1. Pertemuan Pertama

60.9K 1.7K 61
                                    

"Pa, kenalin ini pacarku, Rayya."

Di hadapanku, berdiri pria yang usianya kutaksir ada di awal 40-an. Aku sudah sering melihat fotonya di handphone atau di Instagram Marthin, tapi baru kali ini aku bertemu langsung dengannya.

Om Harris mengulurkan tangannya. "Harris."

"Rayya, Om."

Dia menjabat tanganku erat. Jenis jabat tangan yang hanya bisa diberikan oleh seseorang yang sangat percaya diri.

"Kalian belum makan malam, kan?"

Marthin membawaku memasuki rumah itu, mengikuti Om Harris yang sudah membalikkan tubuhnya menuju dapur.

"Kalau sudah makan, aku enggak bakal bawa Rayya ke sini. Rayya mau nyobain masakan Papa," canda Marthin.

Aku menyenggol rusuk Marthin sementara dia hanya terkekeh. Sejak pacaran dengannya, Marthin sering bercerita soal ayahnya. Om Harris seorang pilot yang sering bepergian, tapi setiap kali dia di rumah, Om Harris selalu meminta anak-anaknya untuk makan malam di rumah. Kata Marthin, beliau jago masak. Aku pernah menyicipi masakannya, itu pun tidak sengaja. Harusnya makanan itu untuk Marthin, tapi dia lembur sehingga aku memakannya. Dari pada terbuang karena harus menunggu Marthin pulang.

Mataku menyisiri seisi rumah. Kata Marthin, ayahnya tinggal sendiri setelah ibunya meninggal sepuluh tahun lalu. Sampai sekarang, ayahnya masih sendiri. marthin pernah bilang, ayahnya sangat patah hati sehingga tidak yakin bisa jatuh cinta lagi. Meski Marthin dan Olivia, adiknya, sering mendesak ayahnya untuk menikah lagi, Om Harris masih bergeming.

Aku berdiri di depan foto yang menampakkan Om Harris dan istrinya, serta Marthin dan Olivia saat masih kecil. Dari pengamatan sekilas yang kulakukan, hanya itu satu-satunya jejak istrinya yang tertinggal di rumah ini.

Tante Anne, aku mengetahui namanya dari cerita Marthin. Beliau meninggal waktu Marthin baru lulus SD. Sekarang aku tahu kalau Marthin sangat mirip ibunya. Dia memiliki tubuh tinggi dan kekar seperti ayahnya, tapi wajahnya persis ibunya. Sementara Olivia malah sebaliknya. Dia bertubuh petite seperti ibunya, tapi wajahnya merupakan versi lembut ayahnya.

"Ray." Panggilan Marthin menyentakku. Buru-buru aku mengembalikan bingkai foto itu ke tempatnya dan menyusul Marthin yang sudah duduk manis di meja makan.

"Kamu enggak alergi udang, kan?" tanya Om Harris, sambil meletakkan udang dengan saus merah yang menggugah selera di atas meja.

"Enggak, Om." Aku menarik kursi di sebelah Marthin. "Kayaknya enak."

"Told ya, Babe. My dad is the greatest chef ever."

Om Harris tertawa mendengar guyonan Marthin. Ada kerut di sudut matanya ketika dia tertawa. Dia boleh saja sudah berusia hampir paruh baya, tapi pesona Om Harris sama sekali belum luntur.

Aku harus menahan diri untuk tidak mengamatinya lekat-lekat. Namun, aku menyerah.

Om Harris lebih tinggi dari Marthin. Sebagai pilot, dia punya tubuh kekar yang fit. Malam ini dia mengenakan kemeja biru muda yang melekat pas di tubuhnya. Saat tangannya bergerak menata meja, aku menelan ludah saat melihat kancing-kancing bajunya yang seolah memberontak ingin lepas. Dalam pakaian tertutup seperti itu saja, aku bisa membayangkan otot kekar di baliknya.

Aku menggeleng, mengusir pemikiran barusan. Bisa-bisanya aku berpikir terlalu jauh tentang ayah Marthin.

Sebagai gantinya, aku mengamati Marthin. Namun, pacarku itu malah sibuk dengan handphone. Lagi, perasaan diabaikan muncul di hatiku. bagi Marthin, pekerjaannya adalah kekasih nomor satu. Bukan sekali dua kali dia mengabaikanku demi pekerjaan.

Malam ini, aku yakin pikirannya ada di kantor.

Padahal dia yang mengajakku bertemu ayahnya, karena sudah lama dia tidak pulang. Namun, setelah ayahnya capek-capek masak, Marthin malah sibuk dengan handphone.

"Marthin," panggil Om Harris.

Marthin mengangkat wajah sekilas. "Sebentar, ada kerjaan mendadak. Makan duluan aja, Pa, Ray."

Aku hanya bisa melongo menatap kepergian Marthin. Dia menuju teras belakang yang dibatasi pintu kaca geser. Entah apa yang menyita perhatiannya, aku selalu tidak habis pikir dengan pekerjaan Marthin.

Dia seorang programmer. Marthin pernah bilang saat ini mereka sedang ada proyek besar, mengingat sebentar lagi perusahaannya akan go public. Marthin seorang hard worker, tapi aku merasa dia sudah kelewatan. Dia bisa tidak pulang berhari-hari. Fisiknya ada, tapi pikirannya selalu di tempat lain. Setiap kali aku protes, Marthin langsung defensif sehingga aku tidak lagi menegurnya.

Aku ingin Marthin bisa mengatur prioritas. Pekerjaan bukan segalanya. Aku menyaksikan langsung akibat dari mendewakan pekerjaan. Ayahku sama seperti Marthin, hingga tubuhnya menyerah dan aneurisma yang datang tiba-tiba membuat ayah pergi untuk selamanya. Aku tidak ingin hal buruk terjadi pada Marthin, tapi dia tidak pernah menggubrisku.

"Rayya..." Panggilan Om Harris membuyarkan lamunanku. Aku mengalihkan perhatian kepadanya. Dari cara Om Harris menatapku, aku tahu dia menangkap kegundahanku. "Kamu baik-baik aja?"

Aku mengangguk, meski rasanya berat.

Om Harris menoleh ke arah teras sebelum kembali menatapku. "Marthin selalu begitu?"

Dengan berat hati, aku mengangguk. "Kalau sudah kerja, Marthin enggak peduli hal lain."

Om Harris menghela napas berat. "Kamu makan dulu, keburu dingin."

Aku mengikuti ajakan Om Harris. Rasanya canggung, hanya aku berdua dengan Om Harris di meja makan ini, sedangkan Marthin yang mengajakku ke sini malah MIA.

"Makasih makan malamnya, Om."

Om Harris tersenyum. Mungkin aku akan menikmati makan malam ini, kalau saja Marthin tidak bertingkah.

Bunyi pintu yang dibuka membuyarkan keheningan di meja makan. Marthin mendekat dengan terburu-buru.

"Aku pergi dulu, ya. Ada bug, jadi harus dicek."

Sendok di tanganku terhempas begitu saja.

"Marthin, makan dulu." Suara Om Harris terdengar tegas.

"Enggak sempat, Pa. Aku buru-buru." Marthin membungkuk untuk menciumku, tapi aku memalingkan wajah sehingga bibirnya mendarat di pipiku.

Om Harris menangkap interaksi dingin itu. Dia menatapku dengan perasaan bersalah.

"Nanti aku jemput, ya."

Aku mendengkus. Janji bisa terlontar dengan enteng dari bibir Marthin, tapi tak satu pun ada yang ditepatinya.

Baik aku maupun Om Harris, sama-sama terdiam. Samar, aku mendengar deru mesin mobil Marthin dari arah luar.

"Maafin dia, ya."

Aku tertawa kecil. "Aku enggak tahu masih ada stok maaf buat Marthin atau enggak, Om."

Sejujurnya, aku enggak bermaksud untuk mengadu. Namun dadaku terasa sesak. Semuanya terasa mengimpit dan aku butuh mengeluarkannya.

"Dia mengecewakanmu," ujar Om Harris.

Aku mendesah. "Kalau sudah urusa pekerjaan, Marthin selalu begitu. Aku hanya khawatir dia kenapa-kenapa. Asal Om tahu, makannya enggak teratur. Tidur kalau ingat. Badannya bisa protes kalau disiksa begitu."

Om Harris mengusap rahangnya yang malam ini ditumbuhi cambang hasil belum bercukur. Raut lelah di wajahnya terlihat jelas.

"Seharusnya Om mendidik dia lebih baik lagi."

"Bukan salah, Om. Marthin aja yang enggak tahu prioritas." Aku enggak mau keluh kesahku malah membuat Om Harris menyalahkan dirinya sendiri.

"Kalau kamu sudah selesai, Om anterin kamu pulang. Om enggak yakin Marthin bisa jemput kamu."

Aku tertawa kecil. "Aku bisa pulang sendiri. Sudah biasa."

Om Harris menatapku tegas. "Kamu tanggung jawab Om, karena anak satu itu harus belajar lebih keras lagi soal tanggung jawab."

Nada tegas di balik perkataan Om Harris membuatku tidak bisa berkutik. Perlahan, aku mengangguk. Lebih baik begini, dari pada luntang lantung menunggu Marthin yang enggak jelas juntrungannya.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang