15. Di Pelukanmu

17.3K 1.2K 12
                                    

Rayya

Aku langsung menghampiri Bu Airin yang menunggu di depan IGD. Beliau salah satu perawat di panti, dan aku sudah mengenalnya semenjak hari pertama Mama menempati panti tersebut.

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku tidak bisa tenang. Bahkan Harris pun akhirnya menyerah memintaku tenang. Beragam skenario buruk bermain di benakku.

Bagaimana kalau aku terlambat? Perutku melilit sebagai akibat dari besarnya perasaan bersalah di hatiku. Kejadian ini tentu tidak akan terjadi kalau aku menjaga Mama. Hanya beliau satu-satunya yang kumiliki, aku tidak mau kehilangan Mama.

"Mama di mana, Bu?" Tanyaku. Suaraku bergetar dan aku mati-matian menahan tangis. Mama tidak suka melihatku menangis.

"Ibumu jatuh di kamar mandi." Bu Airin membawaku masuk ke dalam UGD. "Malam ini ibumu harus dirawat inap, karena besok mau MRI. Itu saran dokter.

"MRI?"

"Ibumu punya riwayat darah tinggi, jadi sebaiknya cari tahu penyebabnya. Kata ibumu, dia terpeleset tapi menurut dokter, bisa saja karena penyakitnya. Kamu mau ngomong sama dokter?" Tanya Bu Airin.

Meski Bu Airin sudah memberi penjelasan, aku belum bisa tenang. Jadi aku mengikuti Bu Airin menuju dokter jaga.

Aku memperkenalkan diri. Dokter tersebut mengambil berkas kesehatan Mama.

"Menurut Bu Ratna, beliau terpeleset tapi sebaiknya dilakukan MRI untuk pengecekan menyeluruh. Tadi sudah dilakukan cek, semua motoriknya bagus, beliau juga sadar, tidak ada yang patut dikhawatirkan," jelas dokter.

"Lakukan saja MRI, Dok," putusku. Setidaknya hasil MRI bisa membuatku sedikit tenang.

"Saya sudah menjadwalkan untuk MRI besok pagi."

Aku berterima kasih kepada dokter tersebut sebelum menghampiri Bu Airin.

"Saya harus kembali ke panti, Rayya," seru Bu Airin.

"Makasih banyak ya, Bu."

Bu Airin mendekapku sebelum meninggalkanku di lobi rumah sakit.

"Rayya."

Aku tersentak ketika mendengar namaku dipanggil. Saat berbalik, aku mendapati Harris berada di lobi. Aku sempat berseru agar dia tidak usah menemani. Panik membuat perhatianku terfokus ke dokter sehingga tidak tahu Harris menyusul.

"Mas, makasih udah anterin. Aku menginap di sini malam ini."

Harris mengangguk. "Saya dengar penjelasan dokter."

"Aku mau ketemu Mama dulu. Mas mau pulang?"

"Saya tunggu di sini."

Aku menggeleng. "Aku akan menginap di sini."

Harris mendekap kedua pundakku. Dia sengaja menunduk untuk menatapku. "Saya tahu, jadi saya temani kamu di sini."

"Tapi, Mas..."

"Yaya, saya tidak bisa tenang kalau ninggalin kamu sendirian. Kamu temui ibumu, saya tunggu di sini." Harris berkata tegas.

Tidak ada waktu untuk meladeni perasaanku yang berbunga-bunga. Aku hanya bisa tersenyum sebelum beranjak ke tempat Mama dirawat.

Mama sedang tidur ketika aku sampai. Lama aku memperhatikannya. Di saat seperti ini, Mama terlihat begitu tua. Begitu ringkih. Aku sengaja menutup mulut dengan telapak tangan agar isakanku tidak mencuri keluar.

Aku tidak ingin mengganggu, jadi setelah membenarkan letak selimut Mama, aku perlahan keluar dari bilik tersebut.

Harris menunggu di ruang tunggu. Kursi itu jelas tidak nyaman untuk dipakai menginap, tapi tak ada pilihan lain.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang