19. Hanya Mimpi

48 8 0
                                    

Arda terus menepuk-nepuk pipi tunangannya. Sedari tadi, gadis itu gelisah dalam tidurnya. Dia tidak bisa diam, lalu tadi tiba-tiba saja menangis.

Arda khawatir, tentu saja. Mutia adalah anak yang cukup tenang dalam tidurnya. Melihatnya begitu gelisah, menimbulkan rasa tidak nyaman di hatinya. Dia tidak suka gadis kesayangannya sedih.

Mutia belum juga bangun dari tidurnya. Arda semakin panik. Arda memilih membangunkan Mutia dengan sedikit kasar.

Arda menggoyangkan tubuh Mutia sedikit kasar. Sesekali menepuk-nepuk pipinya lagi. Tapi hasilnya nihil, Mutia tak mau bangun dari mimpinya.

"Kamu kenapa, Sayang?" Arda semakin panik. Matanya mulai berkaca-kaca. Apalagi setelah melihat air mata yang mulai keluar dari sudut mata gadisnya.

Merasa sia-sia, akhirnya Arda memilih memeluk tunangannya. Meletakkan gadis itu di pangkuannya. Jika tidak bisa membuatnya bangun, mungkin bisa membuat mimpinya lebih baik.

Arda menepuk-nepuk bahu gadisnya. Rasanya ia seperti sedang menidurkan anak bayi. Bedanya bayi yang satu ini cukup berat sampai kakinya terasa keram setelah sepuluh menit berada di posisi yang sama.

"AKH!" pekik Mutia tiba-tiba.

Tak hanya Mutia yang terkejut, Arda juga terkesiap saat makhluk di pangkuannya tiba-tiba saja bangun. Tapi keterkejutan sang lelaki tak bertahan lama. Lelaki itu langsung memeluk gadisnya, merasa lega setelah melihat kedua manik hitam legam kekasihnya.

Tersadar, gadis yang berprofesi sebagai penulis itu melengkungkan bibirnya ke bawah. Tangannya yang tak begitu besar memukul pelan dada lelakinya. Hal yang biasa gadis itu lakukan saat kesal.

"Kamu ngapain sih! Bikin kaget aja," kesal Mutia. Gadis itu masih merasa kaget dengan sosok hitam yang menepuk pundaknya tadi.

Arda terkekeh. Merasa lucu dengan kekasihnya yang merajuk tidak jelas. Padahal baru beberapa detik yang lalu gadis itu membuatnya begitu panik.

Mendengar kekehan Arda, Mutia justru semakin kencang. Pukulan yang tadinya pelan mulai gadis itu keraskan. Mulutnya semakin melengkung ke bawah, serta matanya yang berkaca-kaca.

Arda semakin tertawa melihat ekspresi tunangannya. Gadisnya ini lucu sekali, sungguh. Rasanya ia ingin memeluknya sampai remuk, tapi tidak tega.

Mendengar sebuah isakan, Arda kembali panik. Dia tidak menyangka Mutia akan benar-benar menangis. Dengan segera pria itu kembali memeluk gadisnya.

"Cup cup, iya aku nggak ketawa. Udah ya, jangan nangis, Sayang."

"Kamu-j-jahat, aku-sebel." Mutia masih sesenggukan. Isakannya semakin keras.

Entahlah, Mutia juga tidak tahu mengapa ia jadi begitu emosional. Yang jelas ini pasti ada hubungannya dengan sosok hitam tadi. Mungkin, ia masih terkejut dan kesal saat Arda justru menertawakannya.

Sampai saat ini, rasa takut itu tak kunjung hilang. Sosok hitam itu ... entah mengapa menjadi sesuatu yang sangat menyeramkan.

Mengingat sosok itu lagi membuat Mutia semakin tertekan. Gadis itu mulai meremas baju kekasihnya di bagian pinggang. Lantas menangis semakin keras.

Arda yang menyadari ada yang tidak beres segera menjauhkan diri. Kedua tangannya menangkup dua sisi wajah Mutia. Membuat gadisnya menatapnya.

"Kamu kenapa, hm? Mimpi apa sampai ketakutan gitu?" tanya Arda lembut.

Arda sangat mengerti, bertanya tentang mimpi gadisnya berarti mengembalikan ingatan gadis itu tentang sesuatu yang buruk. Namun, ia juga tidak bisa melakukan sesuatu tanpa mengetahui mimpi gadis itu.

"Aku mau sama kamu ..." lirih Mutia. Gadis itu tampak sangat ketakutan. Terbukti dari tubuhnya yang gemetar.

Mutia mendongak. Menatap lelaki kesayangannya yang kelihatan tak mengerti. Lelaki itu pasti kebingungan mendengar kalimatnya.

"Aku mau sama kamu, aku nggak mau pisah lagi sama kamu."

🌷🌷🌷

Perkataan Mutia kemarin sepertinya disalahpahami oleh tunangannya. Lelaki itu mengira gadisnya mengalami trauma atas skandal yang baru saja terjadi. Dia merasa bersalah, karena itu mereka berada di sini sekarang.

Raisha, Tania, dan Riu kembali hadir. Semua itu atas permintaan seorang Ardandi. Lelaki itu bercerita mengenai 'trauma' yang dialami Mutia.

Mutia pusing dibuatnya. Sedari ibunya datang, wanita itu terus memberikan perhatian berlebihan. Mutia sedikit risih dibuatnya. Bukan karena tidak suka, tapi dia tidak membutuhkan itu semua.

Dulu, Mutia juga mendapatkan semua perhatian itu saat terpuruk setelah kehilangan Arda. Di saat itu, Mutia sangat terbantu dengan semua perhatian Raisha. Wanita itu dengan setia merawatnya sepenuh hati walaupun Mutia sendiri sudah kehilangan semangat hidup.

Ibunya, Arda, dan kehilangan, semua itu mengingatkan kepada mimpinya semalam. Apakah pilihannya sudah benar? Menetap di sini dan memperjuangkan cintanya? Bagaimana perasaan Raisha di sana?

Kalau hanya ditilik dari sudut pandang Mutia, tentu saja dunia ini adalah yang terbaik. Dia bisa menikmati kasih sayang dari orang-orang terdekatnya. Dia juga masih bisa memperjuangkan cintanya.

Tapi apakah itu adil untuk Raisha? Untuk seseorang yang dalam sisa hidupnya, bahkan tidak memiliki siapapun untuk ia genggam. Tak ada siapapun yang bisa wanita itu jadikan sandaran saat lelah.

Apa itu adil untuk Raisha?

Dengan mata yang berkaca-kaca, Mutia menggenggam kedua tangan mamanya. Mencoba menyampaikan rasa cinta yang tak pernah bisa ia ucap lewat mulut. Jika tak bisa di kehidupan sebelumnya, Mutia ingin menyampaikannya di kehidupan ini.

"Mutia sayang banget sama Mama," katanya tulus.

Raisha tertegun. Dua puluh tiga tahun-hampir dua puluh empat-merawat Mutia, tak pernah sekalipun ia mendengar ucapan kasih sayang itu. Bahkan di saat anak perempuan lain sibuk mengungkapkan perasaannya saat masih kecil, Mutia hanya diam. Membuat Raisha berpikir jika Mutia memang tidak bisa mengekspresikan diri dengan berbicara, anak itu lebih suka bertindak.

"Mama juga sayang sama Mutia." Raisha memilih tak ambil pusing. Dia senang karena mendapat ucapan kasih sayang itu setelah sekian lama.

"Mutia nggak pernah pengen ninggalin Mama, tapi keadaan maksa Mutia buat milih, Ma," sesal gadis itu. Dia benar-benar hilang arah. Merasa bersalah karena sudah meninggalkan mamanya.

Di sisi lain, Raisha merasa aneh. Anaknya ini kenapa? Meninggalkannya?

Apa mungkin traumanya kambuh? Arda bilang anaknya trauma karena skandal kemarin, kan? Mungkin anak itu berhalusinasi harus memilihnya atau orang lain.

"Arda! Coba ke sini," panggil Raisha.

Arda segera menghampiri tunangan dan calon mertuanya. Bertanya apa ada yang bisa dibantu. Lantas Raisha berbisik pelan kepadanya.

"Ini kayaknya tunanganmu kambuh. Mendingan kamu tenangin deh, jangan sampai dia gila karena halu terus."

Sayangnya, bisikan itu terdengar oleh seorang gadis yang masih berada di sini. Dengan wajah yang memerah, gadis itu mengepalkan kedua tangannya. Merasa kesal karena suasana mellow yang ia ciptakan berubah seketika.

"Mama ..." Lirihan itu membuat dua orang yang saling berbisik menoleh. Keduanya bersiap menjauh sebelum sebuah teriakan memekakkan telinga mereka.

"DASAR JAHAT!"

***
To Be Continued

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang