Chapter 23

94 8 0
                                    

"Hidup memang banyak cobaan, tapi ini kebanyakan"

Zea melamun di bus setelah menyelesaikan pekerjaannya. Keuangannya menipis karena banyak pengeluaran untuk bulan ini. Ia menyenderkan kepalanya ke jendela bus dengan rambutnya yang menutupi wajahnya. Hidup seperti ini melelahkan, tapi harus bersyukur karena setidaknya bisa mencukupi kebutuhannya.

"Maafin kakak, Ar," gumam Zea.

Bus yang Zea tumpangi tidak menuju halte dekat rumah Ezra, tapi suatu tempat yang menjadi masa lalu kelamnya. Bus berhenti di halte yang sudah lama tidak pernah dipakai dengan lampu yang meredup di depan gang jalan yang sempit. Zea berjalan perlahan-lahan melihat sekitarnya yang minim pencahayaan. Sebuah gedung yang dulunya tinggi, sekarang hanya tertinggal setengahnya. Zea menyalakan senter ponselnya untuk bisa melihat lebih jelas.

Puing-puing bekas kebakaran gedung masih tersisa, dan tempat ini menjadi terbengkalai. Rumput-rumput panjang, tanaman-tanaman yang tidak terawat, padahal tempat ini sangat cantik karena banyak tanaman-tanaman hias di taman belakang gedung. Tapi sekarang, banyak tanaman layu dan ditimpa material-material gedung yang berjatuhan.

Zea berjalan lebih dalam memasuki gedung dengan dadanya yang sesak. Ia melihat tempat orangtuanya saat terakhir kali melihatnya. Tempat itu sudah di tumbuhi rumput dan lumut-lumut karena terkena air hujan. Zea berjalan kearah tumpukan reruntuhan gedung yang di mana di situlah tempat kerja ayahnya. Ia meneteskan air matanya, tempat ini meninggalkan banyak kenangan.

Ayahnya sering sibuk dengan pekerjaannya, tapi tidak pernah kendor untuk selalu mengajak putrinya bermain. Terkadang, Zea lebih memilih bersama ayahnya semalaman di tempat kerjanya daripada tidur di rumah tanpa ayahnya. Boneka-boneka yang bertumpuk-tumpuk di kamarnya sudah dibuang oleh bibinya, padahal itu pemberian ayahnya.

Bundanya tidak lagi menemaninya tidur, tidak ada lagi nyanyian, pelukan dan juga dongeng dari ayahnya. Zea meremas tas selempangnya, dadanya sangat sesak. Bulir-bulir air mata berjatuhan dengan deras membasahi pipinya. Ia menekuk kakinya dan berteriak sekeras-kerasnya untuk meluapkan seluruh emosi-emosinya yang terpendam.

Sakit sekali, Zea berjalan mendekat dan menyentuh reruntuhan tersebut, lalu menyentuhnya. Dingin.

"Yang jadi superheronya siapa?" Tanya Mira.

"AYAH!!" Jawab Zea tersenyum sumringah saat Angga mengenakan sarung di punggungnya.

"Udah pantes jadi superhero nggak?" Zea mengangguk.

"Ayah superheronya bunda sama Zea!" seru Zea.

Angga terkekeh dan mengangkat Zea duduk di pundaknya dengan berpegangan kepalanya. "Sudah siap?"

"SIAP!!"

Angga membawa Zea berjalan memutari meja kerjanya dengan tertawa lepas.

"Hati-hati," pinta Mira khawatir.

"Tenang aja, sayang, sama aku aman-aman saja, iyakan tuan putriku?"

"Iya dong," sahut Zea dengan senyumnya mengembang. "Bunda nggak mau ikut?"

Mira menggeleng. Angga mendekat dan menarik tangan Mira, lalu memeluknya. "Masa nggak mau?"

Mira tersenyum membalas pelukan Angga. "Akunya takut"

"Takut kenapa?"

"Takut Zea kenapa-kenapa"

"Nggak apa-apa." Angga mengangkat tubuh Mira mengendong ala bridal style dan berputar.

KALANDRA with ES [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang