"Senyuman terindah adalah ketika kau tersenyum untuk orang yang tidak ada disamping mu, tapi terlintas di hatimu"
•
•ADARA.
Malam ini mendung ya?
Sendirian lagi, dan ini bukan yang pertama dan kedua kalinya. Aku meninggalkan rumah tanpa izin ataupun meninggalkan sebuah pesan. Ponselku, ku matikan, dan aku meletakkannya di kamarku. Aku tidak ingin ada yang menggangu.Jika wanita itu mencariku dan berakting seakan-akan sedang khawatir di hadapan Papa, kan ku biarkan. Peluangku untuk berbicara pun tidak ada. Sungguh! mulutmu menggangguku.
Tidak terasa, hari ini adalah hari wafatnya, Mama. Aku merindukannya, tapi tidak bisa bertemu dengannya. Yang ku lihat hanyalah hamparan laut luas di depan sana. Angin dingin seakan-akan menusuk-nusuk kulitku. Tempat ini, dan ayunan ini, adalah tempat terakhir kali aku bersamanya.
Bersamanya, suara tawanya, senyumannya, kehangatannya, keharumannya, kasih sayangnya, pelukannya, aku merindukannya.
Pohon ini menjadi saksi bisu kita sering tertawa. Aku mendorongmu dari belakang untuk bermain ayunan dan bergantian. Sungguh menyenangkan, tapi hanya bisa dikenang.
Sungguh menyenangkan kisah kita jika diingat. Kau meninggalkanku, tapi aku tidak marah. Karena itu takdir. Hanya saja, kesedihan, kesepian, tanpa warna, ataupun teman untuk ku ajak bercanda tidak ada.
Aku merindukanmu, sungguh merindukanmu, sangat merindukanmu. Lubuk hatiku terluka seakan-akan teriris saat melihatmu terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit dengan kening penuh darah, hingga menetes ke lantai.
Senyumanmu tidak pudar, walaupun rasa sakit yang kau rasakan sangat luar biasa. Aku menghampirimu, dan menggenggam tanganmu dengan air mataku yang turun sangat deras hingga membasahi tanganmu. Kau mengelus rambutku dengan tangan yang bergetar dan tenaga yang masih tersisa.
Cairan merah itu tiba-tiba keluar lagi melalui mulutmu. Kau menahannya dan terus menatapku dengan senyumanmu. Aku mencium tanganmu dengan menangis sesenggukan. Aku tidak ingin kau meninggalkanku, tapi apa boleh buat? Takdir berkata lain.
Kau menarik kepala ku untuk kau cium keningku, walaupun cairan merah itu semakin deras membasahi bibirmu. Aku memejamkan mataku saat bibirmu menyentuh keningku. Aku tidak merisaukan sedikit darah yang ada di keningku, tapi dirimu, Mama.
Tersenyum tipis hingga hilang kesadaran dan para suster rumah sakit dengan segala peralatannya memeriksa mu, lalu menyuruhku keluar. Aku ketakutan, tanganku bergetar, debaran jantungku tidak stabil, dan kekhawatiran menyeruak ke seluruh tubuh dan pikiranku.
Dokter keluar dan menjelaskan sesuatu pada Papa yang tidak ku ketahui. Papa memelukku dengan erat menyembunyikan air matanya dari sana. Aku tidak tau papa menangis di sana, tapi bahuku basah karena air matanya. Merasakan pernafasan papa yang sesak membuatku yakin kalau papa sedang menangis.
Aku mengeratkan pelukan dan mengelus punggungnya, dan aku pun ikut menangis sesenggukan. Aku merasakannya, papa mengelus punggungku agar tetap tenang, tapi tidak bisa. Melihat orang tua sendiri menangis adalah hal yang menyakitkan.
Papa mengajakku kedalam lagi, melihat Mama. Mamaku sudah tiada, hanya raganya saja yang terdapat di sana. Aku berlari kecil menghampirinya, dan mengelus wajahnya. Wajahnya yang selalu tersenyum, penuh dengan kebahagiaan, dan bibirnya yang selalu mengajakku bergurau sudah tertutup dengan rapat.
Ragamu belum tertutup tanah, masih di depanku, tapi aku sudah merindukanmu. Menangis sesenggukan dengan menggenggam tangan dingin mu. Tangan yang selalu memasakkan makanan yang enak, selalu mengelus ku, menenangkan ku, dan menarik hidungku saat aku nakal. Sekarang tergeletak lemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALANDRA with ES [END]
Teen Fiction"𝐋𝐮𝐜𝐮 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐧𝐠, 𝐦𝐚𝐬𝐚 𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐝𝐢𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐝𝐢𝐩𝐢𝐤𝐢𝐫𝐤𝐚𝐧. 𝐒𝐞𝐦𝐞𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐨𝐥𝐚𝐡-𝐨𝐥𝐚𝐡 𝐭𝐞𝐫𝐭𝐞𝐥𝐚𝐧" ••••••• Sejak kecil ditinggal oleh sang mama...