22. First Kiss

21K 1.2K 19
                                    

Rayya

"Ditaruh di sana aja, Mas."

Harris meletakkan rug hasil tufting di lantai, menutupi area di antara tempat tidur dan meja. Rug yang didominasi warna pink dan ungu itu langsung menjadi vocal point di kamarku yang minim dekorasi.

Akhirnya rug itu selesai juga. Harris lebih banyak bekerja dibanding aku. Bahkan menjelang selesai, aku sama sekali tidak berfungsi. Aku hanya bisa bengong di pangkuan Harris, membiarkan Harris membimbing tanganku.

Aku mengaku kalah dan akhirnya menraktir Harris makan malam, sesuai janji. Setelahnya, Harris mengantarku pulang ke kos sambil membawakan rug tersebut. Aku tak henti tersenyum saat melihat rug yang terkembang di kamarku, rug yang menjadi bukti kedekatanku dan Harris.

"Cuma ada air putih." Aku menyodorkan segelas air putih kepadanya, lalu ikut duduk di atas rug, tepat di samping Harris.

"Jadi, kapan kencan ketiga?" Tanyaku.

Harris sontak tertawa. Hampir saja dia menyemburkan minumannya.

"Kamu masih belum kapok jalan denganku?"

Aku menggeleng. Andai dia tahu bahwa yang kurasakan justru sebaliknya, ingin menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengannya.

"Kamu mau apa?"

"Surprise me," sahutku.

Harris mengusap wajahku dengan punggung tangannya, mengirim kehangatan penuh ke sekujur tubuhku.

Saat menatapnya, dan pandanganku tertuju ke bibirnya yang tebal dan penuh, aku ingin Harris melupakan prinsipnya untuk menciumku setelah kencan ketiga.

I can't wait any longer.

I want him to kiss me. Right here. Right now.

Aku meneguk ludah, sengaja membuka bibir sebagai undangan agar Harris segera menciumku.

Namun dia malah mengalihkan perhatian ke dinding kamar. Tiba-tiba deretan frame foto di sana lebih menarik ketimbang aku.

"Kamu sudah lama tinggal di sini?" Tanyanya.

"Tiga tahun. Aku pindah ke sini sejak Mama tinggal di panti. Kami terpaksa menjual rumah." Selalu ada nada getir setiap kali membahas soal keadaan keluarga.

"Ayahmu?"

Aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Papa sudah meninggal, sepuluh tahun lalu. Sejak saat itu aku cuma berdua dengan Mama."

"I'm sorry."

"Don't be," potongku. "Aku sudah berdamai dengan keadaan keluargaku. Walaupun ditawarkan kehidupan lain, aku tetap memilih orang tuaku."

"Mereka pasti bangga padamu."

"Aku belum sempat membahagiakan mereka. Sayang, Papa pergi terlalu cepat." Lagi, aku tersenyum getir.

"Aku yakin mereka bahagia. Setidaknya itu yang aku lihat setiap kali ibumu menatapmu, " ujar Harris.

"I hope so."

Harris menahan kedua pundakku sehingga aku menghadap ke arahnya.

"Kamu adalah anugrah, Yaya. Setiap yang mengenalmu akan menjadi manusia beruntung." Harris berkata pelan.

"Do you?"

Harris tersenyum, dan seketika kekhawatiranku luruh.

"I do, Yaya. I do."

***

Hampir pukul sebelas malam ketika Harris beranjak dari tempatku. Tentu saja aku keberatan melepasnya.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang