34. Apa yang Terjadi?

27 5 0
                                    

"Ma ... kenapa Mutia ada di rumah sakit?"

Raisha tersenyum saat putrinya akhirnya buka suara. Dia kira Mutia terlalu syok sampai mendadak bisu. Ternyata pikirannya terlalu berlebihan.

"Kamu nggak inget apa-apa?" tanya Raisha.

Mutia mengerutkan keningnya kesal. Mamanya ini, kenapa selalu saja mengesalkan. Kalau dia ingat sesuatu, dia tidak akan bertanya.

Melihat putrinya yang tampak kesal, Raisha terkekeh. Dia cukup merindukan raut wajah itu. Dia jadi ingin semakin mengganggunya. Seolah melupakan perintah dokter untuk menjaga stabilitas mental putrinya.

"Hayoo, coba tebak kenapa kamu sampai di rumah sakit?" jahilnya.

Kening Mutia semakin mengerut. Ibunya pasti sudah gila. Dia baru saja sadar dari tidurnya yang sepertinya cukup panjang, tapi yang dilakukan Raisha justru menjahilinya?

Sudahlah, berharap apa dia pada mamanya itu? Raisha pasti tidak akan berhenti menjahilinya. Jadi lebih baik kalau mengikuti cara bermainnya.

"Aku pingsan di dalam mobil?" tebak Mutia. Itu adalah kemungkinan paling besar. Sebab yang terakhir diingatnya adalah ia pamit tidur di mobil Arda.

Raisha terdiam sejenak. Ia kira anaknya ini benar-benar lupa ingatan tentang kejadian sebelum kecelakaan itu. Tapi sepertinya gadis itu ingat.

"Kenapa kamu nebak begitu?" Nada bicara Raisha terdengar sangat hati-hati.

"Karena yang aku inget, terakhir kali sadar aku lagi pamit buat tidur," jelas Mutia. Dia sedikit bingung dengan perubahan raut wajah ibunya.

Sedangkan Raisha kini tengah kebingungan. Pamit tidur? Bukannya Mutia waktu itu sedang menyetir sendirian? Setahunya juga alasan kecelakaan yang Mutia alami adalah serangan jantung, bukan kelalaian seperti mengantuk.

"No! Bukan itu alasannya."

Pada akhirnya, Raisha memilih untuk mengabaikan kejanggalan itu.

"Ih, terus apa, Ma? Aku nggak inget apa-apa lagi? Masa aku kecelakaan? Atau malah cuma kecapekan? Yakali orang kecapekan doang sampai masuk rumah sakit sih? Apa bener kecelakaan? Ah, udah ah pusing!"

Mendengar keluhan anaknya, Raisha salah mengartikannya. Dengan cepat wanita itu menjawab, "Iya, kamu cuma kecapekan. Jadi sekarang mending kamu istirahat aja."

Tubuh Mutia kembali diselimuti, kemudian Raisha menyuruhnya untuk kembali tidur.

🌷🌷🌷

Apakah Mutia benar-benar tidur? Jawabannya adalah tidak. Setelah tidur panjangnya, akan sangat sulit baginya untuk kembali tidur.

Lagipula, alasan yang diberikan ibunya itu sedikit tidak masuk akal. Rasanya tidak mungkin ia sampai dilarikan ke rumah sakit hanya karena kelelahan. Apalagi ruangan ini tidak seperti ruang rawat inap biasanya. Belum lagi para dokter yang memeriksanya tadi.

Ah, dia juga bisa melihat EKG di samping brankar. Ciri-ciri ini ... seperti ruangan ICU.

Kalau dipikir-pikir, tubuhnya juga terasa sakit. Walaupun rasa sakit ini mungkin saja dikarenakan ia tidur terlalu lama sih. Tapi bukannya itu semakin membuktikan kalau ia tidak di sini karena kelelahan?

Ah, sudahlah. Semakin dipikirkan, semakin pusing juga dirinya. Lebih baik percaya saja, kan? Lagipula ibunya pasti punya alasan untuk menyembunyikan sesuatu darinya.

Walaupun begitu, rasa pusing tetap tak bisa dihindari. Dengan refleks Mutia meraba bagian kening sampai pelipisnya. Cukup terkejut saat yang dia dapati justru sebuah perban. Meraba sedikit ke atas, sepertinya rambut bagian depannya dicukur.

Bukannya ini pertanda kalau ia baru saja mengalami sesuatu sehingga perlu operasi guna menjahit lukanya?

Mutia lagi-lagi melirik ibunya yang kini tertidur pulas dengan kepala di ranjangnya.

Sebenarnya ... apa yang terjadi?

🌷🌷🌷

Mutia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Cukup nyaman sebab Raisha sengaja memesan kamar VIP. Walaupun bukan berasal dari keluarga konglomerat seperti Arda, Mutia memang selalu diperhatikan kenyamanannya.

Sejak kecil, Mutia selalu dimanjakan dengan fasilitas dari Raisha. Untungnya Mutia adalah tipe anak yang tahu diri. Jadi gadis itu berhasil tumbuh menjadi anak yang mandiri.

Meskipun begitu, Mutia tetap saja peri kecil di mata mamanya. Raisha tak akan segan untuk memberikan apapun. Katanya, dia juga mencari uang untuk Mutia, sayang kalau cuma disimpan.

Karena itu Mutia tumbuh sebagai anak yang tidak bisa jauh dari ibunya.

Contohnya ketika untuk pertama kalinya Arda membawa gadis itu ke luar pulau. Bukannya senang, Mutia malah takut. Dia mengalami homesick dalam waktu beberapa hari saja.

Ah, seperti kali ini juga. Mutia tengah bermanja-manja dengan mamanya. Mumpung Raisha lagi baik, jadi Mutia memintanya untuk memperlakukannya seperti anak kecil lagi.

Raisha tak menolak. Dia justru sangat senang. Peri kecilnya yang lucu kini sudah kembali.

Kini posisi tidur Raisha adalah menyamping di sisi kanan putrinya. Tangan kanannya mengelus lembut surai halus Mutia. Sedangkan yang satu lagi dijadikan bantal oleh gadis itu.

Mutia mendongak menatap ibunya yang kini tersenyum lembut menatapnya. Gadis itu teringat sesuatu.

Mengapa Arda tidak menjenguknya?

Jika benar mereka mengalami kecelakaan sehingga dia memiliki luka di kepala, bukankah seharusnya Arda juga begitu? Bagaimana keadaannya? Apakah Arda baik-baik saja?

Melihat raut wajah anaknya yang berubah murung, Raisha tidak bisa untuk tidak bertanya. "Kamu kenapa? Kepikiran sesuatu?"

Mutia mengangguk. "Arda kemana? Kok dia nggak jengukin aku?"

Raisha terkesiap. Sorot matanya berubah sendu. Jantung Mutia hampir merosot dibuatnya.

Ada apa dengan Arda? Lelaki itu baik-baik saja 'kan? Apakah Arda mengalami luka parah pada kecelakaan mereka saat itu? Jika iya, maka Mutia harus menjenguknya. Mana mungkin ia bisa tenang saat belahan jiwanya bertarung antara hidup dan mati. Lagipula, sebentar lagi adalah pernikahan mereka.

"Arda ada. Dia lagi sibuk, jadi belum bisa jengukin kamu. Gapapa 'kan?"

Maaf karena harus bohong, Nak. Mama cuma nggak mau kamu stres.

Mutia mengangguk singkat. Syukurlah, itu lebih baik dari bayangannya. Walaupun ia tetap saja kesal karena Arda yang terlalu sibuk. Bahkan lelaki itu tak sempat menghubunginya sekalipun.

Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian ibu dan anak itu. Keduanya sontak tersenyum saat melihat siapa yang datang. Riu dan Tania, seseorang yang sudah mereka anggap sebagai keluarga sendiri.

"Ya ampun, bunda seneng banget waktu Mama kamu ngabarin kalau kamu udah sadar." Tanpa aba-aba, Tania menubruk tubuh Mutia. Memeluknya dengan erat.

Mutia balas memeluk Tania. Calon mertuanya ini memang hiperaktif. Sangat berbanding terbalik dengan Arda yang mewarisi sifat dingin, kalem, dan bucin dari papanya.

"Bunda, anak bunda kenapa sibuk banget sih? Masa calon istrinya sakit nggak sempet jenguk sama sekali. Seenggaknya video call gitu kali-kali," keluh Mutia.

Tania mendongak menatap Raisha. Dari raut wajahnya, tampak sekali wanita itu kebingungan. Namun, Raisha hanya memberi jawaban berupa gelengan.

Tania memberikan tatapan yang sama seperti Raisha kepada Mutia. "Sabar ya."

Kedua ibu itu sama-sama merasakan sakit. Mutia, ternyata belum bisa lepas dari bayang-bayang Arda.

***
To Be Continued

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang