Rayya
Akhirnya aku menerima tawaran wawancara pekerjaan di Bandung. Apa pun akan kulakukan, setidaknya selama aku kembali mendapatkan pemasukan. Itu tentu lebih baik dibanding menganggur.
Berbekal restu Mama, aku berangkat ke Bandung. Agensi ini tidak sebesar Creative Maker. Pasar utama mereka ada di Bandung dan sekitarnya. Brand yang mereka wakili lebih banyak berupa brand lokal yang menyasar pasar Jawa Barat dan sekitarnya.
Aku tidak berharap banyak, karena tidak ingin dikecewakan oleh harapanku sendiri.
Tak ada kendala berarti selama proses wawancara. Aku diwawancara langsung oleh pemilik yang juga berperan sebagai direktur di agensi ini. Tidak banyak tim yang terlibat, sehingga tanggung jawabku jauh lebih banyak dibanding yang kujalani selama di Creative Maker.
"As you can see, satu orang di sini bisa menjalankan beberapa fungsi sekaligus. Kalau nanti kamu terpilih, kamu tidak hanya mengirus performance marketing. Melainkan marketing secara keseluruhan, termasuk social media dan brand activation yang bekerja sama dengan anak event," jelas Bayu, direktur yang nantinya akan menjadi salah satu atasanku.
Aku mengangguk tanda mengerti. Bekerja di Creative Maker, dengan tim yang banyak sehingga masing-masing bisa fokus di satu bidang saja adalah sebuah kemewahan. Namun lihat apa yang terjadi? Situasi yang dirasa ideal nyatanya malah menggerogoti perusahaan.
"Ada pertanyaan lain?" Tanya Bayu.
"Untuk pekerjaannya sendiri apakah harus wfo atau bisa remote?"
"Kami memang memberlakukan hybrid. Tapi di awal-awal dan kalau sedang ada big project dibarapkan untuk ngantor," sahut Bayu.
"I see. So far sudah cukup paham."
Sejauh ini, aku merasa pekerjaan ini cukup menjanjikan.
"Nanti kami akan review dulu hasil interview ini. Tapi mau make sure dulu, sebelum offering. Jujur kami enggak bisa memberikan sebanyak yang kamu minta. Kalau kamu tidak keberatan, kamu bisa turun sampai di angka berapa?" Tanya Bayu.
Aku tidak meminta banyak. Bahkan aku tidak mengharap adanya kenaikan gaji.
"Sepuluh persen di bawah gaji saya di Creative Maker saja kalau bisa," jawabku.
Bayu kembali berbasa basi sementara aku berkali-kali meyakinkan diri sendiri untuk tidak berharap terlalu banyak.
Tidak ada tempat untuk kekecewaan lainnya.
Setelah wawancara selesai, aku putuskan untuk jalan-jalan sebentar sembari menunggu jadwal travel yang akan membawaku kembali ke Jakarta. Selama ini, Bandung hanya menjadi tempat melepas lelah dan bersantai. Aku tidak pernah menduga akan menjadikan kota ini sebagai persinggahan berikutnya.
Aku pernah berandai-andai untuk pulang ke Solo begitu tabunganku cukup dan bisa membuka toko kue di sana. Ini juga mimpi Mama, kembali ke kampung halaman dan menghabiskan masa tua di sana. Baik aku atau Mama, tak ada yang ingin selamanya tinggal di Jakarta yang sumpek dan padat.
Saat langkahku menyusuri jalanan Bandung, aku memperhatikan sekeliling. Bandung bukan Solo. Namun Bandung memberikan ketenangan lain yang tidak bisa kudapatkan selama di Jakarta.
Mungkin aku dan Mama bisa pindah ke kota ini.
Meninggalkan Jakarta dan semua yang terjadi di sana tentunya menjadi sebuah keberuntungan bagiku. Saat ini, satu-satunya yang mengikatku dengan Jakarta hanya Harris. Namun tak lagi, karena tidak ada masa depan di dalam hubunganku dan Harris.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
Storie d'amoreHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...