Rayya
"Ada yang berubah sama kamu." Mama menelitiku, membuatku jadi salah tingkah dan membuang muka.
"Enggak ada."
Mama menjawil hidungku. "Jangan bohong sama Mama."
Masalahnya, aku benar-benar enggak tahu apa yang berubah dariku. Hidupku berlangsung biasa saja. Hari-hariku sama seperti biasanya. Bekerja, pulang ke kos, di akhir pekan mengunjungi Mama. Selalu begitu, berulang terus menerus.
"Kamu kelihatan lebih bercahaya."
Aku refleks tertawa. "Karena aku ganti skincare kali."
Mama tidak ikut tertawa, hanya matanya yang semakin menelitiku. "Setelah putus dari Marthin, kamu kelihatan lebih santai. Tandanya kamu mengambil keputusan yang tepat. Dia masih menghubungimu?" Tanya Mama.
Aku mengangguk. "Sesekali, tapi enggak aku gubris. Lama-lama juga dia akan capek sendiri."
"Lalu, selain Marthin, siapa yang membuatmu jadi seperti ini?" Desak Mama.
Om Harris.
Namanya hadir begitu saja. Jika ada yang berubah di hidupku, itu karena Om Harris.
Pesannya masih ada di handphone-ku, mengajakku bertemu untuk memberikan oleh-oleh dari Korea.
Ini terasa asing. Ketika menerima pesan itu, aku merasakan perutku melilit. Seolah ada banyak kupu-kupu bersemayam di dalam perutku dan semuanya mengepakkan sayap di saat bersamaan. Perasaan itu memang baru, masih terasa asing, tapi membuatku nyaman.
Aku seperti remaja yang baru mengenal lawan jenis saat menerima pesan Om Harris. Mungkin perasaan itu tergambar jelas di wajahku, sehingga Mama menyadarinya.
Selama ini, aku selalu terbuka sama Mama. Nama untuk hal ini, seolah ada keengganan yang membuatku memilih untuk tutup mulut. Masih terlalu dini untuk bercerita kepada Mama.
Lagipula, akan sulit bagi Mama menerima kenyataan bahwa aku dekat dengan Om Harris.
Tidak, belum saatnya aku menyimpulkan seperti itu.
Untung Oma Risma datang dan mengalihkan perhatian Mama dariku.
"Oma cantik banget," ujarku. Oma Risma memakai gaun bunga-bunga yang aku yakin sudah dimilikinya sejak masih muda. Rambutnya yang setengah putih disanggul. Oma bahkan memakai makeup, lengkap dengan lipstik merah.
"Harus, dong. Biar total."
Aku tertawa. "Kan ini masih show biasa, Oma. Belum penjurian."
Oma Risma mendecakkan lidah. "Apa itu istilahnya, yang suka kamu bilang?"
"Manifesting?"
"Nah itu. Oma pernah jadi bintang panggung, Rayya. Sekarang saatnya Oma kembali ke atas panggung. Oma mau latihan dulu." Oma Risma meninggalkanku bersama Mama.
Aku menatap Mama. "Aku makeup-in ya, Ma. Masa kalah sama Oma Risma."
Mama terkekeh. "Enggak usah. Kamu tahu sendiri Oma Risma. Dia mana mau kalah. Yuk, ke aula."
Aku menggandeng lengan Mama menuju aula tempat acara berlangsung. Aula tersebut sudah ramai. Acara talent showbulanan yang juga menjadi ajang untuk semua penghuni panti berkumpul ini juga salah satu hal yang kunikmati.
"Kamu sendiri aja, Rayya?" Tanya Oma Gani, yang kamarnya di sebelah Mama. Meski enggak setotal Oma Risma, Oma Gani enggak mau kalah dengan kebayanya. Aku salut dengan kepercayaan diri Oma Gani, yang pantang ketinggalan acara ini meski suaranya sumbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomanceHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...