Rayya
Selama dua bulan terakhir, hidupku berubah ke arah yang lebih baik. Aku masih tinggal di Bandung bersama Mama, tapi aku tidak pernah merasa jauh dari Harris. Dia membuatku terharu karena rela bolak balik ke Bandung untuk menemuiku di hari liburnya.
Harris selalu membuatku terpacu untuk menjadi versi terbaik diriku. Saat bersamanya, aku merasa dihargai. Hal itu ikut berpengaruh pada sikapku di kantor. Aku tidak lagi mendiamkan perlakuan tidak adil yang kuterima, meski seringkali menimbulkan suasana canggung. Bukankah Bayu menginginkan kejujuran? Aku speak up karena tidak rela terus-terusan menjadi pihak yang disalahkan dan membuatku bertanya-tanya akan kemampuanku dalam pekerjaan ini.
Begitu masa probation berakhir, aku menolak pengangkatan menjadi karyawan tetap yang diberikan Bayu. Sebagai atasan, dia baik. Dia punya visi dan misi yang jelas. Namun, itu saja tidak cukup. Aku tidak ingin berada di tempat yang membuatku tidak dihargai.
Jadi kuputuskan untuk berhenti bekerja. Aku belum punya cadangan pekerjaan, tapi anehnya, aku tidak khawatir. Tidak seperti biasanya, menjadi pengangguran nyatanya tidak membuatku panik.
Hal itu juga membuatku punya banyak waktu, termasuk untuk merayakan pesta ulang tahun Oma Risma. Beliau pernah berkata, dulu ulang tahunnya selalu dirayakan besar-besaran. Oma Risma ingin merasakan kembali masa kejayaannya, meski hanya selama beberapa jam. Demi Oma Risma, aku rela bolak balik Bandung dan Jakarta untuk menyiapkan pesta.
Mama ikut ke Jakarta. Tentu saja Mama tidak ingin ketinggalan keriaan ini. Sepertinya bukan aku saja yang merasa hidupku jauh lebih baik. Mama pun sama. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali Mama mengeluh kesakitan.
Panti dalam keadaan meriah untuk menyambut ulang tahun Oma Risma. Tahun ini, beliau mengangkat tema 70-an, masa ketika beliau masih aktif menjadi bintang panggung.
Aku terkesiap saat melihat ada lampu disko besar sedang digantung Harris di tengah aula. Entah dari mana dia mendapatkannya. Sama sepertiku, Harris juga total menyiapkan pesta ini.
"Oma Risma pasti bakalan senang banget. Kamu nemu di mana lampu itu?" tanyaku.
Harris merangkul pinggangku, membuatku mendekat ke tubuhnya. "Punya kantor. Aku sendiri baru tahu kalau mereka menyimpan banyak kebutuhan pesta."
Kembali kepada Harris adalah keputusan paling tepat yang pernah kuambil. Malah seharusnya aku tidak perlu bermanja dalam kubangan ragu, sehingga membuatku mengambil keputusan bodoh.
"How do I look?" Aku memutar tubuh di depan Harris.
"Sexy," sahutnya dengan cengiran lebar di wajah.
Untuk memeriahkan tema 70-an, aku sengaja memakai pakaian sesuai tren di era tersebut. Aku memilih maxi dress berpotongan lebar ala bohemian, juga memakai anting besar dan memasang scarf seperti bandana.
Harris meraih tanganku dan memutar tubuhku. Setelahnya, dia menarikku hingga berada dalam pelukannya. Sambil terus mendekapku, Harris menggerakkan tubuhku. Dia mengajakku berdansa meski tanpa musik mengiringi.
Suara riuh membuatku terpaksa mengambil jarak dari Harris. "Saatnya bertugas."
Harris meninggalkanku yang mulai sibuk menyiapkan pesta, sementara dia menjemput Oma Risma. Mataku terbelalak saat melihat betapa totalnya Oma Risma. Meski gaun yang dipakainya terlihat tua, tapi gaun itu tetap elegan. Gaun itu terlihat kebesaran di tubuhnya yang ringkih, tapi kepercayaan diri Oma Risma yang tak terbatas membuat ketidaksempurnaan itu justru menyempurnakannya. Aku yakin dulu gaun itu pernah menemani Oma Risma di masa jayanya.
Pesta ini hanya diikuti oleh penghuni panti. Ada beberapa volunteer yang juga datang karena tidak ingin melewatkan pesta. Aku bersyukur semakin banyak volunteer yang datang, karena kehadiran mereka membuat panti ini jadi lebih berwarna.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomanceHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...