46. Bridal Shower and The Accident

13 3 0
                                    

Setelah pulang dari apartemen Salsa, Mutia segera mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai bridal shower. Gadis itu tidak ingin mengecewakan sahabatnya yang sudah begitu baik kepadanya. Cukup mengabaikannya selama satu tahun belakangan saja sudah membuatnya merasa bersalah.

Setelah mencari tahu, barulah Mutia mengerti jika seharusnya bridal shower dilaksanakan dua sampai enam bulan sebelum pernikahan. Namun, karena Mutia baru memberitahu Salsa mengenai pernikahannya, mereka baru melaksanakannya sekarang. Tidak masalah, mungkin kegiatan ini akan membantu Mutia yang kesepian karena sedang dipingit.

Sebelum Salsa datang, Mutia mendatangi Raisha di malam harinya. Gadis itu berniat meminta izin kepada ibunya. Selain karena wanita itu adalah pemilik rumah ini, Mutia juga butuh restunya agar acara tetap lancar.

"Mama, aku boleh nggak ngajak Salsa nginep di sini? Rencananya kita mau ngadain bridal shower gitu. Walaupun udah telat, yang penting aku bisa quality time dulu bareng Salsa sebelum aku nikah. Aku juga kesepian karena di rumah terus dan nggak boleh nyamperin Arda," ucap Mutia sedikit melebih-lebihkan.

"Boleh dong. Boleh banget. Habisin sisa waktu lajang kamu sebaik-baiknya."

Dan izin dari Raisha itulah yang membuat Salsa kini berada di kamar Mutia. Gadis itu tengah meletakkan koper di sebelah lemari baju. Berhubung lemari Mutia penuh dan hanya ada satu lemari, Salsa memutuskan bahwa pakaiannya akan tetap berada di koper.

"Kecil amat koper lo, Sal," omel Mutia saat melihat koper yang dibawa Salsa ternyata cukup kecil.

Perlu diketahui, jika Mutia sangat tidak suka meminjamkan barangnya. Terbiasa menjadi anak tunggal, membuatnya enggan berbagi barang pribadi. Baginya, apa yang telah menjadi miliknya tidak boleh digunakan orang lain, kecuali dalam keadaan darurat.

"Yaelah, kan gue cuma mau nginep seminggu. Nanti juga bisa cuci baju di sini." Salsa menimpali. Gadis itu masih sibuk dengan rutinitas malamnya yaitu memoles skincare di wajah dan tubuhnya.

Mendengar perkataan Salsa, Mutia terdiam merasa minder. Salsa yang terbiasa hidup sendiri adalah seorang gadis mandiri. Sahabatnya itu bahkan bisa kerja dan mengurus rumah sekaligus. Sedangkan Mutia hanya bisa memasak dan bersih-bersih, sisanya nol besar.

"Padahal lo yang tamu, eh malah lo juga yang kerja," keluh Mutia kesal dengan dirinya sendiri.

"Ya makanya lo belajar. Jaman sekarang cuci baju mah gampang soalnya udah ada mesin cuci. Cuci piring juga. Gue nyaranin lo gini bukan karena kita cewek ya, tapi karena itu semua emang basic life skill. Cowok ataupun cewek harusnya bisa. Ya, walaupun lo nggak wajib sih karena Arda pasti dengan senang hati bayar pembantu. Tapi apa salahnya belajar? Siapa tau nanti ada keadaan darurat yang mengharuskan lo cuci piring dan baju."

Mutia dan Salsa tak melanjutkan obrolan itu lagi. Keduanya kini sudah berbaring di ranjang. Tak perlu heran, baik Salsa maupun Mutia adalah tipe orang yang diam saat tidur. Jadi berbagi tempat tidur bukan masalah bagi mereka.

"Tia, gue pengen curhat," ungkap Salsa pelan.

"Lo pasti mau cerita tentang cowok."

"Ih, kok lo tau?"

"Kalau lo curhat pakai ancang-ancang, itu berarti hal ini jarang lo bahas sama gue. Dan satu-satunya yang paling jarang lo bahas itu masalah cowok."

Salsa tak menjawab. Matanya menatap lurus ke arah plafon kamar Mutia. Menikmati keindahan ornamen bintang yang berkilauan saat lampu kamar dimatikan.

"Gue lagi suka sama seseorang, tapi gue ragu gitu. Lo tau sendiri 'kan kalau gue punya trust issue karena pernah hampir ditipu dan dijadiin selingkuhan?" tanya Salsa.

Mutia mengangguk. Tentu saja dia tidak akan melupakan kejadian itu. Salsa, si gadis baik hati itu jatuh hati kepada seorang laki-laki rekan projeknya dari perusahaan lain. Saat itu, Salsa yang sudah terlanjur jatuh hati tentu saja senang ketika sang lelaki membalas perasaannya. Namun, semuanya berubah ketika Mutia men-stalk habis-habisan lelaki itu. Dan apa yang Mutia temukan? Kenyataan bahwa lelaki itu sudah menikah.

Untungnya, Salsa bukanlah wanita murahan yang akan terus mengejar seseorang yang sudah memiliki pasangan. Juga bukan wanita bodoh yang bertahan meski tersakiti. Sesaat ketika Mutia membeberkan fakta beserta bukti yang ada, Salsa tanpa pikir panjang memutuskan hubungannya dengan lelaki bajingan itu. Sayangnya, kejadian itu terus membekas dalam memori Salsa, membuatnya enggan untuk kembali mencinta.

"Sal, gue tau kalau lo pasti takut. Tapi nggak semua laki-laki sama kayak cowok bajingan itu. Lo bisa liat sendiri 'kan gimana baiknya Arda ke gue? Padahal kalau mau cari yang lebih cantik, baik, tenar, pengertian pasti banyak di luar sana. Arda itu sempurna, tapi dia dengan setia menetapkan gue sebagai pilihannya."

Mutia memeluk Salsa dari samping sebelum melanjutkan pertanyaannya. "It's okay kalau lo butuh waktu untuk nyembuhin perasaan itu, tapi sampai kapan? Masih kejelasan sama diri lo sendiri. Jangan sampai lo melewatkan seorang cowok yang baik banget cuma karena perasaan trauma itu. Kalau emang udah separah itu, mending ke psikiater aja, gue bisa temenin."

Salsa hanya mengangguk. Membalas pelukan Mutia erat. Wajah bagian kirinya gadis itu sandarkan pada dada Mutia.

"Lagian ... emang lo suka sama siapa sih?"

Salsa sebenarnya ragu, tapi tidak baik juga menyimpan rahasia dari satu-satunya orang yang ia miliki. "Dani, kating kita dulu. Sekaligus manajernya Arda."

🌷🌷🌷

Apa reaksi Mutia setelah mendengar pernyataan Salsa? Jawabannya adalah tidak ada. Mungkin gadis itu begitu syok dan berpikir kapan kedua orang itu dekat.

Astaga, apakah Mutia se-abai itu sampai-sampai tidak menyadari jika Salsa dekat dengan seseorang? Tiba-tiba saja gadis itu kembali diserang rasa bersalah. Apakah Salsa di dunia nyata juga sedang jatuh cinta? Atau malah gadis itu sudah menjalin hubungan dengan seseorang?

Mutia melirik ke arah Salsa yang telah terlelap. Kedua matanya mulai sayu. Mungkin sudah saatnya untuk tidur.

Inginnya sih seperti itu, tapi tiba-tiba saja Mutia berpindah tempat ke dalam sebuah mobil. Refleks, gadis itu menginjak rem kuat-kuat. Tak peduli jika di belakangnya ada mobil yang juga melaju konstan.

Klakson dibunyikan dengan keras setelahnya. Namun, Mutia sama sekali tidak peduli. Gadis itu masih begitu syok dengan apa yang terjadi.

Hanya saja, Mutia seperti tidak diberikan waktu untuk menyesuaikan diri. Klakson terus dibunyikan oleh para pengguna jalan. Berbagai umpatan dan makian diterimanya dari mereka.

Pada akhirnya, Mutia terpaksa menjalankan dengan keadaan yang masih setengah sadar. Gadis itu bahkan tidak menyadari jika lampu lalu lintas berubah merah. Dengan kesadaran yang belum pulih, mobilnya melaju bersamaan dengan sebuah mobil dari arah kiri.

Dan untuk kedua kalinya, Mutia mengalami kecelakaan.

***
To Be Continued

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang