Rayya
Setelah Mama sakit, aku dan Mama jadi semakin sering adu urat. Di satu waktu, kami bisa sangat kompak. Di lain kesempatan, kami bisa bersitegang sampai urat mau putus. Semuanya sering berawal dari kesehatan Mama. Mama sering menganggap sepele kesehatannya, tapi bagi Mama aku terlalu mengekang.
Kali ini pun sama. Aku ingin membawa Mama ke kos, setidaknya sampai Mama sehat. Namun Mama bersikeras untuk pulang ke panti.
Lagi, aku harus adu urat dengan Mama.
"Di panti ada Bu Airin dan yang lainnya, Mama lebih terjaga kalau di sana." Mama beralasan.
"Aku bisa jagain Mama."
"Di mana? Di kos kamu? Kamu tahu sendiri kamar kos itu enggak mungkin kita tempati berdua," sanggah Mama.
Aku sudah membuka mulut. Namun, Mama mendahului.
"Kamu juga harus kerja. Artinya, kamu ninggalin Mama sendiri kan?" Potong Mama.
Argumen Mama sangat masuk akal. Malah kalau dipikir dengan akal sehat, justru aku yang tidak bisa berpikir logis.
"Aku bisa izin kerja remote."
Mama menangkup tanganku. Matanya menatapku lekat-lekat. Mama sangat mengerti aku, dan dari caranya menatapku seperti ini, aku yakin semua argumenku akan dimentahkan dengan satu pukulan telak.
"Rayya, kamu jangan merasa bersalah seperti ini. Mama di panti bukan berarti kamu menelantarkan Mama. Kita sama-sama paham keadaan kita cukup sulit, jadi kita berjuang bersama, ya." Mama berkata lembut, tapi rasanya sangat menusuk.
Aku hanya bisa terdiam sambil menahan diri untuk tidak menangis.
"Kamu sendiri, kan, yang mau beli rumah? Biar kita bisa tinggal bersama lagi. Jadi, kamu kerja untuk menambah tabungan kita, lalu nanti kita beli rumah. Setelah itu, kita tinggal bersama lagi." Mama menatapku lembut.
Bibirku bergetar menahan tangis. Di saat seperti ini, aku harus pura-pura kuat di saat yang sebenarnya ingin kulakukan adalah menangis tersedu-sedu di pelukan Mama.
Tatapan Mama teralih ke arah pintu. "Ada yang mencarimu."
Aku sontak berbalik. Di pintu, ada Harris. Aku tidak tahu berapa lama dia berada di sana dan apakah dia mendengarkan pertengkaranku dan Mama.
Keberadaan Harris membuat perhatianku teralihkan. Seketika panik melandaku. Aku belum siap memperkenalkan Mama kepadanya.
Butuh waktu satu bulan lebih untuk memperkenalkan Mama pada Marthin. Itu pun aku belum 100% yakin itu adalah keputusan yang tepat. Selalu ada ragu di hatiku untuk membawa Marthin masuk ke kehidupanku. Marthin juga tidak meminta. Kalau saja waktu itu aku tidak harus ke panti dan Marthin terpaksa ikut, mungkin Mama tidak pernah berkenalan dengannya.
Namun Harris berbeda. Aku tidak tahu arti hubunganku dengannya. Tak ada sedikit pun ragu unyuk membawanya masuk ke hidupku dan memperkenalkannya pada Mama. Malah sebaliknya, aku sangat ingin melakukannya.
Harris menghubungiku beberapa jam yang lalu. Meski begitu, tetap saja kehadirannya mengakibatkan desir di hatiku.
"Mas, masuk masuk," ujarku.
Harris memasiki ruang inap Mama dengan langkah tegap. Siang ini dia begitu kasual, tidak ada tanda-tanda semalam kurang tidur dan harus duduk berjam-jam di kursi ruang tunggu UGD yang keras. Sedetik pun, aku tak bisa mengalihkan pandangan darinya.
Mama berdeham, membuatku sadar sudah memelototi Harris. Mama menahan senyum, menangkap basah aku menatap Harris dengan perasaan tergambar jelas di wajahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret Temptation
RomanceHarris Jusuf Dari semua perempuan, kenapa harus dia? Di saat aku berani untuk jatuh cinta lagi, kenapa hatiku memilih dia? Dia, perempuan yang tidak seharusnya kucintai. Dia, perempuan yang terlarang untukku. Namun, semakin aku berusaha menolak, sem...