga sedang berduka. Tak seharusnya ia merepotkannya lagi.

Saat Raisha sudah hampir menyerah, deringan telepon membuyarkan lamunannya. Dengan segera ia mengangkat telepon saat melihat siapa yang memanggil.

"Halo, Tania?" sapa Raisha sumringah.

"Halo, Raisha. Ada apa ya? Maaf tadi aku lagi nggak pegang ponsel."

Mendengar suaranya saja sudah membuat Raisha kesenangan. Semoga rencananya kali ini berhasil.

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang