Chapter 21

103 7 0
                                    

"Lo suka sendiri, tapi lo punya gua"

Arzan melihat Sean tertidur di perpustakaan. Ia menyunggingkan senyum dan memiliki ide untuk mengusili Sean. Mengeluarkan pulpen dari saku seragamnya dan menyingkirkan buku yang menutupi wajah Sean. Arzan menggambar wajah Sean seperti kucing. Tidak lupa, Arzan juga menguncir rambut Sean agar terlihat lucu.

Arzan merapatkan bibirnya menahan ketawa melihat hasilnya. Sangat bagus. Lalu mencoba membangunkan Sean.

"Ekhm..." Sean masih tidur tanpa terusik. "Bangun! Udah bell dari tadi, ketos kok tidur di perpus."

Sean mengucek matanya. Ia melihat sekitarnya yang sepi, hanya ada Arzan. Sean bangun menggubris Arzan dan meletakkan buku yang tadi ia bawa ke tempatnya. Pengurus perpustakaan tadinya ingin marah karena ada murid yang baru menampakkan diri setelah bell dan tidak mengikuti pembelajaran tanpa izin dari guru, tapi tidak jadi. Melihat wajah Sean dan rambut Sean yang dikuncir membuatnya menahan tawa karena takut disembur berbagai ocehan oleh Sean.

"Maaf, Bu, saya tertidur di perpustakaan," kata Sean menghampiri pengurus perpustakaan dan meninggalkannya setelah selesai.

"Dia abis kamu apain, Ar?" Tanya pengurus perpustakaan kepada Arzan yang memegang perutnya yang sakit karena tertawa.

"Bisa dilihat sendiri kan, Bu? Bagus banget karya saya," jawab Arzan mengontrol dirinya.

Pengurus perpustakaan geleng-geleng kepala. "Lain kali jangan di ulangi, tapi yang tadi itu lucu..."

"Baik, Bu, saya kembali dulu ke kelas," pamit Arzan keluar dari perpustakaan.

Sheila baru saja keluar kelas setelah izin untuk ke toilet. Ia melihat seseorang dari kejauhan, tapi tidak ia pedulikan. Ia menyipitkan matanya saat tidak yakin, apakah itu Sean? Benar Sean?
Sheila menghampirinya orang tersebut.

"BWAHAHAHA. Kocak! itu muka lo nggak ada mirip-miripnya sama kucing, ngapain lo miripin? Mana di kuncir lagi rambutnya." Sheila memegang perutnya karena tertawa lepas membuatnya sakit.

"Ha?" Sean mengeluarkan ponselnya untuk mengaca. "Sial!"

Sheila menghentikan tawanya. "Apa? Lo ngomong apa barusan?" Ia mendekatkan dirinya pada Sean, "sekali lagi lo ngomong kayak gitu, gua tampol lo!" Ancam Sheila.

"Elo sapa gua?"

"Bukan siapa-siapa, tap-"

"Mau jadi cewek gua?"

"HA?" Sheila membulatkan matanya tidak percaya. "Lo tembak gua?" Sean mengangguk.

"Duh! Maaf, gua harus ke toilet." Sheila buru-buru berlari meninggalkan Sean untuk menghindarinya. Bukankah itu keinginannya? Kenapa ia harus menghindar?

Sheila memasuki toilet dan duduk di kloset. Kakinya mencak-mencak dengan wajahnya yang ia tutupi. "Gua mimpi deh kayaknya."

"Gua cemburuan, dia juga cemburuan, berarti sama-sama punya rasa, tapi apa harus jadian?"

"Gua bingung.... Zea, iya Zea." Sheila mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Zea.

"Apaan? Jangan telfon gua waktu pembelajaran, nanti kalau ketahuan bisa berabe, "awab Zea dari sana dengan suara seakan-akan berbisik.

"Gua ditembak Sean."

"Ha? Prasaan lo tadi izin ke toilet, bukan izin jadi ceweknya Sean."

"Gua serius, Ze, gua harus gimana?"

"Kalau lo suka, ya udah terima aja, dia juga baik menurut gua, btw sekarang lo dimana?"

KALANDRA with ES [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang