Harris
Setelah dirawat dua hari, akhirnya Marthin diizinkan pulang. Selama dua hari ini pula aku menyaksikan langsung perubahan sikap Marthin. Hilang sudah Marthin yang cuek dan menganggapku angin lalu. Meski interaksiku dengannya masih minim, bagiku ini sebuah kemajuan berarti.
Aku baru pulang dari penerbangan singkat ke Bali dan mendapati Marthin sendirian di ruang tengah. Layar televisi di hadapannya dalam keadaan gelap. Biasanya dia main game untuk membunuh waktu.
Entah apa yang ada di pikirannya saat ini.
"Sudah pulang, Pa?" Marthin memecah keheningan saat menyadari kehadiranku.
Aku menyandarkan koper di dekat kabinet sebelum beranjak menuju kulkas di dapur. "Livi mana?" Tanyaku sambil mengambil botol minum dari dalam kulkas.
Bibir botol itu hampir menyentuh bibirku, tapi urung ketika teringat Rayya. Dia selalu protes setiap kali aku langsung minum dari botol. Aku beranjak menuju rak berisi gelas dengan senyum terkembang di wajah. Mengingat Rayya selalu menerbitkan senyum sekaligus pedih di hatiku.
"Sudah tidur," jawab Marthin.
Aku membawa botol dan gelas ke dekat Marthin lalu menduduki sofa yang sama dengannya. "Kenapa kamu belum tidur?"
"Belum ngantuk. Bosan juga tidur terus."
Marthin menatap lurus ke depan meski layar televisi tidak menawarkan sesuatu yang bisa menyita perhatiannya. Aku melakukan hal yang sama. Sambil meneguk air putih, aku memutar otak untuk memylai pembahasan yang menggantung di depan mata.
"Kenapa Papa bisa pacaran sama Rayya?" tanya Marthin setelah terdiam cukup lama.
Aku memainkan gelas di tangan. "Papa enggak ada niat untuk mencintainya karena Papa tahu kamu pernah menjadi pacarnya."
"But, why?"
"It's hard to not fall in love with her." Aku menjawab pelan.
Marthin terdiam. Aku juga tidak berniat memberi penjelasan lebih lanjut atas pertanyaannya. Jawaban itu sudah cukup menggambarkan perasaanku yang sebenarnya.
"You're right. Papa juga benar sewaktu bilang aku menyia-nyiakan Rayya." Marthin kembali bersuara.
"Kamu mencintainya?" Aku harus menekan suaraku agar tidak terdengar emosional karena menahan cemburu.
Dalam hubungan normal, kehadiran mantan pacar bisa jadi duri. Namun situasiku berbeda. Aku cemburu tapi sadar, tak seharusnya aku cemburu pada anakku sendiri.
"I don't know. Awalnya aku pikir begitu tapi dua hari ini aku berpikir dan tersadar mungkin aku enggak benar-benar mencintai Rayya. Enggak kayak yang Papa rasain." Marthin menjawab.
"Dari mana kamu tahu soal perasaan Papa?"
Marthin tertawa kecil. "Pagi itu, waktu aku melihat Papa dan Rayya, aku sampai enggak mengenali Papa. You were... infatuated with her. Sebelumnya aku memang kesal karena tahu Papa punya pacar, aku juga kaget karena Papa begitu membelanya. Semua orang yang melihat Papa juga bisa menebak bahwa Papa benar-benar jatuh cinta. Aku aja yang dibutain emosi."
Perasaanku kepada Rayya begitu menggebu. Aku tidak bisa menahan perasaan itu setiap kali berada di dekat Rayya.
"Aku juga hampir enggak mengenali Rayya. Dia begitu... sulit buat mendeskripsikannya. Pagi itu aku marah karena Rayya enggak pernah menatapku seperti itu. Aku makin marah karena tahu yang menjadi objek perhatian Rayya adalah Papa." Nada suaranya terdengar dingin.
Ada banyak yang ingin disampaikan Marthin dan aku memutuskan untuk tutup mulut, menunggu Marthin menumpahkan semua yang dirasakannya.
"Rayya selalu bilang soal pria idamannya. Aku menganggap keinginannya enggak masuk akal." Marthin menoleh ke arahku. "She finally found it."
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomanceHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...