"Seandainya takdir menyatukan kita, apa kita juga akan saling terus menyayangi seperti sebelumnya?"
•
•"Kapan ini?" tanya gadis, yang duduk di sofa.
"Sebentar lagi. Jangan gegabah, kita nikmati dulu prosesnya, senjatanya juga belum datang," jawab wanita tersebut.
"Emangnya mau kapan sih?" tanya Gadis sebelahnya, yang tadinya bersandar di dinding.
"Gua bilang sebentar lagi, BISA DENGER, KAN? TELINGA TUH DIPAKEK, JANGAN BUAT PAJANGAN DOANG!" bentak wanita itu.
"Dia women keras, jangan bikin kesal," pinta gadis yang duduk di sofa.
••••
Zea bangun terlebih dahulu dan keluar dari vila menuju taman. Ia memeluk tubuhnya dan juga merapatkan jaket yang ia kenakan. Pagi-pagi di pegunungan memanglah sangat dingin. Tetes air dari ujung daun serta embun pagi hari. Kabut tebal menutupi gunung serta pepohonan yang tinggi-tinggi. Zea duduk di sebuah bangku dan menatap langit yang mulai cerah.
Malam nanti akan kembali pulang dan meninggalkan tempat ini sebagai kenangan yang telah mereka buat. Pagi ini, mereka semua mungkin masih tertidur dengan selimut yang terus menutupi tubuh agar tidak kedinginan. Sinar matahari menerobos masuk dari sana dan menyingkirkan kabut tersebut sedikit-demi sedikit.
Seorang gadis berjalan ke arah Zea dengan senyumannya yang manis dan duduk di sebelahnya. Gadis tersebut mengayunkan kakinya yang tidak sampai tanah, dan Zea melirik sekilas gadis tersebut.
"Haii," sapa gadis tersebut.
Zea tersenyum. Ternyata dia gadis yang cukup ramah. "Haii, juga."
"Kakak orang sini?"
Zea menggeleng. "Bukan, cuman mau liburan ke pegunungan sama temen-temen."
"Ooh.."
"Kamu?" tanya Zea.
"Sama, aku cuman orang kampung yang liburan ke sini sama bapak," jawab gadis tersebut.
Zea mengerutkan keningnya. Gadis di sampingnya ini seperti merendahkan dirinya sendiri. Zea mencoba menggubrisnya. "Ohh, mana bapak kamu?"
"Masih di toilet."
Zea mengangguk paham.
"Nama kakak siapa? Kok kita kayak seumuran?"
"Ha? Seumuran?" Zea bingung, kalau dilihat-lihat gadis tersebut seperti masih SMP.
"Iya, kakak kelas berapa?"
"Dua belas," jawab Zea.
"Aku sebelas, oh, iya, namanya belum dijawab."
Ze membulatkan matanya. Gadis mungil dengan cara bicaranya yang polos ternyata beda setahun dengannya.
"Zea, kamu?"
"Aza Shakila, panggil aja Aza," jawab Aza.
Zea tersenyum. Namanya sangat indah, dan orangnya juga baik. Walaupun beberapa ucapannya tadi ada yang membuat Zea merasa aneh. Cara ia merendahkan dirinya sendiri, bersikap seolah-olah dekat dengan orang lain, dan wajahnya terlihat polos.
"Namanya bagus," ucap Garrel yang tiba-tiba ada di samping Aza.
Aza hampir terlonjak kaget. Ia langsung berdiri dan menundukkan kepalanya sebentar. "Maaf, kak Zea. Temen kakak udah datang, aku takutnya mengganggu. Aku pamit dulu, ya? Sampai jumpa lagi..."
Aza langsung berjalan cepat dengan meremas tangannya sendiri dan pandangan ke bawa. Seorang pria berjenggot lansia akan menghampiri Aza. Aza tersandung dengan kakinya sendiri, dan hampir terjatuh. Pria berjenggot tersebut menarik tangan Aza untuk tidak jatuh, dan Aza menoleh untuk menatap pria berjenggot lansia tersebut, sebuah senyuman manis muncul kembali. Gadis tersebut langsung menegakkan tubuhnya dan memeluk bahu pria berjenggot tersebut yang ternyata bapaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALANDRA with ES [END]
Ficção Adolescente"𝐋𝐮𝐜𝐮 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐧𝐠, 𝐦𝐚𝐬𝐚 𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐝𝐢𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐝𝐢𝐩𝐢𝐤𝐢𝐫𝐤𝐚𝐧. 𝐒𝐞𝐦𝐞𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐨𝐥𝐚𝐡-𝐨𝐥𝐚𝐡 𝐭𝐞𝐫𝐭𝐞𝐥𝐚𝐧" ••••••• Sejak kecil ditinggal oleh sang mama...