Rayya
Hatiku terasa kebas ketika membereskan barang-barangku yang ada di kamar Harris. Setiap detik yang berlalu tak ubah seperti pisau yang kian menggores luka di hatiku. Mati-matian, aku menahan tangis tapi air mata tetap mencuri keluar dan membasahi pipiku. Aku menggigit bibir, menahan isak yang memaksa keluar.
Harris tidak memintaku pergi, tapi aku tahu bahwa tempatku bukanlah di sini. Melihat Harris yang tampak putus asa membuatku ditiban merasa bersalah.
Berkali-kali dia memberitahuku soal hubungannya dan Marthin. Sekarang aku hadir di antara mereka, membuat hubungan yang sudah retak itu jadi kian merenggang. Aku tak lebih dari sekadar pendosa yang merusak hubungan ayah dan anak.
Aku mengusap air mata saat memasukkan pakaian ke dalam tas. Ada banyak barang milikku tersimpan di sini, tidak semuanya bisa kubawa pulang. Mungkin nanti, saat keadaan sudah tenang, aku bisa kembali untuk mengambilnya.
Sejak awal, hubunganku dengan Harris sudah punya risiko besar. Aku sadar dengan semua ancaman risiko. Tetap saja aku tidak bisa menahan cinta yang tumbuh tanpa bisa dicegah.
Mencintai Harris mungkin sebuah kesalahan. Aku sadar melakukan kesalahan tersebut.
If loving him is wrong, I don't want to be right.
Air mataku semakin bercucuran saat menyapu sekeliling kamar. Ada banyak kenangan terjadi di sini. Kenangan yang akan selalu menghantui di sisa hidupku.
Harris masih bergeming di tempatnya ketika aku sampai di lantai dasar. Dia masih terduduk di lantai, dengan wajah disembunyikan di antara lutut. Dari desah napanya, aku tahu dia tengah mengalami dilema.
Berkali-kali Harris meyakinkanku bahwa dia tidak akan membiarkan dirinya harus memilih. Nyatanya, keadaan tidak berpihak kepadanya. Dia harus memilih.
Sisi egoisku ingin agar Harris memilihku. Namun akal sehat memaksaku untuk mengalah. Mungkin benar bahwa cinta tak selamanya harus memiliki. Mungkin itu yang terjadi pada cintaku dengan Harris.
Aku meletakkan tas di dekat pintu sebelum menghampiri Harris. Perlahan, aku duduk di dekatnya, sengaja menyisakan jarak dengannya.
"Aku mencintaimu, Mas," bisikku lirih, tidak peduli bahwa Harris mendengarkanku atau tidak. Aku hanya butuh melampiaskan isi hatiku.
Lama aku menelitinya. Harris masih bergeming, tak beranjak sedikit pun. Aku menyerap sosoknya ke dalam ingatanku, menyimpannya di sana, untuk nanti dikenang saat aku dilanda kesepian dan merindukannya. Aku menghidu aroma tubuhnya, menyimpannya erat-erat, agar nanti bisa mengulangnya saat aku merindukannya.
"Aku mencintaimu, tapi tempatku bukan di sini." Dengan berat hati, aku mengangkat tubuh.
Air mata kembali bercucuran ketika langkah kaki membawaku menjauhi Harris. Saat membuka pintu, ribuan kenangan menamparku.
Aku ingat ketika Harris membawaku melewati pintu ini. Saat dia menciumku, memelukku, bercinta denganku. Rasanya baru kemarin pertama kalinya Harris bercinta denganku di tempat tidurnya. Waktu berjalan begitu cepat saat dihabiskan dengan orang yang tepat.
Saat menutup pintu di belakangku, aku berharap satu hal. Semoga waktu bisa menyembuhkan luka hatiku.
Meski aku tak yakin bisa melupakan Harris.
Pintu di belakangku tiba-tiba terbuka. Tanpa bisa dicegah, ada sedikit harapan muncul di hatiku saat melihat Harris berdiri di sana.
"Rayya, kamu mau ke mana?" Tanyanya. Wajahnya tampak kusut, membuatku ingin melarikan jariku di sana untuk mengurai semua beban yang ditanggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomanceHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...