33. Keinginan Terdalam

16.4K 965 12
                                    

Rayya

Hidup memang penuh misteri. Kita tidak pernah tahu kapan akan kehilangan seseorang.

Hari ini, panti berduka karena salah seorang penghuni berpulang. Tidak ada yang menduga. Mama bilang, kemarin Eyang Murni masih ikut bergabung dengan teman-temannya di ruang makan. Sampai malam pun, beliau baik-baik saja. Lalu pagi ini, panti dikejutkan ketika pengurus mendapati Eyang Murni sudah berpulang semalam dalam tidurnya.

Sendiri. Tanpa ada yang mendampingi.

Aku tidak bisa membayangkan apa yang ada di pikiran Eyang Murni saat maut menjemput. Tidak ada yang melepasnya pergi.

Eyang Murni salah satu penghuni panti yang tidak pernah dikunjungi keluarga. Bahkan, saat aku sampai pagi tadi, Bu Airin mengaku kesulitan menghubungi keluarganya. Baru satu jam yang lalu, salah satu anaknya berhasil dihubungi dan menjemput ibunya.

Tak ada tangisan. Semuanya berjalan begitu dingin. Hanya penghuni panti yang menyusut air mata saat melepas ambulans yang membawa Eyang Murni.

Aku merangkul lengan Mama dan merebahkan kepala di pundak Mama. Ini yang aku takutkan, ketika waktu tidak berpihak kepadaku dan membawa Mama pergi begitu saja. Sama halnya ketika kematian menjemput Papa. Semua serba tiba-tiba.

Perasaan bersalah dan tak berdaya kembali mengisi hatiku. Aku tidak ingin Mama menghabiskan masa tuanya di panti ini, jauh dariku. Saatnya aku membalas semua pengorbanan Mama dalam membesarkanku.

Namun, tidak ada yang bisa kulakukan.

"Ma, sebentar lagi tabunganku cukup buat bayar DP rumah. Kita ambil rumah kecil aja, cukup buat kita berdua," ujarku, saat kembali ke kamar Mama.

Mama menyibukkan diri dengan pura-pura melipat pakaian. Selalu seperti ini, setiap kali aku mengungkit hal ini, Mama selalu menghindar.

Kali ini, aku tidak akan ikut menghindar.

"Aku enggak masalah kalau harus jauh pergi kerja. Selama ada commuter line, enggak masalah." Aku menghampiri Mama dan membantu melipat pakaian yang selesai dicuci. "Aku mulai cari rumah ya, Ma. Di Depok atau Bogor banyak perumahan baru yang harganya sesuai."

Mama berhenti melipat pakaian. "Kapan terakhir kali kamu pergi liburan?"

"Minggu lalu aku baru balik dari Singapura," jawabku, tidak mengerti dengan arah ucapan Mama.

"Kerja, kan? Bukan liburan?"

Aku mengangguk. Meski aku memperpanjang masa tinggal di Singapura karena Harris menyusul, kedatanganku ke negara itu karena tuntutan pekerjaan.

"Kapan kamu terakhir kali beli baju? Beli sepatu? Atau ke salon?"

Keningku berkerut. "Maksud Mama?"

"Rayya, sejak kamu mulai bekerja, kamu menabung semua uangmu sampai kamu lupa memperhatikan dirimu sendiri," sahut Mama.

"Enggak gitu, Ma. Aku..."

"Biaya panti ini cukup mahal. Mama sudah melarang kamu untuk membayarnya, di panti sosial yang murah saja Mama bisa terima tapi kamu bersikeras mau di sini. Lalu sisa gajimu ditabung. Berapa yang kamu pakai untuk dirimu sendiri?" Tanya Mama.

Aku sudah membuka mulut, tapi Mama mendahului.

"Kamu juga jarang main dengan teman-temanmu. Sejak dulu selalu begitu, kamu jadi enggak punya teman baik, kan?"

"Ngapain juga aku nongkrong enggak jelas? Buang-buang duit aja," balasku.

Mama menatapku lekat-lekat. "Sesekali enggak ada salahnya, Rayya. Kamu sudah bekerja keras, tapi kamu enggak menikmati hasilnya."

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang