61. Kembali pada Kenyataan

28 3 0
                                    

Tidak merasakan sensasi basah di bibirnya lagi, Mutia membuka kedua matanya. Yang didapatinya tak lagi wajah sang suami, melainkan langit-langit kamarnya. Plafon berwarna putih yang selalu Mutia lihat ketika bangun tidur.

Perasaan sesak tiba-tiba saja menghampiri Mutia. Menyergapnya begitu saja. Menelannya bersama ketakutan-ketakutan yang kian membesar.

Setelah ini, mungkin saja Mutia tidak akan kembali ke dunia novel. Sebab seperti yang pernah ia katakan, Mutia tak ingin lagi membebani Arda. Dia akan berusaha sekuat tenaganya untuk benar-benar mengikhlaskan lelaki itu.

Namun, bukan itu masalahnya. Permasalahan sesungguhnya adalah ... kenyataan bahwa Mutia benar-benar tak dapat lagi memandang wajah Arda secara langsung. Tak dapat lagi merasakan kehangatan dari tubuh itu. Tak lagi dapat berangan-angan untuk hidup bahagia bersama Arda.

Mutia sadar betul jika hidup tanpa Arda bukan hal yang mudah. Dia bahkan butuh satu tahun untuk bisa hidup normal kembali. Itu pun dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia tidak benar-benar ikhlas. Sampai kejadian yang tidak masuk akal terjadi, masuk ke dunia novel karangannya sendiri.

Mutia menggigit bibirnya yang bergetar. Mencoba menahan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya. Getaran bibirnya itu semakin menguat, dia pun tak dapat lagi menahan isakan yang hendak keluar.

Mutia ... menangisi Arda untuk yang kesekian kalinya.

Kala Mutia tengah melampiaskan kesedihannya, ketukan pintu terdengar. Itu sudah pasti Raisha.

"Mutia, kamu gapapa, Nak?" ujar Raisha.

Intuisi ibu memang tidak pernah salah. Raisha selalu datang di saat dia tengah bersedih. Menenangkannya, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Mutia membuka pintu kamarnya. Dia langsung menubrukkan diri ke pelukan ibunya. Menangis sejadi-jadinya di sana.

"Mutia kenapa, Sayang? Kenapa nangis?" tanya Raisha.

Walaupun merasa panik dengan tangisan sang anak, dia tidak mau menunjukannya. Dia tidak ingin Mutia merasa tidak enak sehingga dia menahan tangisannya. Dia tidak ingin Mutia memendam semuanya sendirian.

"Mama, tadi aku balik ke dunia novel lagi."

Raisha mengeratkan pelukannya. Setelah sekian lama, ini pertama kalinya Mutia kembali mengungkit tentang dunia novel. Dia takut jika putrinya berubah pikiran lagi dan menghentikan terapinya.

"Apa yang terjadi di sana, Nak? Kenapa kamu nangis?" Berusaha menguatkan diri, Raisha bertanya.

"Aku nikah sama Arda, Ma. Tapi bukan itu masalahnya. Tia udah janji sama diri sendiri kalau Tia nggak akan balik ke dunia novel lagi. Jadi sekarang, Tia bener-bener nggak bakal ketemu sama Arda lagi," ujar Mutia.

Diam-diam, Raisha tersenyum hangat. Mutia benar-benar serius saat mengungkapkan bahwa dia berniat untuk sembuh. Bahkan jika akibatnya adalah tidak bisa bertemu Arda lagi, Mutia tetap konsisten pada keputusannya.

"Sayang, mama tau ini pasti berat buat kamu. Bagaimanapun, Arda itu sangat amat berharga buat kamu. Wajar kok kalau kamu susah mengikhlaskan Arda. Mama nggak akan menghakimi kamu untuk itu. Jadi, lampiaskan aja semua emosi kamu. Nangis sepuas-puasnya. Yang penting, jangan lama-lama sedihnya. Hidup harus terus berjalan."

Mutia tidak menjawab. Gadis itu hanya semakin mengeratkan pelukannya. Bahunya bergetar hebat. Isakannya pun mengeras.

Mutia menyerah pada perasaannya. Untuk kali ini saja, biarkan dia untuk menangis. Dia tidak ingin terus menerus menyimpan rasa sesak yang memuakkan ini.

Mutia ingin benar-benar melepaskan semuanya.

🌷🌷🌷

Untuk benar-benar melepaskan semuanya, Mutia merasa dia harus menemui sumber 'masalahnya'. Semuanya berasal dari perasaannya untuk Arda. Jadi, Mutia harus menemui Arda untuk benar-benar menyelesaikan masalahnya.

Kenyataannya, Mutia tidak mampu mengatakan apapun saat berada di makam Arda. Perasaannya bercampur aduk menjadi satu. Dia hanya mampu terdiam sembari menatap batu nisan bertuliskan nama mendiang kekasihnya.

Mutia menarik napas dalam-dalam. Berusaha menguatkan diri. Jika tidak diselesaikan sekarang, nantinya akan ada semakin banyak masalah yang mendatanginya.

"Halo, Arda," sapa Mutia.

"Aku harap kamu benar-benar tenang sekarang. Aku sudah kembali dari dunia novel, dan aku harap ini adalah yang terakhir kalinya," lanjutnya.

Mutia membersihkan makam Arda dari dedaunan kering yang jatuh di atasnya. Kemudian menaburkan bunga yang sudah dicampur dengan air. Dalam hati, Mutia tak pernah lepas dari doa.

Perasaan yang dirasakan Mutia sudah tak lagi seberat sebelumnya. Kali ini, dia merasa lebih lega. Mungkin karena dia tak lagi menyeret Arda dalam kesusahan. Juga mungkin ... Mutia sudah belajar untuk mengikhlaskan.

Bukan sesuatu yang mudah, tapi juga bukan mustahil untuk Mutia hidup tanpa Arda. Gadis itu mulai meyakinkan diri jika masih banyak hal yang harus dikejarnya selain percintaan. Hidup terus berjalan dan dia tidak bisa berhenti di satu tempat.

"Arda, aku pamit dulu ya? Aku janji setelah ini akan rajin ziarah ke makam kamu. Bagaimanapun, kamu orang yang sangat berjasa buat aku. Kamu orang yang selalu nemenin aku berjuang dari bawah selain mama dan Salsa. Setelah ini, biarin aku nganggep kamu sebagai sahabat. Karena nggak mungkin 'kan aku punya pacar lagi kalau masih nganggep kamu pacar?" kata Mutia dengan kekehan di akhir.

Saat Mutia hendak bangkit, seseorang datang. Dia berjongkok di hadapan Mutia, di sisi lain makam Arda. Kemudian pemuda itu meletakkan sebuket bunga di dekat nisan.

Mutia merasa tidak asing dengan wajah itu. Sepertinya dia pernah bertemu orang di depannya ini. Hanya saja dia lupa.

"Eh? Hai, Mutia!" sapa lelaki itu.

Mutia mengernyitkan dahinya. Lelaki itu mengenalnya? Siapa dia? Sahabat Arda kah? Atau mungkin dia salah satu penggemar bukunya?

"Maaf, siapa ya?" tanya Mutia tidak enak hati.

"Lo emang pelupa ya? Kayaknya baru beberapa hari yang lalu kita ketemu dan kenalan, tapi lo udah ngerasa asing aja sama gue." Mutia semakin bingung sekarang, kapan mereka berkenalan?

"Gue Ray, kita pernah beberapa kali papasan," lanjutnya.

Mutia mencoba mengingat-ingat, tapi ingatannya tak bersahabat saat ini. Dia tidak merasa pernah berkenalan dengan Ray. Atau mungkin ... mereka pernah berkenalan dan Mutia menganggapnya tidak penting, sehingga Mutia melupakannya begitu saja.

"Kita kenalan sekitar seminggu yang lalu di depan agensi. Lo keliatan buru-buru, mungkin karena itu lo nggak inget." Lelaki itu menjelaskan.

Mutia tidak menjawab. Dia sudah mengingat siapa laki-laki di depannya ini. Seorang lelaki aneh yang tiba-tiba mengajaknya berkenalan.

Melihat sang lawan bicara enggan membuka mulut, Ray pun kembali berbicara. "Keberatan kalau gue ngajak jalan?"

Mutia hendak menolak, tapi sepertinya sedikit jalan-jalan bukan ide yang buruk. Dia juga butuh angin segar untuk melupakan kesedihannya. Lagipula, bukan sebuah kesalahan untuk berkenalan dengan orang baru.

"Sure."

***
Tamat

Ini bener-bener tamat ya, hari ini aku upload sekalian Epilognya :))

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang