12. Singapura dalam Kenangan

17.5K 1.3K 19
                                    

"Mau istirahat?"

Om Harris berdiri di hadapanku sementara aku bertumpu di lutut dengan napas terengah-engah. Mengapa aku sepayah ini? Hanya jalan kali melintasi bukit kecil yang sedikit menanjak saja sudah membuatku kewalahan, padahal aku tidak naik gunung.

Peluhku bercucuran. Singapura yang terik membuatku semakin mudah capek. Rasanya tidak nyaman, karena pakaianku terasa lengket akibat keringat.

Berbeda denganku, Om Harris tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan sedikit pun.

Aku menghela napas panjang dan menggeleng. "Lumayan untuk membakar kalori tadi."

Om Harris tertawa kecil. Dia kembali berjalan di sampingku. Padahal dia bisa saja meninggalkanku, atau menyuruhku pergi ke Fort Canning sendirian. Langkahku yang pelan hanya memakan waktunya.

Aku masih enggak menyangka akan menghabiskan hari minggu ini bersama Om Harris. Meski aku ingin, tapi aku mengerti kalau dia menolak ajakanku. Malah aku sempat berpikir Om Harris akan membatalkan janji.

Dia ayahnya Marthin. Bukan sekali dua kali Marthin membatalkan janji denganku. Jadi aku belajar untuk tidak berharap terlalu banyak.

Om Harris membuktikan bahwa dia sangat berbeda dibanding Marthin. Aku bahkan tidak bisa menemukan sedikit pun kesamaan di antara mereka.

Sejauh ini, Om Harris memenuhi semua kriteria pria yang kuimpikan. Aku sempat merasa kriteriaku terlalu berlebihan. Aku bahkan tak yakin ada seorang pria yang bisa memenuhi kriteria tersebut. Namun Om Harris mematahkan segalanya.

Perasaanku semakin tidak terkendali setiap bersama Om Harris. Selama ini aku mencoba menghadirkan perasaan yang sama saat bersama Marthin, tapi tak peduli seberapa kuat aku mencoba, perasaan itu tak kunjung datang.

Om Harris tidak perlu melakukan apa-apa. Perasaan itu datang dengan sendirinya.

Namun, aku segera menepisnya. Aku tidak ingin perasaan itu berkembang hingga di luar kendaliku.

Karena perasaan itu tidak seharusnya hadir.

Diam-diam, aku melirik Om Harris. Pagi ini, dia begitu casual. Begitu tampan. Rasanya ingin melarikan tanganku di wajahnya dan merasakan facial hair itu menggelitik tanganku.

Bagaimana rasanya mencium pria dewasa seperti Om Harris?

Aku membayangkan sosoknya yang diam tapi punya tatapan mematikan. Juga keinginan untuk memiliki kuasa. Bukankah itu alasannya menjadi pilot? Agar dia memegang kendali penuh.

Dia akan memegang kendali jika menciumku. Aku tidak akan menolak. Rasanya seperti dimanja, membiarkan seorang pria mendominasiku.

Dominan. Kuat. Dan gagah.

Aku segera menepis bayangan itu ketika otakku mulai lancang. Bisa-bisanya aku membayangkan tengah bercinta dengan Om Harris. Dia akan menguasaiku, mendominasiku, membuatku bertekuk lutut di hadapannya.

Aku menjerit dalam hati, mengusir pemikiran barusan. Masih siang, mengapa aku berpikir seliar itu?

Terlebih, ini Om Harris. Tidak seharusnya aku membayangkan sesuatu berbau seksual terhadap ayah mantan pacarku.

Terlepas dari statusnya sebagai ayah Marthin, Om Harris tidak akan melirikku.

Apa yang bisa aku bayangkan? Aku menunduk untuk menatap tubuhku.

Tubuh kurus. Dada rata. Bokong rata.

Tak ada yang bisa dibanggakan.

Aku segera mengusir perasaan itu jauh-jauh. Sebagai gantinya, aku menatap sekeliling.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang