57. Terlambat

7.5K 836 17
                                    

Rayya

"Baik-baik di sana, ya." Oma Risma mendekapku erat. Beragam nasihat diberikannya kepadaku. Aku baru mengenalnya beberapa tahun belakangan, tapi rasanya seperti harus berpisah dengan nenekku sendiri.

Lepas dari Oma Risma, giliran Eyang Titi yang memelukku. Pelukannya tak kalah erat dibanding Oma Risma. Eyang Titi juga membekaliku dengan pesan agar aku baik-baik saja.

Hatiku terasa berat saat harus berpisah dengan penghuni panti. Tanpa sadar, hatiku telah tertambat di sini. Mereka keluarga yang kupilih untuk menjadi bagian dari hidupku. Aku tahu bahwa perpisahan akan selalu menyakitkan. Salah satunya perpisahan yang terjadi pagi ini.

"Nanti aku sering-sering main ke sini kok, Eyang," janjiku.

Setelah aku pindah, siapa yang akan menemani mereka di sini? Membantu berbelanja? Atau menjadi juri di acara adu bakat? Hatiku mencelus saat menyadari bahwa keadaan pantai tak akan lagi sama setelah kepergianku.

"Doakan Eyang selalu sehat jadi bisa ketemu kamu lagi," timpal Eyang Rizal.

Aku tercekik oleh air mataku sendiri. Saat menyusuri wajah demi wajah di hadapanku, aku menyadari betapa tua dan ringkihnya mereka. Aku tidak ingin ini menjadi perpisahan terakhirku dengan mereka.

"Kita berangkat sekarang?" Tanya Mama.

Aku memaksakan diri untuk mengangguk.

Setelah melewati banyak pertimbangan, akhirnya aku menerima pekerjaan di Bandung. Walau hatiku belum 100% tertuju ke pekerjaan itu, tapi untuk saat ini, itulah keputusan terbaik yang sebaiknya kuambil.

Tak ada banyak waktu yang kumiliki karena agensi itu menghendaki agar aku mulai bekerja sesegera mungkin. Sejak satu minggu lalu, aku mulai bekerja dan pindah ke Bandung. Aku berangkat lebih dulu, sekaligus mempersiapkan rumah kontrakan di Bandung. Rumah itu tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman untuk ditinggali berdua dengan Mama.

Mama bersikeras dengan keinginannya untuk ikut pindah ke Bandung. Jauh di lubuk hati, jika aku ingin jujur, aku menghendaki kehadiran Mama. Aku tak percaya pada diriku sendiri. Tjdak ada yang bisa menjamin aku cukup kuat menanggung semua beban seorang diri. Bahkan diriku pun yakin aku tidak sekuat itu.

"Pamit dulu ya, Oma, Opa, Eyang. Nanti aku bakal balik ke sini kok. Kan masih ada titipan barang di sini." Aku berusaha menahan tangis agar tidak tumpah.

Bu Airin mengizinkan untuk menitipkan sebagian barang Mama dan barangku yang tidak bisa dibawa ke Bandung di gudang panti. Kontrakan itu akan sangat sesak jika dipaksa menampung semua barang tersebut.

"Jaga ibumu, ya," pesan Oma Risma.

Aku mengangguk. "Oma juga jaga kesehatan ya."

Sekali lagi aku memeluk mereka satu per satu. Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak menangis. Setelah tak ada lagi yang bisa kulakukan, aku mengambil koper Mama dan beranjak keluar dari panti.

Aku melambai kencang, bahkan sampai mobil sewaan membawaku dan Mama keluar dari area panti, aku masih melambai. Aku terus menoleh ke belakang sampai panti dan semua kenangan di sana hilang dari pandanganku.

Aku menghela napas panjang saat merasakan Mama menggenggam tanganku. "Semua akan baik-baik saja."

Dalam hati, aky mengamini perkataan Mama. Bahwa semua akan baik-baik saja.

Harris

Berpisah dengan Rayya sangat menyiksa. Setiap hari adalah siksaan yang tak ada hentinya. Detik demi detik berlalu dan aku hanya bisa memupuk kerinduan untuknya.

Aku merindukan Rayya yang menatapku penuh ketulusan. Juga senyumnya yang seperti sinar matahari pagi, mencerahkan hidupku. Aku merindukan pelukannya yang menenangkan, kehangatan yang diberikan lewat sentuhannya, juga manis bibirnya saat dikecup. Kebersamaan bersama Rayya menyadarkanku bahwa hidupku tak lagi sama.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang