Rayya
“Mas, kamu di mana?” Aku sengaja beranjak ke phone booth agar bisa mendengar lebih jelas, meski sebenarnya enggak perlu. Aku bisa mendengar ucapan Harris sejelas-jelasnya, tapi akal sehatku menolak.
“Di Arabica di Ashta. Cepat ke sini, jam kerjamu kan sudah selesai.” Di seberang sana Harris tergelak.
Di satu sisi, aku senang dengan kejutan ini. Hampir seminggu aku tidak bertemu dengannya. Namun di sisi lain, aku dilanda khawatir.
Mal tempat Harris menunggu berada di kompleks yang sama dengan gedung kantorku. Juga di area yang sama dengan gedung kantor Marthin. Area ini sama saja dengan zona berbahaya. Namun Harris malah memintaku bertemu di daerah terlarang tersebut.
“Sayang, kamu di sana?”
Aku mengangguk mesti Harris tidak melihatnya. “Aku harus selesaiin report dulu. Sedikit lagi, kok.”
“Okay, take your time. Aku tunggu di sini.”
Harris memutus telepon, tapi tidak bisa mengusir senyum di wajahku. Segera saja aku kembali ke meja dan fokus pada pekerjaan. Seperti ada yang mengejarku, karena aku bekerja seperti orang kesetanan. Kalau laptop ini bisa bicara, dia pasti sudah melaporkanku atas tindak kekerasan.
Hampir pukul tujuh ketika aku mengirim laporan tersebut. Tanpa membuang waktu, aku membereskan tas dan meninggalkan Mala yang masih berkutat dengan laporannya.
Langkahku terasa ringan sewaktu menuju tempat Harris menunggu. Meski begitu, mataku tetap menatap awas keadaan sekitar. Mungkin aku tidak akan bertemu Marthin, tapi ada teman-temannya. Siapa tahu teman-temannya mengenal Harris.
Namun, sewaktu mataku menangkap sosok Harris, semua kegelisahanku pudar. Berganti dengan perasaan bahagia yang membuncah.
Aku sangat merindukannya. Saat ini, satu-satunya yang ingin kulakukan adalah berlari ke arahnya dan menghambur ke dalam pelukannya. Namun aku menahan diri untuk tidak melakukannya, karena bisa jadi tontonan orang-orang yang menghabiskan Jumat malam di mal ini.
“Mas,” sapaku saat sampai di dekatnya.
Harris mendongak untuk menatapku yang berdiri di sebelahnya. “Hai, Sayang.”
Hatiku langsung melorot ke lantai saat mendengar sapaannya, juga tatapan matanya yang sangat lembut. Aku harus mencengkeram tali tas erat-erat agar tidak tergoda untuk memeluknya.
Mata Harris menyipit saat menatapku. “Kamu enggak memakai kalung pemberianku.”
Aku refleks memutar bola mata. “Yang benar aja, Mas. sehari-hari aku naik Gojek, yang ada aku mengundang jambret karena pakai kalung itu.” Harris tidak perlu tahu bahwa aku cukup khawatir meninggalkan kalung mahal itu di kamar kos.
Harris terkekeh. “Kita pulang sekarang?”
Aku menempati kursi di seberangnya. “Pulang ke mana?”
“Ke rumahku.”
Keningku berkerut saat mendengar jawabannya. Semenjak menjalin hubungan dengannya, aku sering menghabiskan akhir pekan di rumah Harris kalau saat itu dia tidak bekerja. Biasanya dia akan menjemputku di panti, lalu membawaku pulang ke rumahnya.
Aku memang merindukannya. Saat ini, yang ingin kulakukan adalah menciumnya lalu membiarkan Harris membimbingku menuju puncak kenikmatan bersama dirinya.
Namun, aku tidak mungkin melakukannya.
Sebab di rumahnya ada Olivia.
“Gimana dengan Olivia?” tanyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomanceHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...